Oleh: Abd. Basid
Berita menyakitkan kini datang lagi menimpa TKW (tenaga kerja wanita) Indonesia. Terjadi penyiksaan sadis terhadap Sumiati, TKI (tenaga kerja Indonesia) di Saudi Arabia. Luka berat menghiasi sekujur tubuhnya. Tubuhnya mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak dan yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang seperti bekas guntingan. Sungguh tidak manusiawi.
Kasus Semiati belum selesai, kini muncul dua kasus lagi, yang kejadiannya lebih sadis. Keken Nurjanah mati dibunuh majikannya di Kota Abha, Arab Saudi, dan Hariyantin disiksa sampai mengalami kebutaan (Radar Surabaya, 19/11/2010).
Peristiwa yang meninpa Sumiati, Keken, dan Hariyantin ini semakin menambah panajng deretan korban kekerasan yang menimpa TKI di luar negeri. Seringnya kejadian tidakmanusiawi ini, menunjukkan bahwa seakan keberadaan TKI di luar negeri hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi.
Arab Saudi—selain Malaysia—merupakan negara luar yang sangat sering melalukan kekerasan terhadap TKI. Kekerasannya pun tidak tanggung-tanggung. Laporan lembaga pemantau hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) yang berpusat di New York, Amerika Serikat, tahun 2008 merilis pelanggaran serius HAM terhadap pekerja rumah tangga ada di Arab Saudi.
Di sana, banyak ditemukan PRT (pembantu rumah tangga) harus bekerja 18 jam sehari, tujuh hari seminggu. Selain itu, beban kerja berlebih dengan gaji tidak dibayar dalam rentang waktu beberapa bulan sampai 10 tahun.
Kalau kita telisik, kenapa hal itu sering terjadi? menurut Andi Purwono, dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, bahwa semua itu bersumber dari sistem hukum di negara itu (Arab Saudi) yang tidak mengakui HAM berlaku secara universal. Karenanya, maka terjadinya perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan atau pelanggaran HAM lainnya, sangatlah rawan. Bahkan pengguna TKI di luar negeri, selama ini tidak merasa punya kewajiban melindungi TKI sesuai dengan aturan hukum dan HAM Indonesia.
Selanjutnya, bagi pemerintah dalam negeri sendiri, hal itu menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap TKI di luar sana. Lemahnya perlindungan terhadap TKI disebabkan antara lain, pertama, pemerintah melalui aparat terkait di luar negeri selama ini secara diplomatik belum siap melindungi para TKI yang menghadapi permasalahan.
Kedua, perlindungan TKI di luar negeri juga dihadapkan pada masalah kurang atau tidak adanya kedisiplinan dan pertanggungjawaban yang sungguh-sungguh dari aparat pemerintah yang bertugas di KBRI/KJRI untuk melindungi TKI di negara-negara tersebut.
Dari dua point di atas, maka bagi pemerintah Indonesia, setidaknya bisa atau harus; pertama, membuat perjanjian bilateral dengan pemerintah Arab Saudi untuk memastikan perlindungan pekerja migran berbasis HAM. Tekanan kepada Saudi bisa dilakukan dengan membentuk kaukus negara pengirim pekerja (Indonesia, Sri Lanka, Filipina, Nepal) bersatu untuk melakukan perundingan dengan negara penerima agar posisi tawarnya seimbang. Apalagi, Saudi sangat berkepentingan terhadap keberadaan pekerja migran. Di negara tersebut, terdapat lebih dari 8 juta buruh migran (sepertiga penduduk Saudi). Mereka mengisi kekosongan di bidang kesehatan, konstruksi, dan pekerjaan domestik.
Kedua, melakukan perjanjian tertulis (MoU). Baik perjanjian antara Indonesia dan negara pengguna TKI (G to G) maupun pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan jasa TKI.
Sampai saat ini tidak ada perjanjian yang lebih khusus antara pemerintah Indonesia dengan pihak pengguna TKI langsung. Adanya cuma dua bentuk perjanjian, sebagaimana di atur dalam sebagaimana diatur dalam Perpres No 81 Tahun 2006 berkaitan dengan (BNP2TKI) dan Inpres No 6 Tahun 2006; 1) perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan negara tujuan penempatan TKI atau pemerintah negara Indonesia dengan pengguna yang berbadan hukum di negara tujuan penempatan TKI dan 2) perjanjian antara pemerintah negara Indonesia dan negara penerima TKI.
Kedua perjanjian yang ada di atas sama sekali tidak mempersyaratkan dibuatnya perjanjian yang lebih khusus dengan pihak pengguna langsung, seperti unit-unit rumah tangga untuk sektor TKI pembantu rumah tangga. Ketiadaan persyaratan perjanjian secara langsung ini menyebabkan lemahnya posisi tawar dan perlindungan hak asasi TKI pembantu rumah tangga kala berhadapan dengan pihak majikannya.
Ahkir kata, kiranya sudah saatnya ada kebijakan-kebijakan tertentu dari negara yang benar-benar menjamin keberadaan TKI di luar negeri, tentunya dengan pembuktian dan aksi yang konkrit.
*telah dimuat di Radar Surabaya (33/11/2010)
0 Response to "Perkuat (Lagi) Perlindungan Terhadap TKI*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!