Tokoh sufi yang terkenal dengan sufisme cinta selain Jaluddin Al-Rumi juga sufi perempuan Rabiah Al-Adawiyah. Menurut Abul Wafa’ Al-Taftazani, dialah seorang sufi yang sangat berjasa dalam menyebarkan penggunaan kata cinta (hub). Bahkan, lebih dari itu, dialah orang pertama yang yang menganalisis makna cinta dan menjelaskan posisinya terkait dengan makna iklas serta posisinya dengan pamrih.
Baginya, hidup ini tidak lain hanya untuk cita kepada-Nya. Shalat, puasa, zakat, dan segala jenis ibadah yang dilakukannya semuanya atasnama cinta kepada-Nya. Bukan karena berharap surga dan bukan juga karena takut neraka.
Kehidupan cinta Rabiah Al-Adawiyah inilah yang disuguhkan Makmun Gharib dalam buku Rabiah Al-Adawiyah: Cinta Allah dan Kehidupan Spiritual Manusia yang diterjemahkan oleh Yunan Azkaruzzaman dari judul asli Rabiah Al-Adawiyah: Fi Mihrabi Al-Hub Al-Ilahi.
Dalam buku setebal 168 ini Makmun Gharib mengupas tuntas sufisme Rabiah Al-Adiwiyah, baik kaitannya dengan cinta ilahi maupun kaitannya dengan karamahnya yang belakangan dipenuhi kisah-kisah mitos dan cerita-cerita yang dibuat-buat, berisi sesuatu yang tidak masuk akal dan tak dapat dibenarkan oleh nalar, bahkan tidak sama sekali memiliki nilai tambah untuk diri Rabiah Al-Adawiyah.
Rabiah Al-Adawiyah memasuki fase cinta ilahi setelah ia tidak lagi menyibukkan diri dengan hasrat duniawi (zuhud). Ia jalani hidupnya sesederhana mungkin, layaknya kehidupan Rasulullah yang enggan hidup berfoya-foya meski sebetulnya ia bisa bermegah-megahan. Yang menjadi pilihan Rasulullah hanyalah bersyukur dengan terus beribadah dan menyampaikan pesan-pesan Ilahi kepada segenap umat manusia.
Begitu juga Rabiah Al-Adawiyah setelah dirinya bebas dari status perbudakan, tidak ada lagi yang menyibukkan dirinya selain mengingat Allah. Tak ada yang ia rasa selain keagungan-Nya. Bahkan ia merasa seakan tidak pernah ada di antara orang-orang yang mengelilinginya.
Ada dua landasan cinta yang dianut Rabiah Al-Adawiyah sehingga ia begitu rindu akan Tuhan dalam setiap gerak-geriknya. Hal ini sesuai dengan ungkapkan syairnya; kucintai Engkau dengan dua cinta/cinta karena diri dan cinta sebab Engkau patut dicintai/cinta karena diri adalah larutnya aku dalam mengingatmu dan melupakan selain-Mu/cinta karena Engkau patut dicintai adalah Engkau menyingkap tabir hingga aku dapat memandangmu/pada keduanya, pujian tidak layak bagiku/sebab semua pujian untuk-Mu semata (hal. 87-88).
Sufisme cinta inilah yang kemudian menjadi ikon dari seorang Rabiah Al-Adawiyah. Para sejarawan mengakui kesufiannya dan merupakan representasi pada abad kedua hijriah tentang tradisi zuhud yang dilandaskan pada cinta ilahi (hal. 91). Bahkan ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Sufyan Al-Tauri pernah datang kepada Rabiah Al-Adawiyah dan memohon kepadanya agar mau mengajarkan sejumlah hikmah yang Allah limpahkan kepadanya (hal. 92).
Dari kedekatan dan keintiman Rabiah Al-Adawiyah kepada Allah tersebut, tidak jarang terjadi hal-hal luar biasa pada dirinya, seperti halnya hal luar biasa yang terjadi pada seorang Nabi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai karamah. Karamah Rabiah Al-Adawiyah yang keberadaannya dibenarkan oleh Islam.
Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, banyak kisah-kisah Rabiah Al-Adawiyah yang akhirnya tidak masuk akal dan bertentangan dengan ‘adah (kebiasaan). Kisah-kisah yang demikian tersebut dibuat-buat oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab guna mengkultuskan Rabiah Al-Adawiyah dan menjadikan sosoknya sebagai mitos. Hal seperti itulah yang juga diungkap Makmun Gharib dalam buku ini. Hematnya, banyak buku-buku tentang Rabiah Al-Adawiyah yang mengisahkan dirinya secara berlebihan dan menyimpang, seperti pergi haji dengan cara berguling-guling di tanah, tidak cinta Rasul, dan sebagainya. Padahal seorang Rabiah Al-Adawiyah tidak lebih hanyalah seorang sufi yang zuhud terhadap dunia, menghabiskan waktunya untuk beribadah, dan menyenandungkan syair-syair tentang cinta Ilahi tanpa unsur yang menyimpang (hal. 151).
Di antara kisah menyimpang yang disebutkan beberapa buku tentang Rabiah Al-Adawiyah adalah perihal cara menunaikan hajinya yang katanya dengan cara berguling-guling di tanah mulai dari Bashrah sampai Baitullah selama tujuh tahun. Cerita ini disanggah oleh Makmun Gharib bahwa cerita ini adalah cerita mitos dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang sufi. Karena hal itu bertentangan dengan perintah Allah yang tersurat dalam Al-Haj ayat 27, di mana Allah memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji menggunakan kendaraan atau apapun yang memungkinkan. Sengakan berguling-guling seperti cerita di atas, itulah tidak mungkin dan bertentangan dengan Al-Qur’an (hal. 152).
Dengan disertai kisah-kisah yang dipulung dari berbagai kitab klasik, buku ini mengajak segenap pembaca untuk mengenal sosok seorang Rabiah Al-Adawiyah dan warisan rohaninya yang lebih dekat dan rekat, beserta “panduan” khusus dari penulis, Makmun Gharib, agar tidak terjebak pada cerita mitos yang tidak masuk akal dan mengada-ada. Selamat membaca!
Judul : Rabiah Al-Adawiyah: Cinta Allah dan Kerinduan Spiritual Manusia
Penulis : Makmun Gharib
Penerjemah : Yunan Azkaruzzaman
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, November 2012
Tebal : 168 halaman
ISBN : 978-979-024-299-9
Harga : Rp. 22.000,00
*telah dimuat di harian Duta Masyarakat (6 Januari 2013)
0 Response to "Sufisme Cinta Rabiah Al-Adawiyah"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!