Siapakah yang salah melihat keadaan sekitar dan Bangsa ini penuh dengan kesesakan? Di rumah, di jalanan, dan di berbagai tempat pernjuru negeri ini setiap harinya penuh dengan gejolak. Mulai dari perihal moral, musibah, ketidakadilan, kerukunan, pers, sampai pada perpolitikan di negeri ini yang seringkali dipenuhi dengan ketidakjujuran. Siapa yang salah dan apa solusinya?
Untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan di atas, KH. A. Mustofa Bisri atau yang biasa disapa Gus Mus menjawab lewat bukunya yang berjudul Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku.
Untuk menemukan solusi, dalam buku setebal 216 itu, Gus Mus menekankan perlunya mengevaluasi perilaku kita masing-masing. Lebih lanjutnya, Gus Mus mengajak kita untuk mengatasi semua permasalahan yang ada dengan sikap bijak, jujur, sabar, dan ikhlas, baik antar sesame secara horizontal mmaupun dengan Tuhan secara vertikal, tanpa harus mengedepankan ego daripaida hati.
Misalnya, masalah perilaku wakil rakyat yang seringkali tidak mementingkan kepentingan besama. Gus Mus mengatakan untuk menjadi wakil rakyat (politikus) setidaknya harus siap lahir-batin dengan tidak hanya mampu berpikir untuk dirinya sendiri dan golongannya, tapi juga mampu memikirkan orang lain dengan mengawal aspirasi rakyat yang mereka suarakan. Keadaan politikus yang mayoritas seperti itulah Gus Mus ajak agar tidak hanya bermodal keinginan saja, tapi juga siap mengerjakan dan mengemban amanah rakyat yang sudah mempercayainya. Perilaku itu yang perlu dievaluasi oleh para politikus negeri ini.
Misalnya, masalah perilaku wakil rakyat yang seringkali tidak mementingkan kepentingan besama. Gus Mus mengatakan untuk menjadi wakil rakyat (politikus) setidaknya harus siap lahir-batin dengan tidak hanya mampu berpikir untuk dirinya sendiri dan golongannya, tapi juga mampu memikirkan orang lain dengan mengawal aspirasi rakyat yang mereka suarakan. Keadaan politikus yang mayoritas seperti itulah Gus Mus ajak agar tidak hanya bermodal keinginan saja, tapi juga siap mengerjakan dan mengemban amanah rakyat yang sudah mempercayainya. Perilaku itu yang perlu dievaluasi oleh para politikus negeri ini.
Juga insan pers menjadi sasaran Gus Mus yang diajak mengevaluasi diri dalam mencari, menulis, dan menyajikan berita. Seorang wartawan setidaknya tidak hanya mengandalkan momentum dan aktualisasi berita dalam menyajikan ke publik, tapi wartawan juga dituntut untuk tidak berbuat curang dan nepotisme sehingga terjadi fitnah dalam pemberitaannya. Dalam hal ini, Gus Mus menyorot salah seorang wartawan Koran Nasional, sebut saja namanya Akhmad Zaini, yang dengan enaknya sendiri menulis berita yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Ceritanya, pada tahun 2004 silam, ketika media lagi marak-maraknya menyorot kiai dengan penggunaan istilah kiai khos, Akhmad Zaini yang sama sekali tidak bertemu dengan kiai dan waktu itu dia ada di Jakarta, membuat analisis yang yoyoo tentang para kiai yang berkumpul di Jombang diundang oleh Gus Mus untuk berziarah ke makam-makam para pendiri utama Nahdatul Ulama (hal. 47-51). Tanpa ada kehadiran, konfirmasi, dan wawancara, Akhmad Zaini menuliskan berita pertemuan itu dengan pemberitaan yang yoyoo.
Tidak cuma orang luar yang disorot oleh Gus Mus. Tidak mau pandang bulu, NU (Nahdatul Ulama') yang merupakan bagroud-nya dan Ulil Absar Abdalla yang tidak lain menantunya sendiri juga diajak untuk mengevaluasi perilaku dirinya sendiri perihal tulisan kontroversialnya di Harian Kompas pada 18 November 2002 (hal. 43-46). Mendapatkan tulisan Ulil Absar itu, Gus Mus langsung menegurnya dengan membeberkan beberapa kesalahan yang kemudian ia "mengajak" menantunya itu untuk menyesalinya.
Tidak hanya mau mengkritik, dalam buku ini, Gus Mus memberikan solusi bagaimana agar bisa keluar dari semua permasalahan masyarakat dan negeri ini. Dalam hal jadi pemimpin misalnya, Gus Mus mengajak agar mencontoh Nabi Muhammad yang merupakan pemimpin rendah hati. Lewat contoh kisah, Gus Mus mempersembahkan kerendah hatian Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin, dengan harapan pemimpin negeri ini bisa mencontoh dan mempraktikkannya (hal. 7-8).
Melihat latar belakang Gus Mus yang juga sebagai budayawan, dalam buku ini Gus Mus juga mencantumkan unsur kebudayaan dengan menukil nama-nama punakawan (Petruk, Udawala, Gareng, Semar, Bagong, mBilung, dan Togog), tokoh-tokoh dalam cerita dongeng Jawa (Sabda Palon dan Noyo Genggong) yang hampir selalu ada di sekeliling raja, untuk menyoroti keberadaan orang-orang di sekitar presiden Gus Dur waktu itu, yang kemudian Gus Mus menyindirnya dengan pertanyaan apakah di antara mereka ada juga punakawan yang arif dan ikhlas seperti Semar? (hal. 120-124).
Selain itu, yang selalu menjadi nilai lebih dari karya-karya Gus Mus-tidak terkecuali buku ini, Gus Mus selalu mencantumkan pesan-pesan agama untuk menguraikan masalah yang ia kutip dari Al-Quran, hadis Nabi, perkataan sahabat, bahkan hikmah-hikmah ulama yang tertuang dalam kitab-kitab turats yang jarang dikaji penulis-penulis lain.
Akhir kata, penyampaian Gus Mus dengan bahasa lugas dan mengena semakin menambah keistimewaan buku ini, yang selama bulan Agustus-November 2011 sudah dua kali naik cetak. ***
Data Buku
Judul : Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : II, November 2011
Tebal : viii + 216 halaman
ISBN : 978-979-709-590-1
Harga : Rp. 40.000
*telah dimuat di Harian Bhirawa (25 Mei 2012)
0 Response to "Bersama Mengevaluasi Perilaku*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!