Selamat Datang di Blog Sederhana ini. Semoga Bisa Bermanfaat. Amin...

Pesan Simbolisasi Mbah Maridjan


Oleh: Abd. Basid

Menjelang berakhirnya tahun 2010 ini berbagai bencana alam datang bertubi-tubi menerpa Indonesia. Setidaknya ada tiga bencana alam di akhir bulan ini; 1) banjir Wasior, 2) tsunami Mentawai, dan 3) meletusnya Gunung Merapi.

Yang sangat dan langsung hangat menjadi bibir pembicaraan dari tiga bencana di atas adalah meletusnya Gunung merapi. Hal ini, salah satu faktornya, mungkin karena salah satu korban yang meninggal ada Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, yang terkenal sangat amanah mengemban tugas.

Setidaknya ada tiga pesan yang dapat kita ambil dari meninggalnya Mbah Maridjan ini. Lebih-lebih bagi pemerintah bangsa ini.

Pertama, simbolisasi kesetiaan; diberitakan sebelum Mbah Maridjan meninggal dunia, dia tidak mau ketika diajak untuk meninggalkan rumah untuk dievakuasi. Secara nalar mungkin keputusan Mbah Maridjan ini terkesan bodoh. Akan tetapi kalau dicermati lagi, maka di sanalah ada simbolisasi kesetiaannya Mbah Maridjan sebagai abdi dalem keraton Yogyakarta.

Mbah Maridjan yang sudah 28 tahun menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi dengan begitu setia mengemban amanat, tanpa harus memikirkan nyawa dirinya sendiri. Demi mengemban tugas, nyawa pun dia taruhkan. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa bagi Mbah Maridjan mengemban amanat itu harus dijaga dengan tahruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.

Hal inilah yang harus dicamkan oleh pemerintah Indonesia ini. Pemerintah yang katanya atas nama rakyat. Banyak wakil rakyat di Indonesia ini yang katanya atas nama rakyat tapi kenyataannya masih lebih mementingkan dirinya sendiri. Maka wajar dan benar adanya ungkapan, “yang miskin tambah nelongso dan yang kaya tambah ngeroso”.

Lihat saja apa yang terjadi pada korban tsunami Mentawai. Selama di pengungsian, mereka kesulitan masalah pangan dan obat-obatan. Bahkan kabarnya selama tiga hari mereka tidak ada (baca: datang) bantuan dari pihak pemerintah. Tidak ada gunanya meski ribuan personel TNI AD dan polisi dikirim jika tidak diimbangi dengan materi untuk para korban.

Selain itu, yang sudah agak lama menghilang dari perbincangan adalah bencana banjir Wasior. Masih melekat di ingatan kita ketika presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyatakan bahwa Wasior akan utuh kembali dalam jangka waktu empat bulan. Tapi, apa yang terjadi? Sampai saat ini—meski belum nyampek 4 bulan—belum ada tindakan lebih lanjut. Tidak ada follow up dari wacana yang digulirkan. Ketika seperti ini, maka pernyataan SBY itu terkesan asal-asalan. Maka, rasanya tidak keliru ketika ada yang bilang bahwa SBY adalah dan hanyalah presiden pencitraan.

Pada setiap bencana yang menimpa Indonesia seakan tidak pernah dijadikan bahan pembenahan dan pembelajaran. Di setiap ada bencana Indonesia (baca: SBY) seakan mulai dari nol lagi. Coba kita hitung, sudah berapa kali terjadi bencana di Indonesia ini selama masa pemerintahan SBY? Mulai dari tsunami di Aceh sampai yang terbaru meletusnya Gunung merapi ini, tapi SBY masih saja ada pada titik nol.

Kedua, simbolisasi tauhid; seperti yang kita ketahui bersama bahwa Mbah Maridjan ditemukan meninggal dalam keadaan sujud. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pun ruwetnya keadaan hidup di dunia ini, jalan satu-satunya adalah bersujud (baca: minta kepada Tuhan yang satu/esa). Di era modern ini tidak sedikit dari kita yang sudah lupa akan keberadaan sang pencipta. Kita tidak jarang dibuat lupa dengan kesibukan kita tanpa harus memperhatikan kebutuhan batin kita. Bahkan tanpa disadari kadang kita menuhankan teknologi dan sejenisnya.

Pelajaran inilah yang harus kita ambil. Dalam situasi yang sangat gawat Mbah Maridjan tetap pasrah kepada Tuhan. Bahkan tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga bagi keselamatan rakyat Yogyakarta—khususnya.

Ketiga, simbolisasi nasionalisme. Posisi sujud Mbah Maridjan ketika menigggal dunia menunjukkan betapa begitu cintanya Mbah Maridjan terhadap buminya, Merapi. Ajaran jawa; sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati), benar-benar Mbah Maridjan pegang. Luar biasa.

Akhir kata, tiga pesan simbolisasi di atas itulah yang dipersembahkan Mbah Maridjan terhadap kita/Indonesia di akhir hayatnya. Tuhan melalui Mbah Maridjan memperingatkan kita semua (baca: rakyat bawah) agar tidak selalu mementingkan diri sendiri, dekat dengan sang khalik (pencipta), dan cinta tanah air. Bagi pemimpin untuk selalu atas nama rakyat secara hakiki, dekat dengan sang khalik, dan tidak “menjual” negara.

0 Response to "Pesan Simbolisasi Mbah Maridjan"

Posting Komentar

Tinggalkan komenrar Anda di sini!