Oleh: Abd. Basid
Tembakau telah menjadi bagian yang include dalam kehidupan masyarakat Madura, bahkan telah menjadi sesuatu yang selalu diharapkan oleh seluruh masyarakat Madura. Tidak heran kalau pada gilirannya, namun tembakau memiliki sinonim yang sangat luar biasa di kalangan masyarakat Madura sebagai “daun emas”. “Daun emas” berarti dengan tembakau yang dipanen, orang-orang Madura dapat membeli emas dan mendapat banyak uang.
Namun, kiranya ungkapan “sudah jatuh tertimpa tangga digigit minuet pula”, cocok dan tepat untuk petani tembakau di Madura musim ini. Karena hujan deras sepanjang dua pekan ini—terhitung sejak tulisan ini digagas—mengguyur tanaman tembakau yang masih kecil, yang menyebabkan benih tembakau mati tergenang air.
Kejadian seperti ini memang tidak cuma terjadi pada musim ini, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya dan sebelumnya lagi juga demikian.
Apabila tanaman bibit tembakau sudah tergenang air, maka tidak ada harapan lain keculai mengganti bibit tembakau baru, itupun kalau tidak turun hujan lagi. Apalagi ditanam di persawahan, dataran rendah, maka bibit tembakau lebih sensitif untuk rusak total. Untuk dataran tinggi, pegunungan, meskipun hujan mengguyurnya, temabakau tidak terlalu sensitif rusak, cuma ancamannya harga bisa jadi murah.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Pamekasan, Bamabang Prayogi, mengutarakan; tanaman tembakau yang mati akibat guyuran hujan di wilayah pamekasan musim ini mencapai 70 persen yang tersebar di 13 Kecamatan (Duta Masyarakat, 20/5)
Seperti yang kita ketahui bahwa tanaman tembakau akan bagus/baik dan sesuai dengan harapan apabila tidak terguyur hujan. Apabila terkena hujan waktu masih kecil masih mendingan. Yang paling mengancam apabila tembakau sudah mulai besar dan terguyur hujan. Jika seperti itu, maka jangan harap tembakau akan laku sesuai dengan harapan petani, tembakau akan laku murah.
Hal ini mengaca pada fakta tahun-tahun sebelumnya. Tidak usah jauh-jauh, pada musim tembakau tahun kemarin, harga temabakau anjlok, murah dan tidak ada harganya. Bahkan ada yang cuma laku seharga 2.000 rupiah perkilonya—seperti yang terjadi pada tetangga penulis sendiri di Pamekasan Madura.
Tapi, meskipun demikian, petani tetap tidak mau kalau musim kemarau tiba untuk tidak menanam tembakau, tanaman yang sering disebut-sebut dengan sebutan “daun emas”. Apakah mereka tetap berkeyakinan bahwa tembakau tetap layak disebut “daun emas”? tidak mungkinkah sebutan “daun emas” dialihkan pada daun tanaman lainnya? Pada tahun 2000-an dan sebelumnya tembakau memang layak untuk disebut sebagai “daun emas”, karena dari penghasilan menanam tembakau petani bisa meraup untung yang tidak sedikit. Tapi, untuk tahun 2000-an ke belakang—bahkan kemarau sekarang—kayaknya “daun emas” tersebut mulai kehilangan emasnya, karena cuaca tidak bersahabat, hujan mengguyurnya.
Untuk itu, bagi penulis, petani tembakau tidak usah banyak berharap lebih dari tanaman temabakau kali ini. Dan penulis beropini seperti ini bukan berarti penulis putus asa, mematahkan semangat petani dan tidak percaya akan takdir tuhan. Melainkan penulis optimis bahwa tuhan itu pasti memberikan jalan keluar untuk menemukan jalan keluar ketika hambanya lagi ada masalah dan kesulitan.
Maka dari itu, setidaknya para petani bisa beralih ke tanaman alternatif yang memungkinkan dan menjanjikan untuk ditanam, seperti jagung, bawang merah dan sejenisnya. Tidak hanya tembakau, tanaman alternaatif, seperti jagung dan bawang merah apabila dikelola dengan baik dan mengikuti pola tanam sesuai dengan anjuran juga bisa mendatangkan keuntungan yang besar. Jika petani tetap mempertahankan temabakau dalam keadaan yang seperti ini, maka mau tidak mau hal ini merupakan hal yang sangat ironi.
Memang, apabila tanaman tembakau tidak lagi ditanam, pemerintah akan merasa kehilangan, karena industri rokok memberikan suntikan dan sumbangan cukai dan pajak sebanyak Rp 50 triliun (2006).
Dan memang benar industri rokok telah menggelontorkan “darah segar” bagi cash flow anggaran pendapatan dan belanja negara. Pendapatan cukai 90 persen berasal dari cukai rokok, sementara kontribusi alkohol/etil alkohol hanya 10 persen. Akan tetapi, pemerintah cuma bisa mengambil keuntungan dari petani dan tidak bisa mengontrol harga tembakau yang kontribusinya sangat besar untuk negara sendiri. Timbal balik pemerintah tidak ada.
Ya mungkin juga sih orang boleh gak ngarepin hasil panen tembakau but apa penulis punya laternatif yang lebih baik......?
BalasHapusAss....
BalasHapusDr bbrp kontributor blog ini yg plg rjn nulis mungkn loe. Q slut! Wl Q tdk trll aktif mgkt prkembgn psantren tp kl ada wkt Q brsh mgmt prkmbgn tulis-mnuls tmn2. Mnls tdk prl ribet2 cr bhs yg tdk dmgrt org. Dgn jam trbg yg tgg Insyallah smkn trasah.
Slm sukses. Bravo! Luar biasa........
@ Abdullah; Abdullah bertanya "apa penulis punya laternatif yang lebih baik......?" pertanyaan ini tidak akan muncul/ada jika Abdullah membaca sampai selesai. Jawabannya ada disana. Penulis juga nawarkan solusi disana. :-)
BalasHapus@ Anonim; Amin. Trims ats supportnya. tapi kalau boleh tahu Anda siapa ya? Salam kenal...
Ide cari tanaman alternatif...saya setuju, yang sulit mungkin mengubah kebiasaan para petani yang sudah turun menurun menanam tembakau. Tetapi bila masalah utamanya adalah hujan, tak adakah langkah antisipasi buat itu. seperti tanam tembakau di rumah kaca misalnya..
BalasHapus@ Noor's blog; dirumah kaca? Ya saya kira hasilnya tidak akan jauh beda dengan tembakau yang kena hujan. Karena tanaman kalau g kena sinar matahari atau tidak kena udara, maka tetap tidak bagus,,, hasilnya pasti g gurih. seperti halnya ayam/sapi hasil suntikan, maka hasilnya lembek, g bertenaga. Seperti itu juga kalau tembakau tidak menghirup udara dan tidak kena sinar matahari, maka nilai jualnya tidak seberapa mahal seperti halnya tembakau yang g bagus karena sering kehujanan..
BalasHapus