Oleh: Abd. Basid
Bagi kalangan muslim, lebih-lebih dari kalangan pesantren, kata imsak pasti tidak asing lagi. Apalagi pada bulan Ramadhan, pasti kata imsak tidak akan lepas darinya. Di mana-mana pasti ada yang menyerukan kata imsak setiap mau menjelang subuh. Kalau di desa-desa, misalnya, dari masjid-masjid atau mushalla-mushalla dengan seruan takmirnya; “imsak, imsak, waktu imsak telah tiba”, lewat pengeras suara. Sedangkan di kota-kota biasanya ditandai dengan berkumandangnya alunan shalawat; “as-sholatu was salamu alaik…”.
Secara ketatabahasaan kata imsak berasal dari kata amsaka-yumsiku, bahasa arab, yang berarti menahan diri atau berpegang teguh. Kata imsak akan bermakna menahan diri apabila dita’allukkan (hubungkan) dengan huruf jar ‘an dan akan bermakna berpegang teguh apabila dita’allukkan dengan huruf jar bi. Contoh, “al-imsak ‘an al-mufthirat” (menahan diri dari segala yang membatalkan) dan “tamassak bi al-Qur’an wal al-hadits” (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan hadits).
Seperti yang jamak kita ketahui bahwa definesi dari puasa adalah imsak (‘an) yang berati menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, baik yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Kita diwajibkan untuk menahan makan, minum, nafsu seksual mulai dari terbitnya fajar shodiq sampai terbenamnya matahari. Juga mencegah nafsu untuk tidak menggunjing, mencaci maki, memperolok-olok, mengadu domba, dan perbuatan jelek lainnya.
Dalam hubungannya antara ibadah puasa dan kata imsak ini adalah; di
Apabila seseorang sudah bisa menahan dirinya dari segala yang membatalkan puasanya, maka tidak diragukan lagi karena mereka “berpegang teguh” (imsak bi) pada pendiriannya, selaku orang yang sedang perpuasa. Tidak boleh melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya. Di sinilah letak korelasi antara ibadah puasa dan kata imsak yang penulis maksudkan di atas.
Jika kita kaitkan dengan realita kepemerintahan, maka para wakil rakyat yang telah dipercaya setidaknya bisa imsak dari segala yang menentang kode etik kepemimpinan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya, dari awal sampai habis masa jabatannya. Bukan malah menahan diri (imsak) tidak mengembalikan barang inventaris dewan. Seperti yang terjadi di sejumlah daerah Jawa Timur, misalnya, terjadi beberapa kasus barang inventaris barang DPRD belum kembali. Padahal masa tugasnya sudah berakhir.
Seperti, pada 8 Juli, empat dari tujuh mobil inventaris DPRD Sidoarjo yang dipinjam anggota DPRD sejak Januari lalu belum dikembalikan. 9 Agustus, kepala bagian perlengkapan Kota Malang meminta enam unit mobil dinas fraksi di DPRD untuk segera dikembalikan. 25 Agustus, sebanyak 13 mobil dinas belum dikembalikan sejumlah ketua komisi dan fraksi DPRD
Untuk itu, apabila mereka (wakil rakyat) sudah bisa mengaplikasikan makna imsak ini secara utuh, maka sudah barang tentu mereka tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kode etik kepermeintahannya dan sudah pasti mereka akan dikenang rakyat dan yang penting lagi nasib bangsa tidak ternodai lagi.
Akhir kata, pada Ramadhan, bulan ampunan dan sudah berjalan separuh bulan lebih ini betul-betul bisa kita petik hikmahnya, lebih-lebih para pemimpin kita, demi kemaslahatan bangsa kita ini. Alangkah indahnya, jika setiap pemimpin kita bisa mengaplikasikan makna imsak yang sesungguhnya dalam kehidupan memimpinnya. Semoga!!!
0 Response to "Aplikasi Imsak pada Ranah Pemerintahan"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!