Membaca buku ini mengingatkan saya pada Belitung, seperti yang diceritakan Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelanginya, di mana SD Muhammadiyah Belitung berdiri dengan serba kekurangan; kekurangan guru, murid, dan ruangan.
Hal ini ternyata tidak hanya terjadi di Belitung. Pendidikan, ternyata masih menjadi barang mahal dan langka di berbagai pelosok negeri ini. Ditambah lagi fasilitas yang ada sangat memprihatinkan, seperti bangunan hampir roboh, bangku dan kursi tidak lengkap, dan sejenisnya.
Jika masalah-masalah tersebut masih terjadi di negeri ini, bagaimana nasib Bangsa ini ke depan? Jawabannya, sudah dipastikan negeri ini akan tertinggal dan jauh dari peradaban. Hal ini ternyata disadari oleh Anies Baswedan yang kemudian mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar. Lewat gerakan ini Anies Baswedan ingin mengajak putra-putri terbaik negeri ini untuk mengabdi sebagai guru SD di pelosok-pelosok negeri ini. Merekalah yang kemudian disebut sebagai Pengajar Muda.
Sebanyak 51 pengajar muda pilihan disebar di berbagai pelosok, di 14 Kabupaten antara Sabang dan Merauke, yang sebagian besar belum terjamah listrik dan sinyal telepon seluler, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana janji kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka rela meninggalkan hingar bingar kota, peluang karir, dan limpahan fasilitas, demi masa depan anak Bangsa di pelosok agar mendapatkan pendidikan yang memadai.
Peta penempatannya terdiri dari Kabupaten Aceh Utara, Bengkalis, Tulang Bawang Barat, Lebak, Kapuas Hulu, Paser, Gresik, Majene, Bima, Sangehe, Rote Ndau, Halmahera Selatan, Maluku Tenggara Barat dan Fakfak.
Selama satu tahun mereka mendedikasikan dirinya untuk anak-anak pelosok yang polos belum terkontaminasi unsur apa pun. Dari masing-masing tempat tugas, mereka mengisahkan pengalaman dan pengamatannya.
Mulai dari suka cita sampai kegelisahan selama proses beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dalam setiap harinya ada saja sesuatu yang tidak kosong untuk diceritakan.
Kisah-kisah itulah yang kemudian terangkum dalam buku Indonesia Mengajar.
Kisah-kisah mereka yang awalnya termuat dalam situs web Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar dipilih dan dipublikasikan dalam buku ini. Buku yang dalam jangka waktu 2 bulan, November-Desember 2011, sudah cetak tiga kali. Luar biasa.
Di pelosok-pelosok itulah pengajur muda idealis itu mengabdikan dirinya. Berbagi ilmu selama satu tahun. Mereka datang menghampiri anak-anak yang seringkali tidak beralas kaki, berbaju kumul, dan ala kadarnya, menumbuhkan harapan kepada mereka untuk terus meraih masa depan indahnya.
Penampilan anak pelosok boleh saja ketinggalan, tapi kemampuan mereka ternyata juga bersaing dengan mereka yang di perkotaan yang lengkap dengan berbagai fasilitas mendukung.
Seperti yang dituliskan oleh Erwin Puspaningtyas Irjayanti pengajar muda Mejene tentang Rizki, kelas 3 SD. Rizki yang dikenal pemalu, cuek, dan sulit tersentuh ternyata merupakan anak yang genius (hal. 4-7).
Kisahnya, pada suatu kesempatan, sehabis shalat Isya’, di balik pintu kamar Erwin Puspaningtyas Irjayanti tiba-tiba terlempar bulatan kertas karena diremas, tak tahu dari siapa. Ternyata kertas itu dari Rizki. Setelah dibuka, ternyata kertas itu berisi soal-soal matematika yang sempat diajarkan kepada anak kelas 4 dan 6. Di kertas lain, coretan soal lain yang Rizki buat dan jawab sendiri. Tak disangka ternyata 80 persen jawaban Rizki benar, padahal ia masih kelas tiga dan sudah 3 bulan tidak masuk sekolah.
Kisah lainnya juga disuguhkan oleh Rahmat Danu Andika tentang Upi yang berbahasa angka. Upi yang masih duduk di kelas 2 SD ternyata mempunyai rumus menghitung sendiri tanpa harus menggunakan jari tangan atau kaki, layaknya kebiasaan murid-murid SD umumnya. Untuk menjawab soal kurangan ia hanya membutuhkan beberapa detik, tanpa harus menggunakan bantuan. Cukup berbekal bayangan di kepala Upi langsung menjawab dengan cepat (hal. 15-16).
Setelah diusut ternyata ia menggunakan rumus bahwa bilangan yang ujungnya sama, jika dikurangkan pasti hasilnya akan genap puluhan. Misalnya pada 76-33. Dia mengasumsikan bahwa pengurangnya adalah 36 sehingga ia tahu bahwa jawabannya adalah empat puluh sekian. Setelah itu, barulah ia menambahkan 40 dengan 3 (selisih antara 36 dan 33).
Masih banyak kisah menggugah dalam buku ini yang semuanya disuguhkan dengan bahasa yang apik dan ringan, sehingga cocok untuk siapa saja, tanpa harus menguras pikiran, terutama mereka para orangtua dan pendidik.
Akhir kata, semoga buku ini dibaca oleh para pejabat, pengusaha, dan lebih-lebih wakil rakyat kita, sehingga tertegun hatinya untuk melihat wajah pendidikan kita yang masih compang camping karena masih banyak sekolah-sekolah yang tidak terurus.
Judul : Indonesia Mengajar
Penulis : Penagjar Muda
Penyunting : Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : III, Desember 2011
Tebal : xviii + 322 halaman
ISBN : 978-602-8811-57-6
Harga : Rp. 54.000,00
*dimuat di Radar Surabaya (29 Januari 2012)
ckp 1 kt: "INSPIRATIF"
BalasHapus