Selamat Datang di Blog Sederhana ini. Semoga Bisa Bermanfaat. Amin...

Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca-Tulis*


Oleh: Abd. Basid

Tanggal 17 Ramadhan boleh melalui kita. Akan tetapi, faedah yang tersirat di dalamnya tidak boleh melalui kita juga. Kita harus bisa memetik faedah yang terkandung di dalamnya. Malam tersebut merupakan malam yang mempunyai nilai lebih di bulan Ramadhan, selain malam Lailatul Qadar. Karena, malam itu merupakan malam diturunkannya Alquran (Nuzaulul Qur’an) dari Lauhul Mahfudz ke Samaid Dunya. Pada malam tersebut biasanya umat muslim memperingatinya dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan khataman bersama.

Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang penetapan malam Nuzulul Qur’an, tapi penulis tidak akan memperbincangkan perbedaan tersebut. Yang jelas Alquran itu diturunkan pada bulan Ramadhan dan malam itu merupakan malam kemuliaan (2:185 dan 97:1), yang akan penulis komparasikan dengan budaya baca-tulis, guna menvitalisasi budaya baca-tulis kita yang tidak kunjung membudaya.

Sejarah menyebutkan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Tepatnya di Gua Hira. Dalam riwayat pewahyuannya, Nabi dikisahkan dipaksa oleh malaikat Jibril untuk membaca (iqra’ = bacalah), akan tetapi Nabi menjawabnya dengan jawaban “Ma ana bi qari’” (saya tidak bisa membacanya).

Ada analisis menaik dari Thariq Ramadhan tentang peristiwa tersebut. Dia mengatakan bahwa, karena ke-ummian Nabi waktu itu, Nabi mengungkapkan ketidakmampuannya secara logis. Dan, bila kemudian Nabi mampu membacanya, hal itu tidak lain karena spritualitas yang terkandung di dalamnya telah membuka akses terhadap dimensi lain dari ilmu pengetahuan.

Dari sekelumit pembahasan di atas, setidaknya ada beberapa hal menarik yang dapat kita petik. Pertama, Nabi yang merupakan seorang ummi (tidak bisa membaca) dipaksa untuk membaca wahyu pertama itu. Hal ini menunjukkan betapa Islam menekankan pentingnya kegiatan membaca sampai dipilih seorang yang ummi.

Kedua, keharusan untuk menyertakan spritualitas dan keimanan dalam aktivitas pembacaan itu. Meskipun demikian, bukan berarti nalar/akal tidak perlu dalam prsoses menafsirkan bacaan tersebut. Nalar tetap merupakan komponen utama, akan tetapi juga tetap tidak boleh mengesampingkan keimanan dan spritualitas dalam proses penafsirannya.

Ketiga, ayat pertama dari surat Al-‘Alaq berupa lafad iqra’ yang tidak ada objeknya (dibuang) mengimplikasikan bahwa objek yang dibaca adalah umum—di samping tentu Alquran yang merupakan kitab yang suci. Oleh karena itu, umat muslim—khususnya—tidak perlu membatasi materi bacaan selama pembacaannya selalu menyertakan ismi rabbik. Pembacaan tanpa menggunakan ismi rabbik—sebut saja seperti filsafat sekular—dapat melahirkan hasil pembacaan yang berbeda dengan yang menggunakan ismi rabbik. Untuk sekadar contoh, bagi seorang rasionalis, keraguan adalah metode epistemolgis yang valid untuk menemukan kebenaran, tetapi hal ini ditentang oleh Alquran (10:36).

Keempat, perintah membaca pada ayat pertama surat Al-‘Alaq dilanjutkan dengan isyarat terhadap pentingnya tulisan (ayat keempat dan kelima). Tentang kaitannya ayat 3-4 dan ayat sebelumnya, Al-Biqa’i menyatakan bahwa Allah mengajarkan pada Nabi, sekalipun beliau ummi sebagaimana Allah mengajarkan pada orang-orang bodoh dengan pena. Di sinilah letak penekanan Alquran akan pentingnya penulisan terhadap transmisi ilmu yang dalam Islam mendapat tempat yang tinggi (58:11).

Karenanya, membaca dan menulis merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan untuk menopang fungsi akal dan keduanya merupakan anjuran agama. Kita sulit menemukan—jika tidak mau dikatakan tidak ada—tokoh-tokoh besar terdahulu yang di satu sisi memiliki kemampuan membaca tinggi dan di sisi yang lain meninggalkan budaya tulis. Contoh kecilnya seperti Syaikh Nawawi al-Banteni, dengan tradisi bacanya yang kuat, dalam konteks yang lain karya beliau masih menjadi konsumsi resmi pesantren-pesantren Indonesia.

Kalau dikaitkan dengan negara kita, Indonesia masih terkenal dengan budaya dengar-lihatnya. Di Indonesia membaca masih menjadi kebiasaan kalangan kecil saja. Membaca yang merupakan jantung ilmu pengetahuan tidak banyak diakrabi masyarakat kita. Kata pepatah “Buku adalah jendela dunia” tampaknya tidak begitu berefek di negara kita.

Menurut hasil riset World Bank dan International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa peringkat kebiasaan membaca anak-anak Indonesia paling lemah jika dibandingkan dengan negara Asia yang lain. Indonesia hanya mendapatkan skor 51,7. Angka itu masih kalah jauh dari Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (75,0), dan Tiongkok (75,5). Selain itu, kemampuan membaca rata-rata para siswa SD dan SMP di Indonesia menduduki urutan ke-38 dan ke-34 dari 39 negara.

Merujuk pada fenomena Nuzulul Qur’an dan hasil survei di atas, setidaknya kita umat muslim—khususnya—bisa menjadikannya sebagai sebuah pijakan untuk membudayakan budaya baca-tulis. Bukankah kita percaya bahwa Alquran merupakan kitab suci pegangan kita? Dan, Alquran sangat menekankan akan pentingnya membaca-tulis, seperti yang telah disinggung di atas.

Akhir kata, seiring dengan peringatan Nuzulul Qur’an Ramadhan kali ini—yang baru saja berlalu—semoga kita bisa menjadikannya sebuah pijakan dalam mentrasformasikan budaya baca-tulis kita. Semoga.[ab]

*telah dimuat di media online AndaLuarBiasa.com,

pada pekan pasca Hari Raya Idul Fitri 1430 H

0 Response to "Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca-Tulis*"

Posting Komentar

Tinggalkan komenrar Anda di sini!