Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa lailatul qadr merupakan suatu malam pada bulan Ramadhan yang begitu istimewa hingga melebihi perbandingan 1000 bulan (30.000 kali malam biasa). Karenanya, tidak sedikit dari umat Islam yang mendamba dan memburunya, lebih-lebih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Merujuk pada definisi dari lailatul qadr itu sendiri setidaknya ada tiga pemaknaan dari kata al-qadr yang digunakan para ulama’. Pertama, penetapan dan pengaturan, sehingga lailatul qadr difahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup seseorang ke depan.
Kedua, kemuliaan. Makna kemuliaan ini karena dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa malam itu diturunkan juga Al-Qur’an. Meminjam istilahnya Quraish Shihab bahwa lailatul qadr itu mulia karena menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih (Quraish Shihab, 2013: 489).
Ketiga, sempit. Makna sempit ini merujuk karena pada malam itu bumi disesaki para malaikat yang diperintah Allah untuk mengatur segala urusan—termasuk urusan duniawi umat manusia.
Meski para ulama’ berbeda pendapat dari pemaknaan al-qadr itu sendiri, namun dari tiga pemaknaan tersebut setidaknya bisa disatukan sehingga kesemuanya menjadi benar, bahwa lailatul qadr adalah malam yang mulia, yang bila seseorang dapat meraihnya maka masa depannya akan tertetapkan, di mana masa depannya akan damai dan tenang sesuai dengan pengaturan para malaikat yang pada malam itu turun memadati bumi. Hal inilah yang oleh Muhammad Abduh diistilahkan dengan khittah yang dapat melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran yang seringkali membelenggu dalam kehidupannya.
Dari pemaknaan ini, maka bisa dipastikan bahwa untuk bisa meraihnya tidaklah mudah dan tidak cukup dengan hanya tidak tidur semalaman. Untuk bisa menggapainya dibutuhkan keintiman pribadi antara seorang muslim dengan Allah, di mana untuk menjalin keintiman tersebut dibutuhkan kesucian jiwa seseorang. Ibarat air dan minyak, keduanya tidak akan menyatu dan bertemu di mana pun dan kapan pun. Kebaikan dan kemuliaan lailatul qadr tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang tertentu yang telah menyucikan jiwanya guna menyambut lailatul qadr.
Karena itulah Rasulullah menduga kuat bahwa lailatul qadr akan datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan—meskipun juga besar kemungkinan ia juga datang sebelum itu, bahkan malam pertama Ramadhan. Dugaan Rasulullah ini dirasionalisasikan karena pada sepuluh malam terakhir Ramadhan diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya.
Untuk menggapainya, ada ada dua hal yang diajarkan Rasulullah untuk menjadi bekal agar pada diri manusia tertaman jiwa yang suci dan lailatul qadr-pun berhasil kita gapai. Pertama, merenung. Dalam artian merenung untuk kesucian jiwa, baik untuk diri sendiri maupun untuk umum (masyarakat). Hal ini, dikarenakan jika jiwa seseorang sudah suci, maka malaikat tidak akan ragu untuk membimbing seseorang tidak hanya sampai terbitnya fajar pada malam al-qadr saja, tapi sampai akhir hayatnya nanti.
Dalam sejarah disebutkan bahwa malam al-qadr yang menemui Rasulullah pertama kali yaitu ketika Rasulullah sedang menyendiri di Gua Hira merenungi tentang diri dan umatnya. Ketika jiwa Rasulullah telah mencapai kesuciannya, turunlah malaikat Jibril membawa ajaran dan membimbingnya sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidupnya dan hidup umat manusia.
Hemat penulis, Gua Hira yang menjadi tempat merenung Rasulullah pada waktu itu, jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, tidak ubahnya adalah masjid. Hal ini di samping karena masjid merupakan tempat yang suci, juga karena dari masjid semua kebajikan bermula. Di masjid seseorang bisa dapat menghindar dari segala urusan dunia yang dapat menyesakkan jiwa dan pikiran dengan fokus men-charge kejiwaan dan keimanan seseorang yang seringkali naik-turun.
Kedua, iktikaf. Iktikaf yang berarti berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dicontohkan oleh Rasulullah lebih-lebih di malam sepeluh terakhir bulan Ramadhan, di mana Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Dalam diam di masjid itu Rasulullah bertadarus, merenung, dan berdoa.
Merujuk pada penuturan Aisyah, bahwa doa Rasulullah dalam menyambut lailatul qadr tidak lain adalah doa sapujagat; rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah waqina ‘adzabannar (wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dak di akhirat dan periharalah kami dari siksa neraka).
Terdapat filosofi mendalam dari doa sapujagat ini, di mana jika dimaknai lebih mendalam lagi, ia tidaklah sekedar permohonan untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat, tapi lebih dari itu doa ini bertujuan untuk menetapkan langkah (action) dalam berupaya meraih kebajikan, dengan langkah konkrit untuk menjadikan kebajikan dan kebahagian tidak hanya berdampak di dunia, tapi juga di akhirat kelak.
Jika kita bisa mengimbangi puasa kita dengan dua hal yang diajarkan Rasulullah di atas, tentunya dengan mudah kita bisa menggapai malam kemuliaan tersebut dengan penuh kedamaian hidup dan akan tercipta kesalehan jiwa yang berkelanjutan. Wallahu a’lam bis shawab...
*dimuat di NU Online (6 Agustus 2013)
0 Response to "Menggapai Lailatul Qadr"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!