Menyoroti Islam dan Muslim di Eropa sangatlah menarik. Ada rona pelangi terpancar dari mereka di setiap aktivitas dan budaya yang ditimbulkannya. Sehingga menuliskan kisah mereka berarti menuliskan warna-warni pelangi Islam yang terpancar di langit Eropa sana. Begitulah kesimpulan saya setelah membaca buku Berjalan di Atas Cahaya karya Hanum Salsabiela Rais, dkk, yang sudah cetak dua kali, Maret dan April 2013, ini.
Buku dengan tebal 210 halaman ini mengisahkan beberapa kisah dan cerita orang-orang (Islam) yang tinggal di Eropa, yang dapat mencerahkan hati laksana cahaya yang dapat menerangi kegelapan bagi yang tersesat dan laksana pelangi yang memancarkan berbagai warna keindahan bagi orang yang memandangnya, baik itu individu, institusi, maupun negara.
Bisa dibayangkan bagaimana seorang muslimah berjilbab bisa tetap tersenyum dalam keasingan di tempat kerja. Dunia Eropa yang sangat anti karyawan berkerudung menjadi hambatan seorang muslim untuk bisa bekerja dan membuka usaha di sana. Jilbab akan menjadi taruhannya jika mau diterima menjadi karyawan sebuah perusahaan dan begitu juga untuk mendapatkan idzin pemerintah jika berkeinginan membuka sebuah usaha. Toh, jika ada yang menerimanya itu sangat sulit dan itu hanya sebagian kecil, bahkan hampir mendekati kata mustahil.
Fatma contohnya, di mana dia harus menggantungkan cita-citanya di dalam angan-angan dan dunia imajinasi untuk bisa menjadi seorang desainer dan pemilik butik. Kemampuan bekerja dalam bidang desain tidak cukup modal baginya lantaran ia berjilbab. Tak ada perusahaan desainer yang mau mempekerjakannya dan untuk membuka sebuah butik atau gerai penjahit pun hampir mustahil baginya (hal. 58). Namun, ia tetap tegar menjadi ibu dan istri terbaik dari anak dan suaminya.
Fenmena Fatma ini mengajarkan pada dunia Islam bahwa keyakinan tidaklah bisa ditukar dengan apa pun, terutama materi. Ia rela memendamkan cita-citanya demi mempertahankan prinsipnya untuk tidak melepas jilbab, kerena Islam sebagai agama yang ia anut mengajarkan dirinya untuk selalu menutup aurat.
Lain ladang, lain belalang. Di daratan Eropa lainnya, tepatnya di Ipsach, Biel, Swiss, Bunda Ikoy berhasil menjadi perakit jam tangan merek wahid dunia, seperti Rolex, Hublot, Omega, Swisswacrh, dan lainnya, dengan tetap berkerudung. Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan seorang Bunda Ikoy untuk menjadi salah seorang karyawan berkerudung di perusahaan besar Eropa. Menjadi karyawan di kantor-kantor sekuler di Eropa selalu menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, sangatlah tidak mudah mencari pekerjaan berbobot di Eropa dengan berhijab.
Setelah ditelurusi, ternyata Bunda Ikoy adalah satu-satunya karyawan berhijab dan mampu bertahan lama di sana. Prinsipnya, yag terpenting dari dirinya adalah pembuktian bahwa dengan jilbab keterampilan dan etos kerjanya bisa melebihi mereka yang tidak berjilbab (hal. 26-27).
Bunda Ikoy mengajarkan akan ketegaran dirinya sebagai ikon atau agen Muslim yang baik di Eropa. Di keasingan kerja ia berhasil menjadi karyawan andalan perusahaan jam tangan berkelas, tanpa harus menggadaikan agamanya, laksana ikan yang tetap tawar meski hidup di air laut yang asin.
Tidak cuma kisah dan cerita ketegaran orang-orang Islam yang tinggal di negara sekuler itu. Buku ini juga menggambarkan beberapa hal yang sama sekali tidak ditemukan di Indonesia dan hal itu bisa dicontoh untuk memperbaiki keadaan bangsa ini yang selalu dirundung permasalahan yang tak kunjung usai, mulai dari pelayanan publik hingga kasus korupsi.
Begitu Indah dan nyamannya tatanan kota dan pelayanan publik di Eropa yang sejuk dan menawan. Di pedalaman Swiss sampai ke pelosok pun selalu ada jalan yang menghubungkan sebuah rumah keluar-masuk desa. Semua itu dibuatkan dan difasilitasi oleh pemerintah. Tak ada gusur menggusur rumah di sana. Seperti apa dan di mana pun rumah warga berada, semuanya diberlakukan sama oleh pemerintah (hal. 14).
Selain itu, tingkat kejujuran dan keamanahan masyarakat Eropa sangatlah tinggi. Di Tanah Air mungkin terkesan aneh jika ada sebuah toko tapi tidak ada penjanganya. Tapi di Eropa hal demikian sangat mungkin dijumpai. Di Neerach, Swiss, misalnya, rata-rata pertokoan di sana tidak ada penjanganya. Hanya bandrol harga, kaleng kosong, dan notes kecil yang ada pada setiap toko. Siapa yang tertarik untuk membelinya, maka ia cukup mengambilnya dan membayarnya dengan menaruk uang seharga bandrol dan meletakkannya di kaleng yang telah disediakan. Jika butuh kembalian tinggal mengambil sendiri di kaleng yang sama dan jika tidak ada, maka pembeli cukup mencatatnya di notes kecil, mencatat jumlah uang, alamat rumah, dan baru nanti kembaliannya akan diantarkan ke rumah si pembeli oleh penjualnya (hal. 40).
Di tengah carut marutnya berbagai permasalahan di Tanah Air, buku ini bisa menjadi gambaran bagaimana Eropa dan orang-orang yang hidup di sana bisa menata kota dengan baik dan dalam masyarakatnya terjalin kepercayaan dan kejujuran yang esensial. Eropa yang merupakan negara sekuler dan anti Islam, tapi kebijakan pemerintah dan kejujuran masyarakatnya melebihi negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Data Buku
Judul : Berjalan di Atas Cahaya
Penulis : Hanum Salsabiela Rais, dkk.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : II, April 2013
Tebal : 210 halaman
ISBN : 978-979-22-9359-3
Harga : Rp. 50.000,00
*dimuat di harian Radar Surabaya 18 Agustus 2013
0 Response to "Rona Pelangi di Langit Eropa"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!