Membaca buku Greendeen ini mengingatkan saya pada salah satu informasi penting yang disampaikan oleh salah seorang guru besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Prof. Dr. Ali Maschan Moesa, dalam sebuah perkuliahan bahwa salah satu buku yang paling laris di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun belakangan ini adalah Al-Qur'an yang merupakan kitab suci umat Islam.
Di saat Negara Adidaya itu sibuk dengan permasalahan duniawi dan Islam dianut oleh masyarakat minoritas AS, ternyata Al-Qur'an mendapatkan perhatian tinggi di sana. Rasanya mereka mulai sadar untuk kembali pada kitab suci, dalam hal ini Al-Qur'an, untuk menjadi tuntunan hidup sehari-hari, baik dalam bersosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan.
Buku setebal 318 halaman ini salah satu contoh upaya masyarakat AS untuk kembali pada kitab suci dalam bersosial-lingkungan yang ditulis oleh pria kelahiran AS, Ibrahim Abdul-Matin. Melalui buku ini Ibrahim Abdul-Matin menegaskan bahwa dalam Al-Qur'an terdapat segudang inspirasi dalam menjaga dan mengelola alam ini, seperti bagaimana kita mengelola limbah, energi, air, dan makanan.
Penegasan di atas yang selanjutnya menghasilkan sebuah pemahaman Agama Hijau (greendeen), di mana segala sesuatu didasarkan pada/atas prinsip-prinsip Islam seraya berkomitmen kepada alam.
Melalui konsep Agama Hijau tersebut Ibrahim Abdul-Matin mengajak semua masyarakat planet ini untuk menjadikan alam sebagai konsumsi utama dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita bisa mengelola limbah, energi, air, dan makanan harus menguatkan fondasi moral kita dan mentransformasikan lingkungan yang bebasis polusi menjadi lingkungan hijau yang menegaskan kehidupan dan kemandirian.
Dalam buku setebal halaman ini, Ibrahim Abdul-Matin menyuguhkan beberapa permasalahan dan selanjutnya menawarkan solusi yang ia pegangkan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi. Contoh kecilnya seperti peternakan lokal yang ramah lingkungan, perlakuan wajar dan baik pada binatang, dan makan sesuai musim sebagai solusi dari agar bisnis makanan perusahaan kecil di AS tersajikan dengan baik dan halal (hal. 223-258).
Gambarannya, Ibrahim Abdul-Matin mencontohkan seperti yang disajikan layanan daging hewan halal, Green Zabiha, milik Yasir Syeed, di mana hewan-hewannya diberi pakan rumput langsung dan disemebelih dengan kesadaran penuh dimensi ruhani. Binatangnya diberlakukan dengan adil. Disembelih untuk dimakan tidak dipenggal untuk dibuang. Hal ini dilandaskan pada hadis nabi yang bisa ditemukan pada Sunan Nasa'i hadis ke-207 (hal. 260).
Selain itu, binatang juga harus diberlakukan dengan penuh cinta. Mereka tidak boleh diberlakukan tidak layak, tidak diberi makan dan minum atau disakiti dengan cara apa pun. Bahkan ketika kita hendak mengakhiri hidupnya, sebagai adabnya pisaunya harus tajam dan tidak diperlihatkan pada binatang yang mau disembelih.
Selanjutnya, perihal pengelolaan limbah, hemaatnya, seharusnya kita tidak membiasakan diri untuk membuang sampah pada air, sehingga bisa membahayakan pada manusia, ikan, dan makhluk lainnya. Ini sebagai solusi dari kebanyakan industri dan perusahaan besar yang seringkali memberlakukan air dan sampah dengan keliru dan tidak adil. Mereka menggunakan air sebagai tempat pembuangan. Padahal hal tersebut sangat berdampak buruk selama bertahan bertahun-tahun, bahkan bisa hingga berabad-abad lamanya.
Ibrahim Abdul-Matin memberikan contoh seperti yang terjadi di Teluk Minamata, Jepang (hal. 190). Akibat dari ulah Chisso Corporation, sebuah perusahaan kimia, yang membuang limbah merkuri ke Teluk Minamata, habitat ikan dan ekologi lainnya menjadi hancur karena racun kimia yang disebabkannya. Parahnya lagi, banyak penduduk yang menderita dan mati karena ikan yang mereka konsumsi mengandung racun.
Selain itu, hal terpenting dari konsep Agama Hijau adalah bagaimana sebisa mungkin kita terus ingat pada Tuhan, yang dalam Islam digambarkan dengan shalat. Sebagai muslim yang menegakkan Agama Hijau, kita tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apa pun.
Kata Ibrahim Abdul-Matin, di AS yang jarang ada bangunan masjid atau mushalla, jangan sampai menjadi hambatan untuk tidak shalat, karena shalat bisa dikerjakan di mana saja. Bumi ini adalah masjid. Sesuai dengan hadis nabi yang bisa ditemukan di Shahih Muslim hadis ke-1057 bahwasanya di mana pun kita berada, saat waktu shalat tiba, Rasulullah memerintahkan shalat, sebab bumi ini adalah masjid (hal. 20).
Pesan tersirat dari hadis di atas, selain agar kita senantiasa memelihara alam, juga agar kita selalu dekat dengan Tuhan, ramah dengan lingkungan, dan saling menjaga antara satu sama lainnya di planet ini.
Di mata Ibrahim Abdul-Matin, hadis di atas memandunya untuk menemukan pesan khusus, bahwasanya Islam menyediakan lensa yang berguna untuk mendorong kaum muslimin dan siapa pun yang punya kepedulian untuk begerak menyelamatkan bumi ini (hal. 21).
Lensa itulah yang kemudian meliputi enam prinsip Agama Hijau, yaitu kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid); tanda-tanda (ayat) kebesaran Tuhan; peran manusia sebagai penjaga (khalifah) di bumi; perjanjian atau keparcayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada manusia; perjuangan menegakkan keadilan ('adl); dan keseimbangan (mizan) dengan alam.
Meski buku ini mengacu pada fenomena yang terjadi di AS, tapi esensi di dalamnya bisa dikorelasikan dengan apa yang terjadi di negeri ini perihal lingkungan, sehingga tepat sekali karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Tanah Air dan bisa dibaca semua kalangan. ***
Data Buku
Judul : Greendeen, Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam
Penulis : Ibrahim Abdul-Matin
Penerjemah : Aisyah
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, September 2012
Tebal : 318 halaman
ISBN : 978-979-024-319-4
Harga : Rp40 ribu
*telah dimuat di Harian Bhirawa (15 Februari 2013)
0 Response to "Islam dan Pelestarian Lingkungan"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!