Jadzab dalam istilah tasawuf adalah suatu keadaan di luar kesadaran atau kebiasaan seseorang. Kata jadzab biasanya digunakan pada sebuah situasi bagi seseorang yang sedang mengalami khoriqul ‘adah (kebiasaan di luar kebiasaan). Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa jadzab adalah “gila”.
Tentang jadzab ini, sangat gamblang dipaparkan dalam novel The Jadzab Boy karya Hari Narasoma T. S.. Ia menceritakan tentang salah satu santri nyeleneh yang menaruh hati pada putri kiai di sebuah pesantren yang ia tempati.
Tersebutlah Gatot, salah satu santri di Darul Muhyiddin yang terkenal nyeleneh. Salah satu keanehannya, ia selalu ingin kabur dari pondok. Di setiap kali ia mau kabur, dia mengendap-ngendap di sekitar ndalem di kala para santri sedang asyik muthala’ah. Namun sayang, usahanya tak pernah berhasil, hingga pada usaha yang ketujuh ia tertangkap basah oleh pengasuh pesantren, Kiai Qadir. Alih-alih langsung ketakutan, Gatot malah cengengesan.
Namun, semenjak itulah, Gatot berubah sikap 180 derajat. Tak ada lagi kamus kabur dalam hidupnya. Pertemuan pertamanya dengan Neng Zulaiha di malam setelah tertangkap basah, membuat ia ingin tinggal selamanya di pesantren yang awalnya ia anggap sebagai penjara.
Seiring berjalannya waktu, cinta Gatot kepada putri sulung kiainya itu semakin subur. Banyangan Neng Zulaiha selalu menari dalam pikirannya. Namun, sayang seribu sayang, belum sempat memiliki Neng Zulaiha, janur kuning sudah melengkung. Neng Zulaiha dijodohkan dengan Gus Farid, putra Kiai Mahmudi dari Banten.
Mendapatinya, Gatot frustasi tidak bisa menerima kenyataan. Dia berjalan tanpa arah untuk mengusir rasa frustasi di tengah suka cita keluarga Neng Zulaiha, hingga akhirya semua terasa gelap dan tak terkendalikan. Gatot pun pingsan di tengah perjalanan frustasinya.
Dari sini cerita jadzab dimulai. Di saat belum tersadarkan diri, ia didatangi oleh almarhum kakeknya, Mbah Ontobogo. Di dalam mimpimya ia memprotes Mbah Ontobgo yang selalu menyuruhnya sholat namun ia sendiri tak pernah mengerjakannya. Mbah Ontobogo yang terkenal kedalaman ilmu batinnya, justru menentang dengan sebuah pertanyaan untuk dijawab Gatot. Jika Gatot mampu menjawab, maka iapun diperbolehkan untuk tidak sholat. Pertanyaannya sederhana dan filosofis; Di manakah sarang angin berada?. Gatot pun geleng-geleng tidak bisa menjawab (hlm. 194-204).
Setelah sadar dari pingsannya, Gatot kemudian bertemu dengan salah seorang yang unik dan datang seperti tiba-tiba. Namanya Mbah Kento. Tingkah lakunya sangat tidak dimengerti oleh kebanyakan orang umum. Mbah Kento seakan dapat membaca isi hati lawan bicaranya. Namun, Gatot merasa sangat tenang dan nyaman bersamanya. Hanya dengan Mbah Kento-lah ia bisa mengakui bahwa dirinya memang tidak tampan dan jauh dari kesempurnaan.
Di setiap pertemuannya, Mbah Kento selalu memberikan ilmu hikmah tentang kehidupan yang akhirnya mengantarkan hambanya semakin dekat dengan sang maha pencipta. Dan berkat perantara Mbah Kento, Neng Zulaiha terhapus bersih dari pikirannya. Kini, cinta pada Sang Penciptalah yang selalu menemani setiap hembusan nafas Gatot.
Sejak saat itulah jadzab si Gatot semakin menjadi-jadi. Tak pelak, hal ini menjadi hotnews di kalangan pesantren. Banyak tingkah laku Gatot yang sudah tak lagi dapat dicerna oleh akal kebayakan santri. Bahkan pernah suatu ketika ia berkeliling pondok dan dengan suara lantang ia mengatakan ingin merutuhkan keraton surga dan akan menutup jurang neraka. Supaya tak ada lagi manusia konyol yang beribadah hanya mengharap surga dan takut neraka. (hlm. 261).
Lebih dari itu, novel ini bukanlah novel yang sederhana. Novel The Jadzab Boy ini menunjukkan kecerdasan dan kepintaran penulisnya dalam berbagai bidang ilmu, karena dalam novel ini ada persinggungan ilmu fisika, tasawuf, dan filsafat. Karenanya novel ini tidak sekedar menghibur, tapi juga merupakan novel ilmiah dalam disiplin ilmu yang sangat berbeda; fisika, tasawuf, dan filsafat.
Penulis mampu menyampaikan pengetahuannya tentang disiplin ilmu yang terbilang berat dengan percakapan humorial. Hal itu tampak dari karakter beberapa tokoh di dalamnya. Si Albert yang jago fisika dan si Habib yang sangat kagum dengan tokoh sufi, Jalaluddin ar-Rumi. Mereka selalu menanggapi masalah dan keadaan dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Penulis juga mampu mengintegrasikan disiplin ilmu yang berbeda, seperti ketika mereka sedang belajar bersama Mbah Kento tentang filosofi cinta. Dengan fasih-nya si Albert meninjau makna cinta dengan kacamata fisika bahkan dia juga menciptakan rumus cinta. Sedangkan si Habib menghubungkannya dengan puisi tokoh sufi favoritnya, Jalaluddin Rumi (hlm. 240).
Terakhir, jika melihat cover dan sinopsis novel ini mungkin pembaca akan mengira bahwa novel ini adalah novel humor. Namun, kalau membaca isi novel ini, trnyata tidak sesederhana cover dan sinopsis yang ada. Membaca novel ini tidak hanya aspek lucu yang akan didapat tapi juga ilmiah.
Data Buku
Judul : The Jadzab Boy
Penulis : Hari Narasoma T. S.
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 362 halaman
ISBN : 978-602-7640-08-5
Harga : Rp. 38.000,00
*telah dimuat di WAWASANews.com (Selasa, 5 Maret 2013)
0 Response to "Cinta Seorang Jadzab"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!