Perihal Islam dan kaitannya dengan sebuah karya seni, ternyata masih banyak kalangan dan tokoh yang beranggapan miring. Bahkan, mereka ada yang beranggapan haram ketika karya seni dicampuradukkan dengan Islam.
Salah satu contohnya, pada tahun 1992 Munawir Sjadzali, yang menjabat sebagai Menteri Agama Indonesia pada tahun 1983-1993 berujar di depan pers; “Al-Qur’an itu tidak boleh dikorbankan untuk seni”. Juga, Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia hingga tahun 1995 masih menganggapnya haram.
Meskipun demikian, tidak semua seniman tunduk dan takluk pada anggapan subjektif seperti di atas. Salah seorang seniman itu adalah Abdul Djalil Pirous (A.D. Pirous), seorang seniman asal Aceh keturunan India, yang perjalanannya terangkum dalam buku Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia karya Kenneth M. George, seorang Profesor Antropologi Budaya University of Wisconsin, Madison.
Dalam buku yang diterjemah dari judul asli Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeword oleh Hawe Setiawan ini, George menjelaskan tentang perjalanan A.D. Pirous dalam memperjuangkan dan merintis seni Islam di Indonesia.
A.D. Pirous yang berlatar belakang seniman mengeksplorasi seluk beluk seni Islam lewat lukisan. Jenis lukisan yang dipilihnya berupa lukisan kaligrafi arab-Al-Qur’an yang rata-rata ditorehkannya lewat cat minyak, panel, akrilik, dan kanvas dengan imajinasi liar khas A.D. Pirous. Lukisan ala A.D. Pirous itulah yang kemudian di Indonesia ini disebut dan muncul istilah “seni islami”. Tujuan dari karya “seni islami” yang ditekuni A.D. Pirous tidak lebih hanya sebagai catatan spiritualnya, bukan dakwah dan bukan pula seruan agama. Ini sesuai dengan pengakuannya ketika kalangan ulama’ dan kritikus sastra merasa keberatan dengan mempertanyakan tujuan karya seninya pada awal Maret 1994.
Lebih lanjutnya, A.D. Pirous menganggap karya lukisnya itu sebagai cara dia dalam merekam sesuatu yang menjadi catatan reflektifnya yang berupa pengalaman, sesuatu yang dikatakan dan dilakukan, gagasan, kutipan, atau peristiwa yang sangat berarti.
Lebih lanjutnya lagi, bagi A.D. Pirous, melukis itu berarti menulis, atau setidaknya, membuat semacam tulisan. Dia berbicara tentang bahasa visual, yang menyiratkan beberapa afinitas di antara kode verbal dank ode visual—yang tentunya kaligrafi Al-Qur’an yang ia gemari dan tekuni membawa semacam tulisan dalam pengertian konvensional.
Karena itu, Kenneth M. George menilai bahwa kosa kata religius, visual, dan filosofis yang melekat pada karya seni A.D. Pirous akhirnya menunjukkan kedekatannya dengan para pelukis dan intelektual Muslim di Asia Tenggara, yang menurutnya sangat sesuai dengan konvensi dan kecenderungan pemikiran dan praktik Islam Indonesia kontemporer (hal. 128). Dalam banyak hal, A.D. Pirous adalah Muslim modenis ortodoks dan dalam pemikirannya tentang seni menunjukkan kedekatannya dengan spritualisme neo-Sufi yang populer di Indonesia pada 1980-an dan setelahnya.
Proses kreatif A.D. Pirous itu, pada awalnya, dieksplorasikan lewat studio dan galeri Decenta di Bandung dan pada tahun 1991 dan 1995 lewat pengadaaan sebuah pameran seni berskala nasional yang digagas dengan bentuk festival, Festival Istiqlal. Lukisan-lukisannya yang kebanyakan terilhami oleh ayat-ayat Al-Qur’an dipajang pada pameran tersebut. Festival Istiqlal pun mendapatkan sambuatan masyarakat yang begitu luas.
Namun, tidak seperti masyarakat kebanyakan, beberapa tokoh dan organisasi Islam tidak semuanya menyukai pencampuran seni dan Islam (Al-Qur’an) seperti yang dilakukan A.D. Pirous. Bahkan salah seorang teman A.D. Pirous yang juga seorang seniman memberi kesan kasar dengan nada sinis; Mengapa Anda merusak keindahan lukisan dengan tulisan dan ayat-ayat Al-Qur’an?
Tidak cuma itu, pasca pelaksanaan Festival Istiqlal, tantangan terbaru bagi A.D. Pirous adalah ketika Depertemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia keberatan atas usulan penempatan nomor ayat pada desain mushaf lukisannya. Untuk itu, A.D. Pirous beserta dua orang temannya, Noe’man dan Machmud, mengadakan kunjungan ke Intanbul, Kairo, dan Amman untuk mempelajari lebih dalam contoh Al-Qur’an demi menunjukkan kepada pihak berwenang cara yang luwes dan beragam dalam penempatan nomor ayat dalam tek-teks Al-Qur’an (hal. 84).
Semua itu, hemat saya, adalah salah satu bentuk ikhtiar seorang A.D. Pirous yang ingin menunjukkan bahwa Islam adalah wajah kebudayaan yang sangat Indah dan bersabahat—tidak terkecuali dalam sebuah karya seni. Islam tidaklah kaku. Dengna kata lain, wajah Islam dalam sebuah karya seni juga tidak kalah indah dengan wajah Islam ketika dilekatkan pada hal selain seni.
Data Buku
Judul : Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia
Penulis : Kenneth M. George
Penejemah : Hawe Setiawan
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Maret 2012
Tebal : 246 halaman
ISBN : 978-979-433-698-4
*telah dimuat di harian Radar Surabaya (17 Juni 2012)
0 Response to "Wajah Islam dalam Sebuah Karya Seni*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!