Selamat Datang di Blog Sederhana ini. Semoga Bisa Bermanfaat. Amin...

Puasa dan Tiga Dimensi Hidup Bangsa*


Oleh: Abd. Basid

Tak terasa kita umat muslim sudah sepekan lebih menunaikan ibadah puasa Ramdhan. Di Indonesia Ramadhan kali ini bisa dibilang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya Ramadhan banyak diwarnai wacana dan pertarungan politik—mulai dari pilkada sampai pilpres—tapi sekarang tidak demikian.

Masih tersimpan di otak penulis pada Ramadhan tahun lalu perbincangan dan perdebatan tentang politik dan isu-isu negara sangat mewarnai Ramadhan, sehingga kayaknya tiada hari tanpa politik waktu itu. Untuk itu, pada Ramadhan kali ini setidaknya benar-benar bisa bibuat refleksi dalam memajukan dan pemperbaiki keadaan bangsa yang baru saja melaksanakan pemilihan presiden.

Banyak kasus dan fenomena negatif yang sedang melanda bangsa Indonesia ini, mulai dari ironi kalangan intelek sampai keadaan politik (baca: pemimpin) kita yang tidak pro rakyat. Terjadinya bom kuningan itu menunjukkan ironi kalangan intelek—karena penulis yakin yang melaukan hal itu bukan orang tidak berikmu—kita yang tentunya tidak dibenarkan agama. Membudayanya fenomena KKN pada wakil rakyat kita dan masih banyaknya angka kemiskinan menunjukkan akan keadaan politik bangsa ini yang tidak pro rakyat.

Melihat keadaan bangsa ini yang telah merdeka 64 tahun, tapi belum tercapai seperti yang tertera pada sila ke-5 yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Mengapa bisa demikian? Jawabanya adalah sangat sederhana sekali, yaitu karena pemimpin kita tidak mempunyai tiga perangkat dimensi hidup, cerdas emosional, intelektual dan spiritual.

Untuk itu, pada Ramadhan kali ini setidaknya kita bisa mengambil hikmah darinya dengan harapan pemimpin dan semua elemen bangsa ini bisa mempunyai tiga dimensi hidup yang salah satu cara menumbuhkannya yaitu dengan cara kita bisa menelaahnya dari ibadah puasa. Bagaimana dan apa hubungannya antara puasa dan tiga dimensi hidup tersebut?

Pertama, kecerdasan emosional. Jika mau disederhanakan, kecerdasan emosional hanya memiliki dua kata, yaitu “cerdas” dan “emosi”. Cerdas biasanya dipengaruhi oleh kemampuan berfikir atau seringkali kita sebut dengan akal. Sedangkan emosi sudah jelas kita pahami sebagai sesuatu yang membuat setiap manusia itu merasakan pahit getir dan bahagianya hidup.

Riset puluhan tahun membuktikan bahwa antara fikiran dan emosi ternyata saling mempengaruhi. Dimana fikiran yang berkecamuk di benak kita berpengaruh signifikan terhadap emosi kita. Begitu juga sebaliknya, emosi kitapun mempengaruhi kualitas berfikir kita.

Jadi dalam hal ini, kecerdasan emosi adalah ketika nalar kita sanggup mengarahkan ekspresi emosi kita. Artinya, kita dikatakan cerdas secara emosi jika kita bisa meletakkan gejolak emosi di bawah kendali akal fikiran. Begitu juga sebaliknya.

Nah, hal ini semuanya tergambar dalam puasa yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Seperti jamak diketahui bahwa puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar (shubuh) sampai terbenamnya matahari (magrib). Dalam berpuasa kita dituntut untuk bersabar tidak melakukan hal-hal yang membatalkan pusa dan dalam membangaun kecerdasan emosi kita dituntut untuk bisa mengendalikan dan mengarahkan emosi kita untuk selalu ada dalam kendali akal kita. Kita sama-sama dituntut untuk bersabar. Di sinilah letak keistimewaan puasa dalam kehidupan kita.

Jika seseorang sudah bisa bersabar, maka kecerdasan emosional akan tumbuh dengan sendirinya. Dan dampak yang akan ditimbulkan adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang-orang di sekitarnya, berinteraksi untuk mengembangkan empati, simpati, dan untuk bisa bekerjasama.

Kedua, cerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual berarti seseorang bisa memahami semua aspek kehidupannya secara bijak dalam tuntunan logika ilmu pengetahuan; logika sosial, budaya, politik, dan lingkungan kehidupan yang ada di sekitarnya.

Jika hasil kecerdasan emosi membuahkan rasa cinta dan solidaritas atas derita orang-orang sengsara hidupnya, misalnya, yang akhirnya akan menumbuhkan sikap tanggung jawab untuk mewujudkan teori-teori mengentaskan kemiskinan dalam kenyataan, maka tingginya kecerdasan intelektual ini yang membangun teori-teori mengentaskan kemiskinan dan sejenisnya.

Ketiga, cerdas spiritual. Yang dimaksud cerdas secara spiritual adalah kemampuan seseorang untuk memberi makna dalam kehidupannya. Jadi kecerdasan spiritual tidak hanya diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid.

Ciri orang yang cerdas spiritual—mengutip dari Tony Buzan, pakar mengenai otak dari Amerika—diantaranya adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain dan telah menemukan tujuan hidupnya. Jadi, merasa rnemikul sebuah misi yang mulia kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta (Tuhan), dan punya sense of humor yang baik.

Semua ini juga tergambar dalam ibadah puasa, di mana dalam berpuasa kita akan selalu berusaha untuk selalu menjaga kemurnian puasa kita dengan—diantaranya—membantu orang lain, bersedekah, berdzikir dan sejenisnya. Hal ini tidak jarang kita temukan di bulan suci Ramadhan.

Kalau dihubungkan dengan kepemimpinan maka pemimpin yang cerdas secara spiritual adalah pemimpin yang amanah, merasa memikul amanat yang telah diberikan oleh rakyatnya dengan tidak mengambil hak-haknya. Karena tujuan hidupnya (baca: memimpin) yaitu untuk mengabdi pada rakyat, tidak untuk kepentingan diri sendiri.

Jadi, apabila tiga dimensi hidup ini ada pada diri setiap pemimpin dan elemen kita, maka keutuhan bangsa kita tidak akan terbengkalai. Politik uang tidak akan membudaya, kemiskinan tidak akan mewarnai, dan kekerasan/teror tidak aka ada.

Akhir kata, seiring dengan pemerintahan baru presiden Indonesia, semoga bulan suci Ramadhan kali ini menjadi awal bangkitnya bangsa kita. Amien.

*telah dimuat di media online Pembelajar[dot]com,

edisi September 2009 pekan pertama




0 Response to "Puasa dan Tiga Dimensi Hidup Bangsa*"

Posting Komentar

Tinggalkan komenrar Anda di sini!