Secara serentak, Selasa (15/10) kemarin, umat Islam semuanya melaksanakan hari raya Idul Adha 1434 atau yang biasa dikenal juga dengan sebutan Idul Kurban. Dengan demikian ritual penyembelihan hewan kurban akan segera dimulai, yaitu pas setelah selesai shalat ‘id dan tiga hari tasyrik setelahnya (11, 12, dan 13 Dzulhijjah), di mana selama hari tasyrik itu kurbannya seseorang akan dinilai ibadah.
Dalam sejarahnya, ibadah kurban ini merupakan napak tilas perjuangan dan keteguhan Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il dalam mematuhi dan melaksanakan perintah Allah lewat usaha penyembelian Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim.
Diceritakan bahwa pada suatu malam Nabi Ibrahim bermimpi dan dalam mimpinya, beliau mendapatkan perintah untuk menyembelih putranya Ismail. Sebagai seorang ayah dan Ismail sendiri merupakan putra semata wayangya, tentunya, beliau (awalnya) kurang begitu percaya akan mimpi tersebut. Jangan-jangan perintah menyembelih Ismail itu bukan berasal dari Allah, melainkan merupakan bisikan setan belaka. Akan tetapi, setelah tiga malam berturut-turut Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi yang sama, maka akhirnya beliau mendiskusikan perintah itu dengan Ismail.
Dengan kapasitas Ismail yang merupakan putra yang taat dan shaleh, ia merelakan diri untuk disembelih sebagaimana perintah Allah dalam mimpi ayahandanya. Singkat cerita dan pada akhir kisahnya ternyata Ismail tidak jadi disembelih, yang akhirnya Allah mengantinya dengan seekor domba yang dibawa Jibril dari surga (QS. As-Shoffat: 102-106).
Pesan Moral
Dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj :36-37 ditegaskan bahwa ibadah kurban itu haruslah memenuhi empat syarat utama. Pertama, secara fisik hewan kurban adalah binatang ternak yang sehat, sempurna jasadnya, dan cukup usianya. Kedua, penyembelihan dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga hewan yang disembelih tidak tersiksa. Ketiga, daging kurban harus dibagikan kepada orang-orang miskin. Keempat, dan ini yang paling penting, kurban dilaksanakan dengan ikhlas karena iman dan taqwa kepada Allah.
Dari empat syarat utama tersebut, maka kita akan menemukan pesan moral yang tersirat di baliknya. Pertama, kurban mengajarkan kita untuk senantiasa bersikap dermawan dan tidak rakus atau kikir. Kurban mendidik kita untuk peduli dan mengasah sikap sosial. Seseorang tidak pantas kenyang sendirian dan bertaburan harta, sementara banyak sesama manusia membutuhkan bantuan dan uluran tangan. Persyaratan hewan kurban yang sangat ketat sesungguhnya merupakan tuntunan agar kita memberikan yang terbaik untuk sesama (QS. Ali ‘Imran: 92).
Kedua, secara simbolis kurban mendidik kita untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan. Di antara sifat-sifat kebinatangan yang harus kita kubur adalah sikap mau menang sendiri dan berbuat dengan hanya dibimbingan nafsu. Manusia adalah makhluk yang paling utama. Tetapi jika tingkahlakunya dikuasai nafsu, maka pendengeran, penglihatan, dan hati nuraninya tidaklah akan berguna. Jika sudah demikian, maka jatuhlah derajat kemanusiaannya, bahkan lebih hina dibandingkan dengan binatang. Dalam hal ini Al-Qur’an menggolongan mereka sebagai orang-orang yang lalai (QS. Al-A’raf: 179).
Ketiga, kurban mengingatkan kita agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, harkat, dan martabat kemanusiaan. Digantinya Ismail dengan domba menyadarkan kita bahwa mengorbankan manusia di atas altar adalah perbuatan yang dilarang Allah. Ibadah yang kita laksanakan harus menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak manusia. Bahkan, hewan kurban yang akan disembelih pun harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Karena itulah, maka perbuatan semena-mena, keji, dan kejam sangan dilarang oleh Islam.
Spirit Ekonomi Kurban
Bagi umat muslimin yang mampu untuk menyembelih hewan kurban, maka dianjurkan bagi mereka untuk mempersembahkannya pada khalayak ramai, lebih-lebih kaum fakir-miskin dan yatim-miskin.
Pemotongan hewan kurban tidak dapat digantikan oleh yang lain. Karena, pada dasarnya dan kenyataannya ibadah kurban merupakan ibadah yang (hanya) berbentuk penyembelihan hewan. Dengan pensyariatan ibadah kurban, maka makin sempurnalah ajaran Islam terkait dengan upaya jaminan kesejahteraan sosial umat dan masyarakat. Artinya, bukan saja dalam hal ekonomi dan keuangan yang dikandungnya, melainkan juga sampai dalam bentuk penjaminan gizi yang baik. Setiap kaum muslimin, paling sedikit dalam setiap tahun, minimal sekali atau beberapa kali harus mengonsumsi daging.
Dilihat dari sudut pandang jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi keumatan dan kerakyatan, hewan kurban juga mencerminkan sebuah konseptual ekonomi yang benar-benar berkeadilan, berpemerataan, dan berkeberkahan. Adil, mengingat daging hewan kurban itu berasal-usul dari kalangan masyarakat ekonomi menengah dan atas (aghniya’/ the have), kemudian disalurkan kepada para mustahiq yang notabenenya adalah orang-orang fakir dan miskin, terutama anak-anak yatim yang miskin. Sungguh berkah mengingat daging kurban, meski kelihatannya tidak seberapa, yang diberikan kepada masing-masing mustahiq, namun kenyataannya kehadiran sepotong daging kurban itu benar-benar menghibur kaum fakir-miskin.
Untuk itu, kiranya kita semua—terutama mereka para pemegang kebijakan dan istansi terkait perlu untuk mengaca pada spirit ekonomi kurban ini. Jika demikian, maka pembagian hak rakyat (baca: bantuan) tidak akan menemukan ketidak adilan dan kecemburuan sosial yang mestinya hal itu tidak terjadi—dan tentunya tidak akan ada kourpsi.
Akhir kata, semoga kita bisa memetik dan mengambil hikmah dari perayaan hari raya (kurban) ini—yang tentunya akan menumbuhkan etos kurban yang seringkali tidak terpatri pada diri kita dan pera petinggi kita. Semoga!
*Dimuat di harian Duta Masyarakat (Rabu, 16 Oktober 2013)
0 Response to "Pesan Moral dan Spirit Ekonomi Kurban"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!