Era modern ini, di berbagai penjuru dunia, seakan sudah tidak ada makhluk yang peduli pada orang, golongan, dan ras yang lain. Semuanya cenderung memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya masing-masing. Bahkan seakan-seakan akan berlaku hukum rimba, di mana yang kuat akan menguasai.
Hal itu bisa dilihat dari konflik Palestina-Israel, isu terorisme, seksualisme, praktik koruptif, dan sebagainya, yang tidak hanya menjadi masalah lokal tapi sampai international. Meski semua negara terus berusaha mencari solusinya, dengan cara masing-masing, namun masalah yang ada malah semakin subur, tak teratasi.
Bagaimana mengatasinya, agar tercipta kehidupan dunia yang lebih baik? Karen Armstrong menjawab pertanyaan ini lewat buku terbarunya Compassion, yang dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliana Liputo. Sebagai solusi dari semakin buruknya dunia ini, Armstrong memulai dari pribadi kita agar sadar akan inti ajaran agama kita masing-masing, yaitu ajaran kasih sayang atau belas kasih-ini yang selanjutnya disebut Kaidah Emas.
Sekilas, teori belas kasih tersebut terkesan enteng dan tidak menarik, tapi kalau kita melihat pada realita yang ada, di mana masyarakat kita sedang kehilangan nurani belas kasihnya, maka kita sangat membutuhkan kaidah itu. Karenanya, teori belas kasih itu perlu dikembalikan sebagai inti dari kehidupan religius dan moral agama-agama. Sebagai langkah konkritnya, Armstrong menggagas sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang bisa hidup bersama saling menghormati, yang kemudian ia realisasikan ke dalam bentuk Piagam Belas Kasih (Chrakter of Compassion), yang kemudian ditulis oleh para pemikir terkemuka dari berbagai agama. Isi dari piagam itu berisikan butir-butir yang melawan suara-suara ekstrimesme, intoleransi, dan kebencian.
Ada lima butir dalam piagam itu di antaranya; a) untuk mengembalikan belas kasih ke pusat moralitas dan agama; b) untuk kembali pada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian, atau kebejatan adalah tidak sah; c) untuk memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama, dan budaya lain; d) untuk mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama; dan e) untuk menumbuhkan empati yang cerdas atas penderitaan seluruh manusia-bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh (hal. 13).
Ada lima butir dalam piagam itu di antaranya; a) untuk mengembalikan belas kasih ke pusat moralitas dan agama; b) untuk kembali pada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian, atau kebejatan adalah tidak sah; c) untuk memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama, dan budaya lain; d) untuk mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama; dan e) untuk menumbuhkan empati yang cerdas atas penderitaan seluruh manusia-bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh (hal. 13).
Layak diapresiasi karena piagam itu lahir di saat seperti zaman sekarang ini, di mana agama-agama secara luas diasumsikan dungu karena pemeluknya sudah tidak mengikuti isi dari inti ajarannya. Dengan demikian, piagam itu diharapkan bisa memperlihatkan bahwa meskipun kita berbeda-beda, semuanya sepakat akan ajaran belas kasih dan bahwa adalah mungkin bagi agama untuk menjembatani perbedaan yang ada dan bekerjasama untuk keadilan dan perdamaian.
Sebetulnya perumusan Kaidah Emas itu bukanlah hal yang asing, tapi melihat penghuni dunia ini sudah mulai melupakannya, maka perlu didatangkan kembali. Menurut buku ini, orang pertama yang merumuskan Kaidah Emas adalah Konfusius (551-479 SM), guru bijak dari China, di mana dia mengatakan bahwa ajaran yang bisa dipraktikkan muridnya setiap hari adalah tentang tenggang rasa (shu), seraya dia berujar; "jangan pernah lakukan kepada orang lain apa-apa yang kau tidak ingin mereka lakukan untukmu" (hal. 15).
Selanjutnya, pembaharu yang berhasil menjadikan nilai belas kasih sebagai kekuatan praktis, efektif adalah Quaker Elizabeth Fry (1780-1845) dan Dorothy Day (1897-1980). Dan pada era yang lebih modern diwakili oleh Nelson Mandela dan Dalai lama. Dua orang itu merupakan sosok pemimpin modern yang kepemimpinannya penuh kasih dan prinsip. Meskipun demikian, di era modern seperti sekarang ini, belas kasih masih terasa asing. Bukti kecilnya bisa kita lihat dengan berkembangnya ekonomi kapitalis yang masih bersifat sangat konpetitif dan individualistis. Untuk itu, Armstrong "mewanti-wanti" akan perlunya mengembalikan belas kasih sebagai inti kehidupan religius dan moral.
Untuk mengembalikannya, Mahatma Gandhi mengatakan bahwa kita sendirilah yang harus merubah diri menjadi perubahan yang ingin kita lihat di dunia. Untuk memulai semua itu, dalam buku ini, Armstrong menyajikan dua belas langkah untuk menuju hidup berbelas kasih yang merupakan Kaidah Emas semua agama.
Dengan uraian khas Armstrong yang cerdas dan mencerahkan, seperti pada karya-karya sebelumya, membuat buku ini gampang dicerna semua kalangan, tanpa harus besinggungan dengan kalangan, agama, dan ras yang ada. Semakin menambah nilai tawar buku ini, karena di bagian akhir (hal. 231-241) dilegkapi dengan referensi untuk bahan bacaan dan penelusuran lebih lanjut. Dengan demikian, pembaca bisa melacak sesuai dengan daftar dan saran yang ada. ***
Data Buku
Judul : Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Penulis : Karen Armstrong
Penerjemah : Yuliana Liputo
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I Januari 2012
Tebal : 247 halaman
ISBN : 978-979-433-594-9
*telah dimuat di Harian Bhirawa (15 Juni 2012)
0 Response to "Menuju Dunia Lebih Baik*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!