Di penghujung tahun ini, seperti sudah jamak terjadi, ada satu perayaan besar yang akan banyak menyita perhatian masyarakat umum, yaitu Hari Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember 2012. Jika sudah tiba Hari Natal, bisa dipastikan banyak masyarakat yang akan merayakannya dengan meriah, tidak kalah dengan perayaan hari-hari besar lainnya.
Meski Hari Natal identik dengan hari raya masyarakat non Islam (baca: Kristiani), namun tidak sedikit dari masyarakat Muslim juga merayakannya, bahkan melebihi perayaan hari besar agamanya sendiri semisal Idul Fitri dan Adha, dengan berbagai motif masing-masing.
Sebagian dari mereka ikut merayakannya karena motif toleransi agama, persaudaraan, dan sebagian yang lainnya karena motif foya-foya dan ikut arus modernisasi zaman yang cenderung hidones, di mana segala yang ada diukur dengan materi.
Terlepas dari berbagai motif di atas, bagaimana seharusnya kita menyikapi perayaan tersebut? Sahkah mengucapkan selamat Natal dan menghadiri acara perayaannya bagi orang non Kristiani? Bagaimana Islam menghukuminya?
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak melarang umatnya untuk mengucapkan selamat Natal. Al-Qur’an mengabadikan ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk nabi Isa a.s.. Hal itu tersirat dalam surat Maryam ayat 33, yang artinya; “dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku aku dibangkitkan hidup kembali” (Q.S. 19: 33).
Maka dari itu, jika seorang Muslim, mengucapkan selamat Natal, maka bukan hanya menjadi kesadaran persaudaraan, melainkan tuntunan keimanan yang sangat mendasar.
Meskipun demikian, konflik antaragama di Indonesia masih terus membayang, bahkan juga konflik intraagama. Umat beragama tidak disuguhi pemandangan damai dari kalangan agamawan yang mengucapkan selamat kepada umat agama lain dalam merayakan hari besarnya, termasuk hari raya Natal. Dan hingga hari ini masih terdapat sejumlah pihak yang mengharamkan mengucapkan selamat dan hadir pada perayaan Natal bagi seorang Muslim atau hari raya agama lainnya.
Fatwa tersebut kiranya tidak relevan dan mengganggu terwujudnya kerukunan beragama di negara yang penduduknya sangat plural seperti Indonesia ini, di mana Indonesia merupakan negara majemuk, negara yang di dalammya hidup berbagai macam agama, yang setiap pemeluk agama memiliki kebebasan untuk merayakan dan menjalankan keyakinannya, dan penganut satu agama harus menghormati penganut agama lainnya.
Untuk itu, para ulama Indonesia yang mengharamkan memberikan ucapan selamat Natal hendaknya “melihat” bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka, tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Kristiani di negaranya, tapi juga biasa ikut merayakan Natal di gereja.
Dengan demikian, kiranya konflik antaragama—termasuk pengharaman ucapan selamat Natal—harusnya tidak terjadi lagi. Pengharaman untuk mengucapkan selamat Natal untuk penganut agama lain kiranya perlu untuk dipertimbangkan. Apalagi di Indonesia ini merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai pluralisme. Karenanya, tokoh agamawan setidaknya bisa menjadikan saling ucap selamat dalam perayaan hari besar agama sebagai langkah awal untuk menciptakan kerukunan dan kebersamaan dalam kehidupan umat beragama.
Di Indonesia, tokoh yang mulai—bahkan sudah—mempertimbangkannya sebut saja seperti Amien Rais. Amien Rais yang sering dikelompokkan sebagai seorang tokoh Muslim militan yang anti-Natal, setelah menjabat ketua MPR sering terlihat menghadiri acara-acara Natal dan berbicara akrab dengan para pendeta dan pastor. Sikap Amien Rais ini semakin jelas ketika mencalonkan diri jadi presiden RI pada 2004 silam. Amien Rais sering hadir dalam acara-acara yang diadakan umat Kristiani, baik itu di acara Natal, Paskah, maupun lainnya. Amien Rais juga sering terlihat berada dalam lingkaran para pemimpin Kristiani.
Tidak hanya Amien Rais, almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama keluarganya, juga tidak jarang menghadiri acara Natal. Mantan Presiden RI ke-4 ini berpendapat bahwa sukacita Natal bukan monopoli mereka yang beragama Kristen, tapi kegembiraan semua agama. Lebih lanjutnya, menurutnya, bahwa Isa Almasih yang disebut dalam Al-Quran tidak lain adalah Yesus Kristus. Denga demikian, baginya peringatan natal adalah peringatan muslimin juga (Buletin GKY No. 8-Tahun 5, April 2000).
Berbeda dengan Hidayat Nur Wahid. Hidayat Nur Wahid ketika menjadi ketua MPR belum pernah terlihat muncul dalam acara Natal. Hidayat Nur Wahid tampaknya konsisten terhadap “larangan” mengucapkan Natal–apalagi menghadiri—acara perayaan Natal. Hidayat Nur Wahid rupanya termasuk tokoh yang patuh terhadap fatwa haram yang melarang umat Islam merayakan Natal.
Mengaca Pada Mesir
Untuk masalah ini negeri Piramida, Mesir, kiranya bisa dijadikan cermin. Seperti apa yang diceritakan oleh teman penulis yang juga seorang peneliti Timur Tengah, Hasibullah Satrawi, bahwa dalam persoalan Natal, sejumlah agamawan terkemuka di Mesir tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Lebih daripada itu, mereka memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana. Momen-momen damai seperti ini digunakan oleh sejumlah agamawan di Mesir untuk mengukuhkan tali persaudaraan kebangsaan, mengukuhkan bangunan perdamaian, dan menghormati segala jenis perbedaan. Di antara tokoh agamawan Mesir yang demikan diantaranya Grand Syeikh Al-Azhar Kairo dan Sayyid Muhammad Thanthawi.
Begitu pun sebaliknya, sejumlah pemimpin Kristen (Koptik) di Mesir turut merayakan dan mengucapkan selamat ketika hari raya keagamaan umat Islam tiba. Suasana damai, kondusif, dan penuh persaudaraan menyelimuti kehidupan masyarakat di sana, dimulai dari kalangan agamawan kemudian diikuti oleh segenap umat dan pengikutnya.
Peran agamawan seperti di Mesir memberikan sumbangsih cukup besar bagi terjaganya hubungan damai dalam kehidupan masyarakat Mesir, terlepas apa pun agama ataupun kelompoknya. Setidak-tidaknya masyarakat Muslim di sana tidak diharamkan bila turut merayakan Natal bersama sahabat atau kerabat yang beragama Koptik.
Jika di Indonesia bisa demikian, maka sudah pasti akan tercipta negara yang damai dan kondusif. Negara yang di dambakan Islam; baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Terakhir, sebagai penutup, menyambut perayaan natal tahun ini penulis ucapkan; “Selamat Natal bagi yang merayakannya”.
*telah dimuat di Majalah Al-Fikr No. 22 TH. XXI/
Muharram-Jumadil Akhir 1434 H. IAINJ, Paiton, Probolinggo
Muharram-Jumadil Akhir 1434 H. IAINJ, Paiton, Probolinggo
Disadari atau tidak, seorang penulis lahir dari sebuah tradisi. Tradisi akan membentuk gagasan, sikap, pola pikir dan cara pandang. Dari beberapa tulisan Sdr., sudah bisa disimpulkan, pada tradisi apa Sdr. perbijak. Ibarat kuasan lukis pada sebuah kanvas, Sdr telah memperlihatkan garis dan lekuk2 lukisan itu.
BalasHapusSelamat Sdr.
Selamat sukses di jalan yang Sdr tempuh.
Selamt!
Terima kasih Sdr.
HapusAndai pada komentar ini tidak beredintitas Anonim, maka garis dan lekuk lukisan saya akan lebih jelas. :)