Sedari awal, lewat sinopsis yang terdapat pada sampul belakang dan pengantar penulis novel ini, pembaca sudah diberitahu bahwa ada sesuatu yang baru dari karya Taufiqurrahman Al-Azizy yang satu ini (hal. 10).
Kisah di dalamnya sangat berbeda dengan kisah-kisah yang pernah ia tulis sebelumnya, di mana novel ini lebih mementingkan isi daripada kisahnya. Kata dan kalimatnya sengaja dipilih dan disusun untuk menjelaskan berbagai perkara dan persoalan.
Bagi penikmat sastra, perbedaan yang ditampilkan penulis dalam novel ini mungkin merupakan kelebihan dan keistimewaan karena posisinya sebagai salah satu bentuk karya sastra.
Selain itu, ciri khas dari penulis produktif satu ini yaitu pesan moral dan ceritanya yang tak gampang ditebak, tak terkecuali pada novel yang berjudul Lelaki yang Menggenggam Ayat-Ayat Tuhan ini. Dalam novel ini pembaca akan dibuat penasaran melalui tokoh lelaki misterius yang tinggal di sebuah bukit di sebuah desa.
Kisahnya, tinggallah seorang lelaki bernama Taa yang tiba-tiba muncul di atas bukit. Kemunculannya sulit dikenali, seakan ia muncul begitu saja dari balik pohon dan kabut. Ia hadir di bukit itu seakan-akan menjadi orang yang telah meloncat begitu saja dari masa lalunya yang dirahasiakan.
Dengan menghuni gubuk kecil milik salah seorang pemilik sawah di atas bukit itu, hari demi hari Taa mulai menikmati indahnya pegunungan, segarnya udara pagi dan sore, dan cahaya rembulan di malam hari.
Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan Taa berhasil mencuri perhatian warga yang jauh tinggal di bawah bukit itu. Seketika ia turun ke bawah bukit sekedar membeli keperluan sehari-hari di warung Bi Inah, warga semakin penasaran dan bahkan curiga akan keberadaannya di atas bukit itu. Siapa gerangan Taa itu.
Kecurigaan mereka lama kelamaan berubah menjadi kekaguman karena ternyata ucapan, petuah, dan nasihatnya mampu mencerahkan berbagai permasalahan yang dihadapi warga. Semenjak itulah satu persatu dari mereka mendatangi gubuk Taa, berharap dapat petuah dan nasihat dari masalah yang dihadapinya.
Bahkan Taa juga berhasil mencuri perhatian para pemudi warga bawah bukit itu, mulai karena ketampanan, kebijakan, sampai kepribadiannya, lebih-lebih Naila yang sejak awal mengetahui banyak buku-buku bacaan antara Taa dan dirinya banyak yang sama.
Lewat kabar dari ayahnya yang melihat buku-buku bacaan, seperangkat alat shalat, kitab suci milik Taa yang ia simpan di dalam gubuk, Naila menjadi yakin bahwa Taa bukanlah orang sembarangan. Meski asal usul Taa tak jua terjawab, namun kekaguman Naila atas kebijakan dan kepribadiannya tidak menjadi penghalang.
Siapakah Taa? Pertanyaan inilah yang juga tak kunjung terjawab dan membuat penasaran pembaca novel ini. Ternyata Taa adalah lelaki yang berusaha mengasingkan diri pergi ke bukit untuk menghindari kelamnya masa lalu karena ia difitnah oleh banyak orang di desanya. Hanya gara-gara ideologi yang tidak sama dengan masyarakat kebanyakan Taa difitnah dan dicap sesat, hingga akhirnya ia berada di bukit itu.
Di saat Taa mulai menemukan ketenangan di bukit itu, orang-orang dari masa lalunya menemukan keberadaannya dan berusaha mengusik kembali mempertanyakan ideologi masa lalu Taa yang dianggap sesat (hal. 266-294). Ustadz Abu menjadi perwakilan dari mereka yang bersebarangan dengan Taa.
Di hadapan orang-orang yang mulai memuji dan menghormatinya, Taa mempertaruhkan dirinya. Diadakanlah pertemuan khusus bersama warga. Jika nantinya ternyata Taa kalah dan salah, maka masyarakat yang akan mengadili Taa.
Ada empat hal yang dipermasalahkan oleh Ustadz Abu pada pertemuan tersebut dengan dihadirkan bukti-bukti masa lalu yang mereka bawa dari desanya. Pertama perihal tuduhan terhadap Taa yang dianggap mempermainkan wanita dengan permainan kata-kata (hal. 325). Kedua, perihal tuduhan ketidak lugasan Taa dalam menyampaikan ajaran Agama. Ketiga, perihal sandiwara atau drama yang ditengarai bertentangan dengan Islam. Dan keempat, perihal ketidak setujuan Taa pada paham wajibnya memelihara jenggot bagi kaum laki-laki (hal. 352).
Dengan "mengeja" ayat-ayat Tuhan; Al-Qur'an, hadis Nabi, dan fakta-fakta sejarah, Taa menyangkal argumen-argument Ustadz Abu dan kelompoknya di depan para hadirin dengan penyampaian yang tegas dan lugas, hingga akhirnya para hadirin berpihak pada Taa (hal. 372-378).
Pesan moral dari kisah novel ini bahwa betapa kebenaran itu harus dipertahankan dengan argumen yang bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, bahwa musyawarah (dialog) layak menjadi solusi alternatif untuk menyelesaikan sebuah konflik.
Sebagai catatan akhir, novel setebal 394 halaman ini mengajak pembaca untuk memahami segala kompleksitas kehidupan sosial-agama kemasyarakatan dengan lebih bijak, tanpa harus terpaku pada kebenaran dogmatis. Selamat membaca! ***
Data Buku
Judul : Lelaki yang Menggenggam Ayat-Ayat Tuhan
Penulis : Taufiqurrahman Al-Azizy
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 394 halaman
ISBN : 978-602-7641-41-9
Harga : Rp. 48.000,00
*telah dimuat di Harian Bhirawa (13 September 2013)
0 Response to "Lelaki Sang Pengeja Ayat-Ayat Tuhan"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!