Sosok Dahlan Iskan (DI) merupakan sosok yang belakangan ini sangat diperhitungkan dalam dunia pemerintahan negeri ini. Dalam bursa calon presiden 2014 nama DI begitu diperhitungkan banyak masyarakat. Hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) menghasilkan bahwa DI adalah orang yang paling diharapkan koresponden untuk menjadi presiden. Survei yang dilakukan LSJ di 33 Provinsi dari 1.225 koresponden dengan margin error 2,8 pada 16 Maret 2013 itu menempatkanDI (17,2 persen) di posisi puncak mengungguli Mahfud MD (13,1 persen), Rhoma Irama (10,8 persen), Abraham Shamad (5,2 persen), Sri Mulyani (3,9 persen), Chairul Tanjung (3,6 persen), Djoko Suyanto (2,8 persen), dan Rizal Ramli (2,5 persen) (Jawa Pos, 30 Maret 2013).
Namanya begitu dikenal publik semenjak menjadi direktur PLN dan menteri BUMN dengan gebrakan-gebrakannya yang aplikatif dan pro rakyat. Karenanya tidak heran jika kemudian banyak penulis yang memotret dan merekam jejak kepribadiannya lewat buku dari berbagai sudut pandang, di antaranya novelisasi DI yang ditulis oleh Khrisna Pabichara yang direncakan ada 3 sekuel (Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, dan Senyum Dahlan) dan sekarang sudah terbit sekuel kedua, yaitu Surat Dahlan.
Seperti novel sebelumnya, novel Surat Dahlan ini ingin menginspirasi pembaca lewat DI muda, mulai dari kisah cintanya dengan tiga wanita (Aisha, Maryati, dan Nafsiah), tragedi Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), hingga bagaimana DI meniti karirnya mulai dari menjadi wartawan sebuah koran lokal di Samarinda, Majalah Tempo, dan hingga akhirnya dipercaya mengelola koran Jawa Pos di Surabaya yang saat itu nyaris bangkrut dan ditinggalkan pembacanya.
Cerita novel ini diawali dengan flash back DI ketika selesai menjalani operasi liver di China 2007 silam. Di saat-saat DI dilarang bergerak selama 24 jam sebagai terapi kesehatannya pasca operasi, tiba-tiba kisah masa lalu DI membawanya ke Samarinda. Di mana saat DI menjalani kuliah di PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) Samarinda, pertemuannya dengan PII (Persatuan Islam Indonesia), dan perseteruannya dengan pemerintah.
Semasa kuliah, DI bisa dibilang mahasiswa yang rajin dan antusias. Keadaan finansial yang menghimpitnya tidak ia jadikan kendala untuk bisa kuliah. Bebekal nekat dan semangat belajar DI akhirnya mendapat beasiswa. Namun, hal itu tidak membuat mulus sepak terjang DI. Di tengah perkuliahan ia merasa jenuh dan galau karena materi yang diterimanya sebatas teori dan jauh dari kenyataan yang ada. Banyak ketidakadilan ia jumpai, baik dilingkup lokal kampus maupun pemerintah nasional.
Merasa jenuh dengan kuliah, DI lebih memilih bergabung PII dan mengikuti kegiatan-kegitan yang diadakan PII. Aktif di PII inilah yang kemudian menyeretnya pada Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), di mana aksi itu digerakkan DI bersama teman-temannya untuk memprotes negeri yang kala itu kacau balau.
Singkat cerita, pasca peristiwa Malari itulah DI kemudian menemukan dua cinta sejatinya, yaitu cinta pada seorang wanita yang kelak menjadi istrinya dan cinta pada dunia jurnalistik yang kelak menjadikannya sukses hingga seperti sekarang ini.
Setidaknya ada tiga kisah yang sangat menarik dari kisah yang tersaji dalam sekuel kedua ini. Pertama, kisah demonstrasi dan masa-masa pelarian DI beserta kawan-kawannya dari kejaran aparat karena mereka dituduh akan melakukan makar lewat aksi demonstasisnya. Bisa dibayangkan bagaimana nasib seorang mahasiswa ketika menjadi buron rezim Soeharto yang sangat diktator. Kala itu bagaimana seorang DI sampai jatuh ke jurang (hal. 130) dan dua orang temannya, Syaiful dan Syarifuddin, ditangkap aparat dan dimasukkan penjara (hal. 136).
Kedua, kisah ketika DI meniti karir sebagai wartawan. Mulai dari perkenalannya dengan Sayid yang membawanya menjadi wartawan Mimbar Masyarakat hingga Majalah Tempo. Dari kisah ini pembaca akan bisa memetik hikmah bahwa mencari berita agar bisa dimuat tidaklah mudah, karena hasil liputan wartawan harus diseleksi terlebih dahulu oleh redaktur senior dan bersaing dengan kontributor lainnya. Ditambah lagi jika ruang liputan untuk media bersangkutan sangat terbatas, seperti media yang terbit mingguan (hal. 302).
Ketiga, kisah bagaimana Majalah Tempo akhirnya membeli Jawa Pos dari The Chung Shen yang saat itu sudah hampir bangkrut dan ditinggalkan pembaca. Dari oplah 45.000 terjun bebas ke 20.000-hingga akhirnya dengan kebijakan salah seorang petinggi Tempo, Erwin, menunjuk DI sebagai Ketua Satuan Petugas Pelaksana (hal. 339). Hal ketiga ini menarik karena mungkin banyak dari pembaca yang tidak mengetahui bagaimana proses pengambilalihan management Jawa Pos ke Majalah Tempo dan peran DI dalam proses tersebut.
Terakhir, satu hal sangat menggugah saya dari sekuel kedua ini, di mana ending cetitanya ditutup dengan adanya reuni kecil-kecilan antara keluarga DI dan ayahnya. Ketika itu betapa bahagia dan terharunya seorang Iskan, bapak DI, ketika mendapatkan anak, mantu, dan kedua cucunya tiba di Kebon Dalem setelah sekian lama tak bertemu. Juga ketika teman-teman sepermainan DI berdatangan mengunjunginya. ***
Data Buku
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, 2013
Tebal : 378 halaman
ISBN : 978-602-7816-25-1
Harga : Rp. 64.500,00
*telah dimuat di koran Harian Bhirawa (19 Juli 2013)
0 Response to "Seorang Pemuda Melawan Badai"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!