Membicarakan tokoh politik, Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir saja), mungkin tidak sefamiliar Soekarno, yang menjadi funding father negeri ini. Buku-buku yang membahas tentang Natsir pun juga tidak sebanyak ketimbang buku-buku yang membahas Soekarno. Padahal kalau kita menelusuri sejarah perjuangan keduanya, Natsir juga banyak—untuk tidak mengatakan lebih—andil dalam wacana perpolitikan negeri ini. Bahkan Soekarno “belajar” masalah keagamaan (Islam) lewat tulisan-tulisan Natsir. Hal itu dapat ditemukan tatkala Soekarno ditahan di Endeh di Pulau Flores. Melalui buku kiriman dari Ahmad Hassan, Soekarno membaca tulisan-tulisan Natsir.
Gagasan Natsir begitu beragam, mulai persoalan kebangsaan, pendidikan, dakwah, keagamaan, sampai persoalan politik. Pemikiran dan aktivismenya di wilayah politik mematrikan dirinya sebagai salah seorang pemuka politik, tepatnya pada politik Islam.
Buku “Mohamma Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia”, membuktikan hal di atas. Buku yang disusun oleh M. Dzulfikriddin ini menegaskan bahwa peran Natsir dalam perpolitikan negeri ini tidak kalah eksisnya ketimbang Soekarno. Memang tidak ada kesimpulan tertulis dari penulis buku ini, tapi saya menyimpulkan demikian setelah membaca dan memposisikan keberadaan buku ini.Natsir dilahirkan di Minangkabau (17 Juli 1908), di mana di daerah itu banyak lahir tokoh-tokoh besar, baik dalam bidang agama, intelektual, kesusastraaan, pendidikan, maupun politik. Lihat saja, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, dan Buya Hamka. Beliau-beliau berasal dari daerah Minagkabau, yang juga dikenal dengan salah satu daerah pelopor pembaharuan di negeri ini.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Natsir, sejak kecil memang sudah sering berkelut dengan masalah pahit-manisnya kehidupan. Sampai masa dewasanya Natsir tambah matang dalam berpolitik dan beraktivitas.
Motivasi Natsir dalam berpolitik bukan demi power politics, tidak pula untuk mengikuti adagium who gets what, when, and how. Tapi, motivasinya adalah usaha untuk bersikap konsisten terhadap apa yang diyakini bahwa penjajahan memang harus dilenyapkan dan kemerdekaan merupakan hak segala bangsa.
Menurut penulis, ada dua yang menjadi latar belakang kegigihan Natsir dalam mengarungi hidup dan perpolitikannya. Dua hal tersebut adalah guru-gurunya (Ahmad Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Syurkati) dan polemik masalah keagamaan dan kebangsaan yang terjadi pada dekade 1930 sampai 1940-an, yang mana polemik itu berlangsung antara Ir. Soekarno di satu pihak dengan Muhammad Hassan dan Natsir di pihak lain. (hal. 43).
Jejak perpolitikan Natsir semakin berkibar di kala ia menjadi orang nomor satu di Masyumi. Di bawah kepemimpinan Natsir, Masyumi menjadi partai terbesar di Indonesia, sampai diadakan pemilu 1955. Dan di bawah kepemimpinan Natsir juga, Masyumi mampu mengharu birukan politik Indonesia.
Pada tahun 1949, tepatnya pada muktamar IV, Natsir terpilih menjadi ketua umum partai Masyumi. Selanjutnya muktamar demi muktamar Natsir selalu terpilih sebagai ketua partai. Selama tiga kali muktamar, ia terus terpilih lagi sebagai ketua. Baru pada muktamar IX, ia digantikan oleh Prawoto Mangkusasmito, itu pun karena Natsir berhalangan hadir ke muktamar, karena kala itu ia berada di tengah hutan Sumatra dalam perjuangannya bersama PRRI menentang kezaliman rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya.
Akhir dari PRRI ini yang akhirnya menjadikan Natsir sebagai salah seorang yang dikarantina dan setelah itu menjadi tahanan politik, sampai permulaan masa orde baru (orba). Natsir dikarantina katanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya (PPUUKB) nomor 23 tahun 1959, terutama Pasal 43 yang memberikan wewenang kepada penguasa untuk menahan setiap warga negara dalam waktu yang tidak ditentukan lamanya. Selanjutnya Natsir ditahan berdasarkan Penpres Nomor 3/1962 yang lalu diganti dengan Penpres Nomor 11/1963.
Namun, meski waktu itu Natsir berstatus sebagai tahanan politik, namun kontribusinya terhadap Indonesia tidak merosot. Rasa nasionalismenya tetap menyala. Hal itu terbukti dengan kesiapan Natsir untuk tetap ikut berkontribusi dalam pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia.
Waktu itu, pemerintah Orba ingin memulihkan hubungan dengan Malaysia yang rusak akibat obsesi politik Soekarno dengan “Politik Gayang Malaysia”. Untuk melancarkan niatnya, pemerintah Indonesia mengutus Ali Murtopo dan L.B. Moerdani untuk menemui PM Tengku Abdul Rahman. Namun, ternyata Tengku Abdul Rahman menolak menerima mereka berdua. Mereka pulang dengan tangan hampa.
Untuk menembus kebuntuan itu, pemerintah mengutus Brigjen Sofyar untuk menemui Natsir di Wisma Keagungan, tempat ia ditahan, setelah mengetahui bahwa Natsir bersahabat baik dengan Tengku Abdul Rahman. Tanpa banyak tanya dan dengan jiwa besar, Natsir langsung menulis memo untuk Tengku Abdul Rahman menerangkan maksud baik pemerintah Indonesia. Dengan memo itu, akhirnya Tengku Abdul Rahman, menerima niat baik Indonesia (hal. 151).
Sampai masa senjanya pun semangat Natsir untuk selalu memakmurkan Indonesia masih ada. Meski di masa senjanya dunia formal sudah tertutup baginya, namun ia tetap mengikuti perkembangan politik Indonesia dan internasional. Ketika delegasi tokoh-tokoh Islam menemui pimpinan DPR untuk merevisi buku teks Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada 1982 Natsir ikut sebagai anggota delegasi dan menyampaikan pokok-pokok pikirannya, yang mana menurut Natsir, buku PMP mengandung unsur-unsur pendangkalan agama, penyamaran agama-agama, dan pertentangan agama dengan Pancasila.
Demikian juga ketika terjadi perdebatan sengit sekitar masalah RUU Peradilan Agama dan RUU Pendidikan Nasional di DPR pada 1989, Natsir ikut berbicara dan menyampaikan pemikirannya kepada fraksi-fraksi di DPR.
Akhir kata, buku ini sangat cocok dibaca bagi semua kalangan, untuk lebih mengetahui sejarah para tokoh yang banyak andil dalam memakmurkan negeri ini. Buku ini kaya akan data, yang tidak hanya satu jenis pustaka. Pustaka buku ini terdiri dai kamus, ensiklopedi, buku-buku, makalah, tesis, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan majalah.
Data Buku
Judul : Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia
Penulis : M. Dzulfikriddin
Penerbit : Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : 246 halaman
ISBN : 978-979-433-578-9
*telah dimuat di Radar Surabaya (29/5/2011)
0 Response to "Natsir, Visi dan Aksinya*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!