MENELUSURI kiprah dan jumlah pengamen di negeri ini, bisa dipastikan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pengamen semakin banyak dan menyebar sampai ke mana-mana. Tidak hanya di kota-kota besar, di pelosok pun sekarang sudah dimasuki pengamen. Latar belakang dan tujuan mereka berbeda-beda. Mulai dari tujuan menghibur, melatih mental, iseng, mengisi waktu senggang, berharap materi (uang), hingga mejadi profesi sehari-hari yang biasa kita temui di terminal-terminal, lampu merah, dan tempat-tempat publik lainnya.
Meskipun demikian, menjadi pengamen jalanan tentunya tidak selalu menjadi pilihan hidup bagi mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menjalani semua itu karena terpaksa atau dipaksa oleh keadaan hidup yang menurutnya selalu terjal. Lebih-lebih para pengamen cilik, yang tak tahu arah mau ke mana. Mau cari kerja, ia tidak berijazah, mau berdagang ia tidak punya modal, dan mau bermanja-manja di rumah ia tidak punya orang tua. Sebagai pilihan hidupnya, akhirnya mengamen menjadi alternatif terakhirnya.
Kiranya seperti itulah pesan yang mau disampaikan penulis dalam novel Butiran Debu, karya novelis produktif, Taufiqurrahman Al-Azizy ini. Melalui tokoh utamanya, Iwan, diceritakan bahwa Iwan seorang pengamen cilik yang datang ke kota dari sebuah desa yang dia sendiri tak mengetahui nama desa asalnya. Ia hidup seorang diri tak punya orang tua. Ibunya, Bu Rohana, memilih bunuh diri karena tidak kuat menahan penderitaan hidup yang selalu ganas, bapaknya, Pak Rustam, pergi dan tak kembali meninggalkan mereka tanpa kabar, dan adik satu-satunya, Siti, harus berpisah ketika ada razia gelandangan di sebuah mal di Jakarta.
Sejak itulah Iwan hidup sebatang kara tak tahu apa, ke mana, dan berbuat apa. Hidupnya kini di jalanan, tidur di kolong jembatan, dan melawan dinginnya malam dan teriknya matahari siang. Ia pun mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya berharap ada orang yang mau memberinya uang.
Singkat cerita, pertemuan Iwan dengan Bang Rahman akhirnya membuat nasib Iwan sedikit berubah. Pertemuan tak disangka-sangka itu ternyata membuat kehidupannya sangat beruntung dan jauh lebih baik. Lewat sebuah audisi kecil dengan bimbingan Bang Rahman, Iwan berhasil menarik simpati publik. Ia pun menjadi terkenal dan bisa bertemu dengan Siti yang telah lama hilang dan berpisah di saat razia gelandangan beberapa tahun lalu.
Latar belakang keluarga Iwan yang pedih, semenjak kecil sudah tidak punya figur seorang ayah, tanpa kasih sayang ibu, dan tak ada kebersamaan dengan adiknya, menggambarkan kebanyakan pengamen cilik di negeri ini. Hemat saya, cerita Iwan di atas, tidaklah hanya ada dalam novel ini. Kalau kita melihat dan mencoba turun ke lapangan, banyak sekali pengamen-pengamen cilik negeri ini yang senasib dengan Iwan.
Di sinilah salah satu keistimewaan dari seorang Taufiqurrahman Al-Azizy yang dalam setiap novel karyanya rata-rata terinspirasi dan terangkat dari fakta dan suasana hidup yang sering menjadi masalah di sekitar kita, sehingga membuat pembaca mudah hanyut dan larut di dalamnya.
Selain itu, gaya bahasa Taufiqurrahman Al-Azizy dalam menulis novel selalu dramatis-puitis, dengan tanpa terasa kadang membuat pembaca seakan ikut menjadi tokoh di dalamnya. Bahkan, pembaca bisa lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan sekitar kita.
Selanjutnya, layaknya tidak ada gading yang tak retak, karya ini juga demikian, di mana ending cerita dalam novel ini terkesan tidak tuntas, sehingga ceritanya menggantung. Bagaimana nasib Iwan dan Siti setelah mereka berdua bertemu? Terlebih juga bagaimana nasib mereka berdua setelah bertemu Bu Rohana yang selama ini dianggap mati bunuh diri dan ternyata masih hidup? Bagaimana status Siti yang telah menjadi anak angkat dari orang tak dikenal? Semua itu menjadi tanda tanya pembaca dari novel Butiran Debu ini.
Secara umum, novel dengan tebal 348 halaman ini bagus dan layak dinikmati oleh berbagai kalangan—termasuk para wakil rakyat yang sering tidur ketika rapat dan terlena dengan jabatan. Bagi kalangan muda, kisah ini bisa menjadi motivasi lewat tegarnya seorang Iwan. Bagi kalangan remaja, bisa menjadi inspirasi lewat seorang Bang Rahman. Bagi kalangan tua, bisa menjadi introspeksi lewat Bu Rohana dan Pak Rustam, dan yang lebih penting para petinggi dan wakil rakyat kita agar tidak sekadar tahu akan kondisi rakyat di bawah sana. Selamat membaca!
Data Buku
Judul : Butiran Debu
Penulis : Taufiqurrahman Al-Azizy
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : 348 halaman
ISBN : 978-602-7665-56-9
*telah dimuat di Radar Madura (9 September 2013)
0 Response to "Derita Seorang Pengamen Cilik"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!