Di zaman modern dan serba canggih seperti sekarang ini, segala sesuatu bisa dilakukan dan diselesaikannya secepat kilat. Teknologi modern membuat semuanya menjadi nyaman, santai, dan solutif. Namun, yang menjadi ironis, ketika kebutuhan manusia modern kepada agama semakin berkurang karena dimanja oleh semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Karenanya, ada beberapa pemikir modern memperkirakan bahwa agama akan mati dengan sendirinya, sekalipun tanpa dibasmi, ketika ilmu pengetahuan dan terknologi sudah maju. Lanjutnya, ketika semua persoalan hidup bisa dijawab dan diselesaikan dengan jasa iptek, maka Tuhan tidak lagi diperlukan.
Benarkah akan demikian? Buku Agama Punya Seribu Nyawa membantah anggapan di atas. Buku hasil karya Komaruddin Hidayat ini membantahnya bahwa agama tidak akan pernah mati, sekalipun ilmu pengetahuan dan teknologi bisa membuat manusia modern semakin nyaman. Membayangkan agama akan lenyap dari panggung sejarah manusia ini adalah mimpi di siang bolong.
Dalam perjalanan sejarah, isu kematian agama ini sebetulnya tidak hanya di zaman modern ini. Jauh sebelum ini, ada beberapa filsuf dan ilmuan yang juga memusuhi agama. Sebut saja seperti Lenin dan Marx dengan faham dan gerakan komunis-ateis-nya yang secara terang-terangan memusuhi agama. Juga, Richard Dawkins, Christopher hitchens, dan Sam Harris yang secara sistematis membangun argumen ilmiah-rasional meragukan kebenaran agama (hal. 273-274).
Tetapi, serangan itu tidak membuat mati agama dan ditinggalkan pememluknya. Justru yang terjadi malah semangat dan militansi beragama semakin meningkat diberbagai belahan dunia. Dengan berbagai macam ragamnya, kayakinan kepada Tuhan dan ritual keagamaan masyarakat semakin tinggi. Seiring dengan bertambahnya usia zaman, maka bertambah pula kekuatan-kekuatan yang beratasnamakan agama. Di tengah masyarakat Barat pun, yang katanya sekuler, ternyata keyakinan kepada Tuhan dan surga-neraka cukup berakar kuat (hal. 276).
Dari sini, bisa dikatakan bahwa agama itu punya seribu nyawa, yang ada pada manusia itu sendiri. Sepanjang manusia masih nyambung dengan akar primordialnya yang sejati, maka nyawa-nyawa agama senantiasa subur dan abadi.
Manusia tidak bisa lepas dari agama. Tanpa agama, maka manusia tidak akan hidup normal. Fir’aun pun, yang merupakan makhluk tersombong sedunia dan mengaku Tuhan, pada detik-detik kematiannya mengakui bahwa ada kekuatan yang sejati di luar dirinya, yaitu Tuhan.
Dalam bahasa Quraish Shihab, manusia itu butuh agama karena pada diri manusia itu, dahulu, kini, dan akan datang, ada rasa cemas dan harap (hal. ix). Sekian banyak kecemasan dan harapan yang tidak dapat dielakkan oleh manusia, hingga pada akhirnya manusia merasa butuh bantuan dan minta pertolongan pada selain dirinya yang dianggap mampu mengelak semua kecemasan dan mengabulkan semua harapannya. Dengan demikian, manusia itu sangat tergantung pada sebuah kekuatan yang serba Maha. Dari ketergantungan itu kemudian lahir ritual keagamaan, semisal doa dan ritual-ritual keagamaan lainnya.
Dalam hal doa, setidaknya ada beberapa faktor psikologis yang melatar belakangi manusia untuk berdoa (hal. 4-6). Pertama, adanya rasa takut melihat dirinya kecil, tak berarti, di tengah semesta yag maha besar dan tak terjangkau tepinya ini. Kedua, didorong oleh sebuah keyakinan akan adanya Tuhan, sampai mereka terpesona karena semua kebutuhannya tersedia di jagat semesta milik-Nya.
Ketiga, doa merupakan ruh upacara, yang mengandung maksud untuk memuja dan membujuk Tuhan, agar menjauhkan bencana. Keempat, festifal agama dilakukan tidak di sembarang tempat dan waktu, melainkan pada moment dan waktu yang dianggap mulia dan suci.
Keempat faktor psikologis di atas setidaknya mengindikasikan bahwa hubungan manusia dengan agama tidak bisa dielakkan. Selagi manusia itu memiliki sifat-sifat mendasar sebagaimana keadaan mereka sejak manusia pertama hingga manusia terakhir kelak, maka mereka tidak bisa mengabaikan agama.
Hubungan agama dan para pemeluknya itu diibaratkan bunga dan kumbang. Agama itu sebagai bunga dan pemeluknya sebagai kumbang. Selincah dan setinggi apapun kumbang terbang, ia tetap butuh pada bunga, untuk memenuhi kebutuhannya mengambil makanan dari sari bunga. Dengan kata lain, agama itu adalah sebuah anutan yang berparas bunga.
Seperti yang sudah menjadi ciri dari karya-karya Komaruddin Hidayat, bahasa dalam buku ini sangat sederhana, ringan, dan memikat pembaca. Meski tema di dalamnya merupakan tema pemikiran yang cenderung berat, namun untuk menangkapnya, pembaca dijamin tidak akan sampai mengernyitkan dahi.
Terakhir, akan lebih memperkaya dan bisa dibuat perbandingan dengan buku setebal 281 ini, jika pembaca juga membaca buku Masa Depan Tuhan (Mizan, 2011), karya Karen Armstrong dan buku Tuhan dalam Otak Manusia (Mizan, 2012) karya Taufiq Pasiak.
Judul : Agama Punya Seribu Agama
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : I, April 2012
Tebal : xxv + 281 halaman
ISBN : 978-602-9498-00-4
0 Response to "Agama Berparas Bunga*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!