Keberadaan Tionghoa memunyai keunikan tersendiri dalam interaksinya dengan suku lain. Di sejumlah daerah seperti Padang, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, hingga Ternate, Maluku, dan Papua mereka berhubungan baik dengan suku-suku setempat.
Peranakan Tionghoa di Indonesia, pada zaman Orde Baru (Orba) sering dipandang secara negatif. Padahal, mereka memunyai peranan penting dalam proses kebangsaan Indonesia.
Buku-buku dan berita-berita tentang etnis Tionghoa pada masa Orba sangat terbatas. Mereka sering dituduh sebagai komunitas yang eksklusif. Baru setelah masa reformasi, lebih-lebih pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), semua terbuka. Kini buku-buku tentang Tionghoa sangat mudah ditemukan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur karya Iwan Santoso ini salah satu dari sekian buku yang berbicara tentang etnis Tionghoa.
Berbeda dari buku tentang Tionghoa kebanyakan yang cenderung berbicara ekonomi-bisnis, buku ini membicarakan tentang sejarah Tionghoa di Nusantara dan kaitannya dengan proses kebangsaan.
Dalam sejarahnya, Tionghoa mulai melebur di Bali pada tahun 1200-an yang kemudian diabadikan dalam sepasang barong landung perlambang perkawinan antara Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We (hal 1-15). Sejak menyatunya sepasang kekasih ini sedikit demi sedikit budaya Tionghoa mulai memperkaya budaya asli Bali.
Ada banyak macam peranakan Tionghoa yang menyebar di negeri ini, di antaranya China Benteng, campuran, dan Pecinan Glodok-Pancoran. China Benteng tumbuh di Tangerang, di mana peranakan Tionghoa ini merupakan salah satu wujud kemunculan masyarakat hibrid atau Indo-Tionghoa. Mereka ini malah dianggap sebagai bumiputra.
Peranakan Tionghoa ini sulit dibedakan dengan orang Betawi dan Sunda. Bahkan Muhammad Yamin dalam satu perjalanan ke pelosok Tangerang menyebut peranakan Tionghoa tersebut hidup persis seperti anak negeri Indonesia lainnya (hal x). Sedangkan Pecinan Glodok-Pancoran tumbuh di Jakarta. Merekalah yang menjadi motor tumbuh dan berkembangnya Batavia menjadi Jakarta.
Keberadaan Tionghoa memunyai keunikan tersendiri dalam interaksinya dengan suku lain. Di sejumlah daerah seperti Padang, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, hingga Ternate, Maluku, dan Papua mereka berhubungan baik dengan suku-suku setempat. Hubungan yang baik ibarat ikan dan air di mana mereka hidup serta beranak-pinak dan saling menerima (hal xi).
Dari sini bisa dianalisis bahwa meleburnya peranakan Tionghoa sebetulnya menjadi bukti adanya daya kohesi yang kuat. Namun, kemudian kerap kali dikelola sebagai dagangan politik untuk memecah belah dan membangkitkan prasangka, seperti yang terjadi pada zaman Orba.
Terlepas dari pengelolaan yang kurang baik dan perdagangan politik tersebut, perlu ditegaskan bahwa etnis Tionghoa sangat berperan aktif dalam perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan tahun 1945-1949. Di antara mereka juga ada yang mengabdi dalam dunia militer. Peran mereka patut untuk tidak dikesampingkan dan dilupakan, seperti cara Tony Wen memimpin International Volunteer Brigade (IVB) di sekitar Magelang, Jawa Tengah, memperjuangkan kemerdekaan. John Lie yang mengembangkan jaringan intelijen di Karachi, Manila, hingga Taiwan untuk mendukung kemerdekaan.
Operasi Indoff yang melibatkan banyak pejuang Tionghoa dalam membangun jaringan serta memperoleh pasokan senjata eks Perang Dunia II (hal 291-292). Selanjutnya, dalam tingkat lokal ada kelompok-kelompok perjuangan yang beranggotakan orang-orang Tionghoa, seperti Resimen IV Riau, Laskar Tionghoa Indonesia (LTI) di Pemalang, Jawa Tengah, dan Batalion Matjan Poetih yang beroperasi di kaki Gunung Muria melawan Belanda.
Buku ini, seperti yang tertulis di sampul belakang merupakan rekaman jurnalistik tahun 2001-2012 untuk membuka sisi lain kebinekaan dan persaudaraan bangsa yang beragam terlepas dari prasangka politik yang diciptakan penguasa.
Data Buku
Judul : Peranakan Tionghoa di Nusantara
Penulis : Iwan Santoso
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : 2012
Halaman : xx 316 halaman
ISBN : 978-979-709-641-0
Harga : Rp50.000
*telah dimuat di Koran Jakarta (15 Februari 2013)
0 Response to "Peranakan Tionghoa dan Proses Kebangsaan Indonesia"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!