oleh: Abd. Basid
Hari raya (Idul Fitri 1430 H) sudah di depan mata. Apa yang akan kita lakukan menyambut hari raya yang biasa di kenal dengan hari kemenangan ini? Akankah dan mungkinkah kita menang melawan nafsu hidonesme kita?
Dalam tulisan pendek ini penulis akan menyorot fenomena yang menurutnya ironi terjadi dan dilakukan banyak kalangan masyarakat—memang tidak semua kalangan sih—di hari raya (Fitri).
Pada hari raya, umat Islam diharapkan bisa menyambutnya dengan penuh perhatian, dengan melantunkan kalimat takbir dan perpakaian yang serba baru—jika ada. Tapi meskipun demikian, apakah kebiasaan hidonis yang sering dilakukan masyarakat perlu kita lestarikan? Tentu tidak.
Modernisasi dan globalisasi dewasa ini memang menghegemoni dunia. Hal itu bukanlah suatu yang tabu jika dilihat dari sudut pandang kemajuan teknologi, secara prilaku sosial masyarakat yang secara suksesif berpindah dari era klasik menuju gerbang perubahan kemodernan.
Pada dasarnnya tidak ada masalah dengan ini semua jika hanya menimbulkan dampak positif. Tapi yang bermasalah ketika dampak negatif yang tampak. Diantara dampak negatifnya adalah ketika tradisi modrn ini masuk dalam agama Islam, kemudian berubah menjadi tradisi di dalamnya.
Sudah menjadi kebiasaan menjadikan momentum hari raya sebagai arena meluapkan kegembiraan, kebersamaan, serta sarana untuk berbagi. Namun ada beberapa hal yang secara tidak langsung dapat menodai indahnya makna hari raya, yakni ketika unsur hedonisme mewarnainya.
Hal ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Fakta membuktikan bahwa pada umumnya masyarakat lebih suka menghabiskan indahnya malam hari raya untuk bertakbir keliling—tentunya dan sejenisnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan takbir keliling. Yang menjadikannya salah jika syariat takbir dengan mudahnya siselewengkan menjadi ajang berkholwat—yang kita tahu haram hukumnya—, maka dampak dan citranya jelas akan berbeda.
Tampaknya hal ini yang perlu direnungkan, pantaskah bila syariat dipermainkan oleh hasrat individu? Orang yang masih mempunyai jiwa keimanan—meskipun secuil iman—pasti menjawab tidak.
Tidak khayal jika kholwat berkedok takbir keliling itu mengakibatkan sepinya masjid. Mungkin hanya segelintir orang yang rela menghabiskan detik-detik hari raya untuk beri’tikaf dan mengagungkan asma Allah di dalamnya. Itupun hanya mereka yang berusia lanjut dan sebagian remaja yang tidak menuhankan kata “gaul”. Kita tahu bahwa dalam Islam larangan berpacaran itu tidak boleh.
Selain unsur pacaran, unsur foya-foya kadang—kalau tidak mau dikatakan sering—juga ikut mewarnai hari raya. Sekedar contoh, untuk memeriahkan momen hari raya masyarakat rela merongoh gocek lebih dalam untuk menyewa truk atau sebangsanya.
Agaknya, sebagian masyarakat tidak sadar bahwa sebenarnya pribadi mereka telah dijajah oleh dunia barat dalam segi budaya. Sehingga mereka cendrung lupa atau mungkin pura-pura lupa dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan hadits. Padahal kebudayaan merupakan identitas suatu kaum. Dengan meninjau fenomena ini, maka tradisi foya-foya hanya akan menghilangkan kemurnian identitas umat Islam. Dan tanpa disadari hal ini telah mengikis sensifitas pada diri muslim selaku sensorik budaya.
Berfoya-foya merupakan tindakan yang dilarang agama. Hal ini selaras dengan sabda nabi Muhammad saw. yang datangnya dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah bersabda, makanlah, minumlah, dan berpakaianlah serta bershadaqahlah dengan tidak berlebih lebihandan janganlah sombong (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Imam Bukhaori yang menganggapnya hadis Muallaq).
Hadits ini mengajarkan betapa pentingnya kesederhanaan, dan menyibak foya-foya bukanlah termasuk sunnah rasul, melainkan tradisi yang merasuk dalam Islam sejalan dengan era modernisasi, sebuah era fenomenal yang memang harus dilewati dengan persediaan filter sebagai benteng untuk mempertahankan identitas Islam tanpa taqlid budaya insani selain Islam, baik dalam segi pergaulan, pakaian, dan sejenisnya yang sama sekali tidak bercorak Islam.
Rasulullah bersabda yang datangnya dari
Sah-sah saja memang jika kita memeriahkan momen hari raya semeriah mungkin, tapi alangkah lebih baiknya jika kita merubah radisi foya-foya dengan tradisi kesederhanaan. Cukup dengan mengumandangkan gema takbir tanpa kemewahan sehingga secara otomatis menghilangkan citra foya-foya. Apalagi jika ditambah dengan tradisi bershadaqah. Bukankah dana yang seharusnya dikeluarkan secara pemenuhan sarana takbir keliling bisa kita ubah menjadi dana infaq, sebagai kontribusi bagi mereka yang membutuhkan?
Apabila dikaitkan dengan keadaan Negara
Coba amati pejabat yang di daerah termasuk orang yang baik-baik, tetapi setelah ditarik ke
Akhirnya, tradisi kesederhanaan dan shadaqah dapat dikatagorikan sebagai perwujudan kongkrit dalam memaknai kebersamaan hari raya, sekaligus membuktikan bahwa sifat tasamuh benar-benar ada pada pribadi muslim yang sadar akan realitas sosial.
Perlu diketahui dan digaris bawahi pada konteksnya tulisan ini hanya sebuah paradigma subyektif penulis yang ditujukan sebagai sindiran bagi mereka yang mempunyai niat yang tidak sesuai jika dipadukan dengan indahnya perayaan hari raya.
Akhir kata, semoga pada hari raya idul Idul Fitri tahun ini, 1430 H, masyarakat Indonesia, sebagai umat Islam mayoritas di Negara ini, bisa menjadi lebih baik dan berbudaya sesuai dengan undang-undang syariat islam. Amin. Wallahu a’lam bisshowab.
Amin...semoga mas..!, sekalian mampir mo ucapin selamat hari raya Idul Fitri Minal Aidhin Walfaidzin...mohon maaf lahir dan bathin.
BalasHapus