Selamat Datang di Blog Sederhana ini. Semoga Bisa Bermanfaat. Amin...

Raja Sufi Tak Beralas Kaki*


ANGKA 10 bisa jadi hasil dari 1+9, 2+8, 3+7, 4+6, 5+5, dan seterusnya. Cara yang berbeda, namun hasilnya sama. Kiranya seperti itu juga yang disiratkan dalam buku Ibrahim ibn Adham karya Ahmad Bahjat, bahwa untuk menjadi sufi bisa dengan cara masing-masing orang, sekalipun dengan berkelana dengan kaki telanjang.

Buku yang diterjemahkan dari judul asli Al-Amir wa al-Darwis oleh Zainul Muttaqin Yusufi ini berisi kisah perjalanan Ibrahim ibn Adham, seorang raja sufi, dalam menemukan Tuhannya. Jika Ibnu Arabi dengan jalan wihdatul wujud-nya dan Al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, maka Ibrahim ibn Adham dengan mengembara tanpa alas kaki.

Kisahnya, dia adalah seorang raja kaya raya bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim ibn Adham ibn Masur. Raja yang hidup pada masa kerajaan Mamalik itu selalu menghabiskan hari-harinya dengan pesta fora bersama para menterinya di istana. Ketika malam tiba, ia akan mulai berpesta tanpa henti dengan segala kemewahannya sampai pagi hari, baru setelah matahari mulai menyingsing ia tidur dan bangun kembali setelah malam tiba lagi (hal. 9). Begitulah kebiasaan sang raja dalam mejalani hari-harinya. Ia lupa semuanya, termasuk pada Tuhan, yang telah memberinya semua harta dan tahta yang ada.

Singkat cerita, kebiasaan itu kemudian berbalik arah setelah sang raja bertemu dengan seorang darswis yang tak sengaja masuk ke pesta fora sang raja, yang tak tahu dari mana datang dan masuknya. Dengan kualitas ilmu yang dimiliki darwis misterius itu kemudian menyingkap semua kegelisahan sang raja selama ini. Hingga akhirnya, tanpa dirasa, sang raja ikut darwis tersebut berjalan kaki dengan kaki telanjang ke sebuah pegunungan, entah di mana. Sepi, gelap, dan rimba (hal. 40).

Semenjak itulah selubung kehidupan pribadi sang raja semakin disingkapnya. Oleh sang darwis dikatai bahwa sang raja selalu dikejar-kejar kegelisahan mimpi yang datang tiap malam. Perdana menteri serta hakim kerajaan pun tak luput dari penilaiannya (hal. 30-33). Sufi pengembara itu mengetahui dengan jelas bagaimana konspirasi yang dilakukan oleh perdana menteri kerajaan dengan musuh sang raja, yang diam-diam tanpa sepengetahuan raja, perdana menterinya berkhianat, lewat surat yang disimpan dalam kotak penyimpanan yang kuncinya dipercayakan pada perdana menterinya tersebut.

Mendapatkannya, sang raja jadi terheran-heran dan ia percaya bahwa apa yang dikata darwis itu masih menyimpan rahasia—hingga akhirnya akan mengungkap sebuah kebenaran dan pencerahan. Kemudian, diikutilah darwis itu ke mana pun pergi, demi sebuah rahasia yang tersimpan. Harta, tahta, dan segala kemewahan di istana ia tinggalkan. Tekat bulat diputuskan untuk ikut bersama darwis itu.

Dari mengikuti perjalanan sang darwis itulah, sang raja jadi mengetahui dengan detail semua kondisi rakyatnya yang serba kekurangan, keadaan kota yang tidak aman, serta suara rakyatnya yang terkurung oleh dinding-dinding tebal istana. Ia baru menyadari bahwa semua kemewahan, kemegahan, serta kekuasaannya ternyata hanyalah kepalsuan belaka. Ia juga merasa bahwa selama ini dikelilingi oleh para penjilat yang berusaha mencari muka dihadapannya, termasuk anaknya sendiri, pengeran Hasan, yang ingin melakukan kudeta terhadap dirinya di belakang layar (hal. 147).

Pangeran Hasan ternyata ambisius untuk menggantikan sang raja di tengah jalan. Kepergian sang raja pun ia fungsikan dengan memuluskan ammbisinya. Sebagai langkah pertamanya, ia memenjarakan panglima kepercayaan sang raja dan digantikan oleh panglima pengganti pilihan pangeran Hasan. Langkahnya pun berjalan lancar.

Tidak cukup sampai di situ, sang raja yang ingin mengatur kerajaan lewat surat menyurat dengan panglima kepercayaannya diburu dan ditangkapnya, dan kemudian disebarkan kabar bohong bahwa sang raja telah mati ketika tengah berburu di hutan.

Namun, ternyata Tuhan berencana lain. Di tengah kuasa pangeran Hasan yang dholim itu, ternyata masih ada sisa budak perempuan sang raja di istana yang masih setia padanya dan kemuadian membebaskan sang raja kala tengah malam (hal. 156).

Untuk menghindari kuasa yang dholim, sebagai seorang yang sudah menjadi sufi, atas saran gurunya, sang raja pergi ke Mekkah (hal. 163), hingga akhirnya ia menghabiskan sisa hidup di Syam (Siria).
Kisah sufi Ibrahim ibn Adham ini mungkin jarang terdengar di telinga pembaca, karena memang masih minim buku yang membahas tentangnya. Buku ini lahir sebagai tambahan perbendaharaan tokoh sufi yang bisa menjadi teladan bagi pembaca.

Hemat saya, dari buku setebal 164 halaman ini bisa dipetik hikmah bahwa, pertama, banyak cara dan jalan untuk menunggu Tuhan, sehingga perbedaan tidak perlu lagi dipermasalahkan. Kedua, dalam keadaan apa pun sebuah amanat tetaplah amanat, sehingga harus betul-betul dijaga dan dipertanggung jawabkan. Meski sang raja ada diluar istana, tapi ia tetap mengatur kepemimpinannya di istana lewat surat kepada panglima kepercayaannya.

Selanjutnya, hemat saya, dalam buku ini ada ketidaksingkronan sejarah. Disebutkan dalam buku ini bahwa Ibrahim ibn Adham hidup pada masa Mamalik dan juga tokoh abad ke-8. Ketidak singkronannya, ada sejarah lain menyebutkan bahwa abad ke-8 sampai 11 itu adalah masa keemasan Islam daulah Abbasyiyah, bukan Mamalik. Adapau Mamalik itu sendiri ada pasca Abbasyiyah yang hidup sebelum Turki Ustmani.


Data Buku
Judul : Ibrahim ibn Adham: Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki
Penulis : Ahmad Bahjat
Penerjemah : Zainul Muttaqin Yusufi
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 164 halaman
ISBN : 978-979-024-318-7
Harga : Rp. 30.000,00



*telah dimuat di Malang Post (25 November 2012)

0 Response to "Raja Sufi Tak Beralas Kaki*"

Posting Komentar

Tinggalkan komenrar Anda di sini!