Oleh: Abd. Basid
Sempat terjadi perselisihan ketika penulis bersama teman-teman Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA) Pusat ingin menentukan tanggal dan hari pelaksanaan sebuah acara besar yang rencananya akan diadakan pas setelah hari Idul Adha 1431 H. Ketika itu, rapatnya bertempat di Surabaya, tepatnya di kampus IAIN Sunan Ampel.
Ada teman penulis bilang; “kalau yang tanggal 16 itu Muhammadiyah dan yang tanggal 17 adalah NU”. Ketika ada perbedaan dalam penetapan hari raya (baik Fitri maupun Adha) di Indonesia ini—khususnya di Jawa Timur—yang terbaca memang pasti langsung mengarah pada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hal ini wajar mengingat selama ini yang terkesan “bermusuhan” adalah dua ormas tersebut. Dalam penetapan jatuhnya hari raya NU merepresentasikan rukyah, sedangkan Muhammadiyah merepresentasikan hisab melalui doktrin wujudul hilal.
Perbedaan dalam penetapan Idul Adha tahun ini, 2010, memang terjadi. Muhammadiyah dan Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) merayakan Idul Adha pada tanggal 16/11 dan pemrintah melalui Kementrian Agama memutuskan satu hari setelahnya, yakini 17/11. Begitu juga dengan Nahdatul Ulama’ (NU).
***
Sebetulnya tidak hanya karena perbedaan doktrin dua ormas itu yang memicu adanya perbedaan dalam penetapan hari raya di Indonesia ini. Selain dua ormas tersebut pemerintah juga kadang ada perbedaan, meski pada dasarnya representasinya sama dengan NU, hanya saja pemerintah masih mensyaratkan ketinggian hilal yang dirukyah mencapai ketinggian imkan al-rukyah (kemungkinan rukyah).
Selain itu, ada aliran di luar dua ormas islam tersebut yang mengaitkan Idul Adha dengan pelaksanaan ibadah haji. Aliran ini biasa disebut dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Menurut DDII penetapan hari Idul Adha itu harus mengikuti penetapan Kerajaan Arab Saudi (KAS). Menurut aliran inii ada dalil yang menyebutkan bahwa haji adalah wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, sehingga besoknya umat Islam di mana pun mereka berada harus melaksanakan shalat Idul Adha.
Berbeda lagi dengan Persis (Persatuan Islam). Menurut Persis, di samping mengikuti penetapan KAS dalam Idul Adha, ada juga kriteria imkan al-rukyah, tanpa harus merukyah, kriteria ini sama halnya dengan penetapan tahun baru Hijriah, yaitu jika menurut hisab hilal sudah mencapai ketinggian 2 derajat, maka besoknya berarti sudah bulan baru, Hijrah. Jadi, jika pada Idul Fitri perbedaan tersebut disebabkan doktrin rukyah (NU), imkan al-rukyah plus rukyah (pemerintah), wujudul hilal (Muhammadiyah), dan imkan al-rukyah semata untuk Idul Adha ditambah dengan satu doktrin lagi, yaitu mengikuti penetapan KAS.
Seumpamanya kita menyikapi perbedaan cara dan doktrin dari lima aliran di atas bagaimana kalau kita lihat dari dara hilal tanggal 6 November (awal Dzulhijjah) kemarin. Mari kita hitung secara eksak. Dilihat dari data hilal 6 November 2010 kemarin; ijtima’ (konjungsi) untuk WIB terjadi pukul 11,52 dan ketika matahari terbenam ketinggian hilal di Indonesia antara 1 derajat 48 menit 42 detik (Pelabuhanratu) dan 0 derajat 58 menit 34 detik (Merauke).
Selanjutnya, jika berdasarkan data hilal di atas, dan berdasarkan pengalaman, rukyah hampir bisa dikatakan sulit menelurkan hasil, terlebih ketika cuaca tidak cerah. Dan kalau merujuk pada tiap-tiap doktrin tersebut, kemungkinan besar pemerintah dan NU menetapkan awal Dzulhijjah 1431 H jatuh pada 7 November 2010 sore (habis magrib) sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu, 17 November.
Sedangkan Persis yang sudah menetapkan doktrin imkan al-rukyah dengan ketinggian hilal 2 derajat pasti menetapkan awal Dzulhijjah 1431 pada 7 November sore sehingga Idul Adha bagi pengikut aliran ini akan jatuh pada Rabu, 17 November.
Hal ini berbeda dengan Muhammadiyah yang menganut doktrin wujudulhilal. Bagi ormas ini selama konjungsi jatuh sebelum magrib dan bulan terbenam sesudah matahari, besoknya adalah bulan baru. Maka awal Dzulhijjah 1431 H jatuh pada 6 November sore (habis magrib) dan Idul Adha jatuh pada Selasa, 16 November. Sedangkan DDII dan yang sepaham akan bergantung kapan KAS menetapkan awal Dzulhijjah 1431 H.
bagaimana cara kita membaca perbedaan penetapan tersebut? Akankah kita berdebat kusir akan hal itu? Hemat penulis, hal itu tidaklah usah dipermasalahkan. Hal itu sebagai kemudahan karena siapa pun bisa memilih yang lebih diyakini mengingat hasil penetapan itu adalah ijtihad dan ijtihad adalah pilihan. Yang sejatinya harus kita dengungkan adalah nilai pengurbanan dari Idul Adha itu sendiri, terutama melihat saat ini banyak saudara kita yang tertimpa musibah alam seperti halnya di Mentawai dan Merapi.
Pada saat ini, memberikan uang (yang tadinya diniatkan untuk beli hewan kurban) kepada saudara kita yang lagi tertimpa bencana lebih mendatangkan manfaat. Apalagi kalau kita melihat bahwa berkurban itu sunnah hukumnya dan menolong orang yang susah hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan)—bahkan mungkin bisa wajib. Wallahu a’lam...
0 Response to "Membaca Perbedaan Penetapan Idul Adha"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!