Gelar pembela sunnah (nasiru al-sunnah) selain dilekatkan pada Imam Syafi’i juga dimiliki Imam Ahmad ibn Hanbal. Sejarah menyebutkan bahwa Ibn Hanbal mengabdikan hidupnya untuk mencari dan menyebarkan hadis atau sunnah Nabi. Karya monumentalnya Musnad Ahmad.
Demi mencari sebuah hadis, Ibn Hanbal rela pergi jauh dari Baghdad, tempat kelahirannya, menuju seantero dunia. Terhitung sejak berumur 16 tahun, Ibn Hanbal keluar dari Baghdad, melanglang buana mencari dan belajar hadis kepada ahlinya. Pada tahun 183 H pergi ke Kuffah, Basharah pada tahun 186 H, Makkah pada tahun 187 H, dan Madinah dan Yaman pada tahun 197 H.
Selama perjalanannya itu, Ibn Hanbal memusatkan dirinya pada pencarian hadis, sehingga tidak diragukan lagi kwalitas dan kapasitasnya dalam ilmu hadis. Bahkan, Imam Syafi’i sendiri, gurunya, mengakui kepakarannya dalam bidang ini. Imam Syafi’i pernah berujar; “Kamu lebih tahu tentang hadis dan khabar daripada aku, maka apabila shahih beritahulah aku” (hal. 61). Dengan demikian, ada yang bilang, dalam bidang Fiqih Ibn Hanbal berguru pada Imam Syafi’ie, tapi dalam bidang Hadis imam Syafi’i berguru pada Ibn Hanbal.
Kisah perjalanan itu terangkum lengkap dalan buku Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal karya Dr. Tariq Suwaidan, yang diterjemahkan dari judul aslinya Al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Buku setebal 500 halaman itu memuat sepak terjang Ibn Hanbal, mulai dari riwayat hidupnya hingga pada fitnah kemakhlukan Al-Qur’an yang menimpanya.
Ibn Hanbal harus dipenjara, dicambuk, disiksa, dan dihinakan oleh pemerintahan khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim, karena kukuh mempertahankan pendapatnya tentang ke-qadim-an Al-Qur’an yang berseberangan dengan pemerintah waktu itu.
Al-Ma’mun yang berkuasa pada tahun 813 H terpengaruh oleh ideologi Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang menterinya, tentang kemakhlukan Al-Qur’an, yang mengartikan Al-Qur’an tidak sekedar kalamullah, tapi juga makhluk yang juga diciptakan. Mendapatkan pengaruh itu, Al-Ma’mun sebagai penguasa memaksakan ideologi tersebut untuk diyakini semua raknyatnya. Al-Ma’mun pun menyurati para ulama dan ahli hadis, diantaranya Ibn Hanbal, sebagai intruksi agar semuanya menerima pendapat kemakhlukan Al-Qur’an yang diyakini Al-Ma’mun. Barang siapa yang tidak menerima, maka terpaksa dirantai dan dipenjara.
Meski di awal banyak ulama dan ahli hadis yang tidak setuju dengan Al-Ma’mun, tapi karena tidak kuat dengan siksaan dari penguasa Al-Ma’mun, yang kemudian dilanjutkan oleh Al-Mu’tashim pada tahun 833 H, akhirnya satu persatu dari mereka mengikuti dan meyakini kemakhlukan Al-Qur’an. Mereka rela mengorbankan keimanannya kerena takut disiksa.
Tapi tidak dengan Ibn Hanbal. Dia tetap kukuh mempertahankan pendapatnya, bahwa Al-Qur’an itu semata kalamullah, tidak kurang dan tidak lebih, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
Sungguh, sikap yang ditunjukkan Ibn Hanbal merupakan pelajaran hidup dalam mempertahankan prinsip. Di saat masa dramatis, Ibn Hanbal tetap bepegang teguh pada keimanannya. Penjara, siksaan, dan hinaan tidak membuat keimanannya semakin rapuh. Bahkan lebih dari itu, malah semakin bertambah tinggi.
Dalam perilaku sosial Ibn Hanbal juga layak menjadi teladan bagi seluruh umat. Meski Ibn Hanbal dikenal sebagai orang yang sulit menerima hadiah dari orang lain, lebih-lebih dari pemerintah, dia sangat loyal dalam bersosial. Setiap ada orang sakit, dia menyempatkan untuk menjenguk. Setiap ada orang meninggal, dia menyempatkan untuk bertakziah. Dan setiap ada orang kesusahan, dia selalu menghibur dan memotivasinya.
Selain itu, ada lima keistimewaan yang dimiliki Ibn Hanbal (hal. 194-208), di mana sifat-sifat itulah yang menjadi salah satu faktor ketenarannya sebagai salah satu imam dan pembela sunnah. Pertama, hafalannya yang kuat. Ibn Hanbal pernah menuturkan bahwa ia langsung bisa menghafal 9-10 hadis riwayat Al-Tsauri yang dibacakan oleh Waki’ seketika setelah shalat jama’ah dengannya.
Kedua, kemauannya yang kuat. Meski seringkali Ibn Hanbal harus letih dalam belajar dan mencari hadis, ia tidak menghiraukan semua itu. Dengan kesabaran, ulet, tekad yang tulus, dan kemauan yang tinggi ia kerahkan seluruh kemampuannya, meski hanya untuk satu hadis sekalipun.
Ketiga, kesucian dirinya. Jiwa dan raganya. Imam Ahmad tidak pernah mau mengambil sedikitpun harta orang lain. Bahkan, dia tidak mau pada jabatan dan pemberian pemerintah, karena seringkali tidak pada prosedurnya.
Keempat, keikhlasannya. Ibn Hanbal tidak pernah pamrih pada siapa pun. Semuanya ia kerjakan semata-mata lillahi ta’ala. Dalam mencari ilmu, dia tidak untuk membanggakan diri atau berdebat, tidak untuk menguasai majelis, dan tidak juga untuk mencari kedudukan di hadapan para penguasa.
Kelima, kharisma dan wibawanya. Kewibawaan Ibn Hanbal ini terbentuk sejalan dengan akhlaknya yang mulia. Dia tidak pernah merendahkan orang lain, sehingga orang lain pun merasa segan dan menghormatinya, bahkan di mata guru-gurunya sekalipun.
Dikemas dengan narasi-narasi singkat dan ditambah dengan ilustrasi memikat menjadikan buku ini menarik untuk dibaca. Pembahasannya yang begitu sistematis membuatnya beda dengan buku-buku terjemahan kebanyakan—yang seringkali terpaku pada aturan lama.
Akhir kata, sebagai testimoni, buku ini tidaklah sekedar biografi, tapi juga menggugah kita untuk sadar dan terhubung dengan warisan intelektual Islam dan fiqur-figur teladan yang tak lekang oleh waktu dan terus mengilhami kita di zaman yang terus berubah ini. Selamat membaca!
Data Buku
Judul : Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
Penulis : Dr. Tariq Suwaidan
Penerjemah : Imam Firdaus
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2012
ISBN : 978-979-024-197-8
Harga : Rp. 60.000,00
*telah dimuat di harian Duta Masyarakat (1 Juli 2012)
0 Response to "Sepak Terjang Sang Pembela Sunnah*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!