MENJELANG Hari Raya Fitri yang tinggal menghitung hari, seperti kebiasaan dalam setiap tahun, suasana mudik sudah mulai menampakkan kemeriahannya. Mereka yang di perantauan pasti sudah mempersiapkan diri beserta keluarga untuk bisa mudik ke kampung kelahiran masing-masing.
Orang perkotaan mungkin tidak mengenal mudik. Tapi bagi kaum rantau mudik adalah momen istimewa yang penuh makna. Baginya, mudik merupakan salah satu upaya berkumpul, bercengkerama, bersenda gurau bersama keluarga dan saudara-saudara terdekat di kampung halaman. Dan merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagi mereka ketika bisa mudik dan berbagi terhadap sesama.
Mereka rela berdesak-desakan, antre dan menabung di jauh-jauh hari demi mudik, bisa pulang kampung bertemu sanak keluarga. Bahkan, tidak jarang dari mereka sampai memesan tiket jauh sebelum jatuh tempo, khawatir tidak dapat kursi penumpang.
Secara rasional-ekonomis, aktivitas pulang kampung berindikasi sebagai perilaku sosial kolektif yang negatif dan pemborosan anggaran. Itu karena ketika musim mudik, cenderung terjadi kemacetan lalu lintas, kerepotan pembangunan infrastruktur, ancaman keamanan, serta kriminalitas, bahkan tuntutan sosial lainnya yang terkait pelayanan publik.
Namun, jika ditinjau dari segi spiritualitas pelakunya, maka mudik adalah simbolisasi jihad masyarakat banyak, yang memiliki makna legitimasi theologi tasawuf. Jihad adalah upaya mengerahkan totalitas seseorang untuk kebaikan. Maka mudik menjadi salah satu medianya, yang berpihak pada perubahan individu dan sosial masyarakat.
Dalam istilah Nurcholis Majid (alm), disebut dengan istilah mudik theologis, di mana mudik dilakukan sebagai simbol dan saran pengabdian kepada Allah dan sebagai manifestasi dari kesadaran bahwa diri kita ini adalah kepunyaan Allah, yang berasal dari-Nya dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada-Nya. Puasa, tarawih, tadarus, zakat fitrah dan lainnya merupakan ibadah yang mensucikan jiwa di hadapan Allah. Silaturahmi dan saling memaafkan di antara sesama keluarga dan mudik itu sendiri merupakan bentuk pensucian jiwa di hadapan sesama manusia.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, guru besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Munir Mulkham, menilai bahwa mudik tidaklah sekadar tradisi belaka, lebih dari itu mudik adalah sebuah perjanjian manusia untuk menemukan hakikat kemanusiannya.
Huston Smith dalam karyanya The Religions of Man (2001), meneguhkan bahwa agama memandang ritual mudik adalah jalan menuju Allah. Maka dari itu, wisata mudik ke kampung halaman adalah wisata jalan menuju kepada Allah, yakni jalan kebaikan yang diajarkan dalam setiap agama-agama dunia termasuk agama Islam.
Dari sedikit paparan di atas, setidaknya ada tiga makna spiritual mudik atau bisa disebut dengan theologi mudik. Pertama, silaturrahmi. Sejalan dengan pesan Nabi Muhammad bahwa pada bulan Ramadhan hendaknya kita mengisinya dengan lima perkara; sedekah, memuliakan pemimpin, menyayangi bawahan, menjalin silaturahim, dan mencintai anak yatim.
Kedua, cinta tanah air. Kembali ke tanah air atau daerah asal kita lahir ini yang dalam konsepsi Islam disebut sebagai bagian dari iman. Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
Ketiga, upaya mengembalikan fungsi transformasi agama secara praksis. Ini karena agama bukanlah sesuatu yang tunggal, akan tetapi ia terkepung dalam realitas objektif yang sangat memengaruhi, baik interpretasi maupun aktivitasnya. Untuk itu, mudik merupakan media untuk melakukan kritik kebudayaan atau sebagai bentuk pemusnah budaya yang destruktif di daerah asal, setelah mengalami pertarungan psikologis dan sosiologis humanistik di perkotaan dan tempat rantau. Transformasi nilai progresif tersebut yang tentunya akan memberikan kesetaraan pembangunan yang penting dalam memajukan desa (daerah asal) secara umum.
Tiga makna spiritual di atas itulah yang sesungguhnya terkandung dalam aktivitas mudik, yang serentak terjadi menjelang Idul Fitri dalam setiap tahun. Namun, problemnya bagaimana tiga makna spiritual tersebut betul-betul tertanam pada diri kita masing-masing, tidak hanya ritual fisik belaka. Sehingga mudik kita tidak sekadar mudik biasa yang hanya mendapatkan capek, lelah dan mengeluarkan biaya mahal.
Demikian juga, suasana selama Ramadhan yang masyarakatnya lebih beradab, disiplin dan religius, juga bisa berlanjut pasca Ramadhan, sehingga masyarakat Indonesia ini terus menjadi lebih sopan, santun, mampu menahan diri, jujur dan tidak berkeinginan menyakiti orang lain.
Jika bisa demikian, maka bisa dipastikan kemenangan akan diraih masing-masing masyarakat kita, baik itu pemimpin, pejabat, politikus, aparat keamanan, pedagang, petani dan sebagainya. Idul Fitri atau Lebaran yang menjadi ritual perayaan kemenangan bisa dimenangkan oleh semua kalangan.
Pemimpin menang atas nafsu ambisinya. Pejabat menang atas nafsu korupsinya. Politikus menang atas nafsu politisnya. Aparat menang atas nafsu kriminalnya. Pedangang menang atas nafsu labirinnya. Petani menang atas nafsu birahinya. Sehingga, pasca Ramadhan dan arus balik tiba semuanya bisa lebar, lebur, luber, dan labur. Lebar dengan arti luas dan bebas. Lebur dari dosa dan semua kesalahan terampuni. Luber dengan pahala berlebih. Dan labur dengan artian wajah yang ceria, tanpa ada beban.
*dimuat di harian Medan Bisnis (6 Agustus 2013)
0 Response to "Makna Teologis dalam Prosesi Mudik"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!