Mendengar nama Dahlan Iskan, dia adalah sosok bersahaja, pekerja keras, disiplin, dan selalu optimistis menghadapi segala lika-liku kehidupan. Karirnya dari waktu ke waktu begitu cemerlang dan tak terduga. Hal itu begitu tampak ketika Dahlan Iskan diangkat menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (Dirut PLN) dan kemudian Menteri BUMN.
Tepatnya pada 23 Desember 2009, laki-laki yang juga Chairman Jawa Pos ini tanpa diduga diminta Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk menjadi Dirut PLN. Suatu pemandangan yang sangat berlawanan dengan latar belakang kewartawanannya. Tak berselang lama, baru 2 tahun di PLN, 19 Oktober 2011, Dahlan Iskan diminta SBY lagi untuk menggantikan Mustafa Abubakar, sebagai menteri BUMN. Isak dan haru pun menyelimuti Dahlan Iskan karena berat meninggalkan PLN yang menurutnya sedang pada puncak semangat untuk melakukan reformasi PLN.
Selain itu, Dahlan Iskan adalah sosok yang selalu tampil sederhana dan apa adanya. Ketika para menteri berusaha tampil perlente, Dahlan Iskan justru sebaliknya. Dalam pekerjaan, ia tidak jarang ikut berkeringat naik KRL, naik ojek ke kantor dan tempat rapat, dan bahkan tidur bersama warga yang hanya beralaskan tikar.
Siapakah sebenarnya Dahlan Iskan itu, sehingga ia begitu disiplin, tidak canggung bergaul dengan rakyat, dan bahkan Presiden SBY memujinya sebagai menteri yang cekatan dan responsif? Novel Sepatu Dahlan bisa menjadi jawabannya.
Novel yang ditulis oleh Khrisna Pabichara ini bisa menjadi flash back sosok seorang Dahlan Iskan di masa kecilnya. Di dalamnya dirunutkan dengan jelas kehidupan Dahlan Iskan kecil yang bisa dijadikan contoh bagi segenap pembaca dewasa ini. Bagaimana Dahlan Iskan kecil berjuang memenuhi kebutuhan dasar hidup dan menggapai mimpinya.
Dikisahkan bahwa Dahlan Iskan kecil seringkali menjalani hari-harinya dengan perut kosong, karena tidak ada yang bisa dimakan. Usaha ayah dan ibunya seringkali tidak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun, ada satu hal yang ditanamkan orangtua Dahlan Iskan yaitu bagaimana agar ia bisa menjalani hidup miskin dengan tepat, sehingga nantinya akan mendatangkan kematangan jiwa dan pribadi unggul. Seperti yang dinasihatkan ayah Dahlan Iskan ketika pertama kali mau masuk sekolah tsanawiyah; “Jangan berharap jadi kaya dan jangan takut miskin. Lebih baik miskin, tapi beriman daripada kaya, namun tidak beriman”. (hlm 31).
Meski perut sering kosong, Dahlan Iskan kecil tetap semangat berjalan kaki nyeker ke sekolah sepanjang 6 kilometer dan setelah itu nyabit rumput untuk memberi makan domba-dombanya. Kaki lecet karena menyusuri terjalnya jalanan tanpa alas kaki membuat Dahlan Iskan kecil bermimpi hanya ingin punya sepatu dan sepeda.
Dahlan Iskan kecil pun mulai menabung dari hasil ngangon domba dengan harapan nanti bisa beli sepatu dan sepeda. Namun, lagi-lagi keadaan memaksanya untuk membelanjakan tabungannya, membantu ayah dan ibunya agar dapur tetap mengepul. Impian memiliki sepatu dan sepeda pun gagal, karena masih banyak yang lebih penting dibeli daripada sepatu dan sepeda, seperti tiwul, minyak goreng, dan kebutuhan lainnya.
Di atas segala kesedihan hidup, Dahlan Iskan kecil terus terpacu untuk menggapai mimpinya memiliki sepatu dan sepeda, dengan terus bekerja keras. Di pagi hari sebelum berangkat sekolah, Dahlan Iskan kecil mencari rumput untuk makanan domba-dombanya. Dan di sore hari, sepulang sekolah, mengembala domba, sambil lalu nguli nyeset di ladang tebu milik pemerintah.
Kemiskinan dan kesediahan hidup tidak membuat Dahlan Iskan kecil menyerah pada keadaan. Baginya, hidup menjadi orang miskin harus dijalani apa adanya.
Bagi orang lain, kemiskinan adalah penderitaan, tapi baginya adalah kesenangan (hal. 360). Lebih lanjutnya, sebagai orang miskin, dia tidak mau berharap terlalu muluk-muluk. Setelah akhirnya berhasil membeli sepeda dari Arif dengan mencicil, mimpinya hanya satu, yaitu memiliki sepatu (hal. 322), di mana mimpi itu baru tercapai setelah dia kelas II SMA, meski hanya sepatu bekas.
Setidaknya, ada dua pelajaran penting dari novel setebal 369 ini. Pertama, mengajak pembaca untuk tidak menyerah pada keadaan. Kehidupan Dahlan Iskan kecil yang serba kekurangan oleh Khrisna Pabichara dikisahkan dengan baik sehingga menyentuh nurani pembaca yang mungkin lebih beruntung dibanding Dahlan kecil.
Kedua, menyadarkan pembaca bahwa kemiskinan bukanlah akhir dari segala-galanya. Seperti yang dipetuahkan ayah Dahlan Iskan kecil, bahwa “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan mematangkan jiwa”. Kematangan jiwa Dahlan Iskan kecil itulah yang kini menghantarnya hingga bisa menjadi seorang menteri yang kharismatik.
Novel yang dalam waktu empat hari setelah terbit (Mei 2012) langsung terjual sebanyak 12 ribu ekslempar ini begitu mengharu biru, tanpa terasa memancing pembaca untuk meneteskan air mata. Terbawa dan terharu dengan rekam jejak perjuangan Dahlan Iskan kecil yang kini sudah berusia 61 tahun.
Akhir kata, sebagai testimoni, novel yang merupakan novel pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan ini patut disandingkan dengan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara-nya A. Fuadi, yang fenomenal dan best seller.
Akhir kata, sebagai testimoni, novel yang merupakan novel pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan ini patut disandingkan dengan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara-nya A. Fuadi, yang fenomenal dan best seller.
Data Buku
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : I & II, Mei 2012
Tebal : 369 halaman
ISBN : 978-602-9498-24-0
Harga : Rp. 62.500,00
*dimuat di harian Radar Surabaya (8 Juli 2012)
0 Response to "Seorang Anak Melawan Kemiskinan*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!