“Aku ingin membangun lembaga pendidikan yang tidak seperti IAIN, ataupun UNAIR, namun aku ingin membangun lembaga yang bisa menambah keimanan generasi Islam yang men-syahadat-kan mereka yang nonmuslim”. Itulah petikan komitmen mulya salah satu kiai Nusantara kita, KH. Musta’in Romli (pendiri Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang), yang tersaji dalam buku “Khazanah Khatulistiwa: Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-kiai Nusantara”.
Buku yang ditulis oleh dua insan pesantren ini, Muhammad Hasyim dan Ahmad Athoillah, menyajikan shirah syakhshiyah (sejarah kiai) yang ada di sepanjang Nusantara dari berbagai generasi dan latar. Meskipun buku ini tidak memuat potret kiai-kiai di Nusantara secara keseluruhan, namun setidaknya buku ini sudah mewakili dari berbagai generasi yang telah ada. Maka tidak keliru kalau penulis buku ini berujar “dzikrul juz wa iradatul kul” ketika ditanya langsung oleh salah satu teman peresensi; “buku ini judulnya Khazanah Khatulistiwa, tapi kok yang disajikan hanya 26 tokoh”. Kalau semua sejarah para kiai Nusantara ingin disajikan semuanya, maka tidak cukup dengan satu atau dua jilid buku. Berjilid-jilid buku pun perlu kita susun.
Dari buku ini, kita bisa megetahui rangkaian kisah para kiai Nusantara yang patut diteladani dari berbagai dimensi, baik dari sisi sikap, perilaku, pemikiran, kearifan, kedalaman ilmu maupun kegigihan memperjuangkan kebenaran.
Dalam buku ini kiai-kiai Nusantara diwakili 26 tokoh kiai. Seperti, Syaikhona Cholil Bangkalan (hal. 1). Meskipun beliau tergolong dari keluarga yang berkecukupan, namun beliau membiasakan hidup asketis (sufi). Beliau rela ngodam pada kiainya waktu mondok dan rela menjadi buruh memetik kelapa milik kiainya. Selain itu, beliau juga rajin menabung. Dan dari hasil tabungannya tersebut beliau sampai bisa berangkat menimba ilmu ke pusat peradaban Islam, Makkah al-Mukarramah pada tahun 1859 M.
KH. Abdul Wahab Chasbullah. Demi kemashlahatan NU dan ketidakterwakilannya Masyumi kepada rakyat kala itu—sehingga NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi, seraya beliu berkata dengan tegas dan garang; “siapa yang masih ragu, silahkan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin partai ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris, dan tuan-tuan silahkan lihat apa yang akan saya lakukan” (hal. 18). Tidak butuh waktu lama ucapan beliau langsung terbukti. Tidak seperti kebanyakan janji para politikus sekarang, yang hanya manis di bibir saja.
KH. Hamid bin Abdullah. Aura kesabaran sangat ditunjukkan oleh beliau. Pernah beliau hanya berujar “sabar saja, genteng itu memang sudah retak” ketika rumahnya sering dilempari batu oleh tetangganya yang bernama Jiran. Singkat kata, tiga bulan kemudian, Jiran punya hajatan menikahkan anaknya. Mengetahui hal itu, K. Hamid menyuruh salah satu santrinya membawa sekarung beras dan daging ke rumah Jiran . Melihat sikap beliau yang begitu mulya, Jiran langsung insyaf dengan penuh penyesalan (hal. 65).
KH. Muhaimin Gunardo. Beliau adalah sosok manusia yang realistis memandang kehidupan. Kemiskinan dan kesulitan hidup tidak menjadi alasan untuk pesimistis. Demi mempertahankan supaya asap dapur tetap mengepul beliau rela mengayuh sepeda dari kampung ke kampung menjalankan dagangan (celana kolor). Beliau tidak menghiraukan meski saat itu beliua seorang kiai pemangku pondok. Pada siang hari beliua sibuk mencari nafkah dan malam harinya membimbing ngaji para santri (hal. 168).
Itulah sekilas potret kehidupan dan keringat sebagian para kiai yang tersaji pada buku “Khazanah Khatulistiwa: Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-kiai Nusantara”. Buku ini cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi orang yang lagi haus akan keteladanan. Isinya menceritakan tentang kehidupan dan kiai-kiai Indonesia yang telah kapundut (wafat), yang mana sebanyak 21 tokoh pertama telah terpublikasi di majalah Kakilangit pada rubrik Qudwah dan 5 tokoh sisanya merupakan tokoh tambahan (belum di Kakilangit).
Penyajian buku ini—secara keseluruhan—gampang ditangkap dan dicerna pembaca, mengingat format yang ditampilkan berbentuk sub judul yang tidak panjang-lebar. Format yang seperti itulah yang memang tidak membuat pembaca menjadi jenuh untuk setia “mengenggamnya” setiap saat.
Meskipun demikian, bukan berarti buku ini absen dari nilai minus. Banyak nilai minus mencolok yang peresensi temukan di
Hemat peresensi, isi yang tersaji pada tokoh Mbah Hasyim menggambarkan bahwa beliau sebagai aktivis pendidikan, agama dan Negara. Dan pada tokoh K. Mahrus menggambarkan kecendikiawanan beliau dan juru islah NU. Ketidak seimbangan termaksud akan semakin nampak ketika kita mencoba mencocokkan antara judul dan prolog (petikan) isi yang ditampilkan penulis.
Namun, nilai minus tersebut di atas bukan alasan untuk tidak membaca buku ini. Buku ini cocok untuk dibuat bahan bacaan dan renungan semua kalangan—megingat peran yang ditunjukkan kiai (pesantren) dalam perubahan sosial masyarakat sangat berarti. Untuk itu, baik kalangan pelajar, aktivis, pegawai dan bahkan para politikus kita yang tidak pro rakyat dan memang haus akan keteladanan perlu untuk merefleksikannya.
Akhir kata, (mungkin) untuk lebih mempermudah dan gampang di hafal para pembaca, alangkah lebih idealnya jika buku ini dilengkapi skema bunga rantai keturunan dan perjalanan pendidikan para tokoh yang ada—disamping juga bisa mengisi halaman kosong yang tidak terisi pada sebagian lembar buku ini.
Judul : Khazanah Khatulistiwa: Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-kiai Nusantara
Penulis : Muhammad Hasyim dan Ahmad Athoillah
Penerbit : Anti Bumi Intaran,
Cetakan : I, Juni 2009
Halaman : xx + 230 halaman
Peresensi : Abd. Basid
0 Response to "Cermin Bening dari (Kiai) Nusantara"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!