Benar apa kata Arief Santoso, pengasuh rubrik Budaya Jawa Pos, yang saya temukan dan baca di pengantar bukunya Nurudin, “Kiat Meresensi Buku di Media Cetak”, bahwa para penulis sekarang ini sudah mulai merambah ke pelosok-pelosok, termasuk ke pesantren-pesantren. Ungkapan spesifiknya seperti ini; “tulisan resensi semula hanya “didominasi” para penulis kota-kota tertentu. Terutama dari Jogja,
Ungkapan Arief Santoso di atas, menskipun menspesifikkan pada dunia resensi, akan tetapi, sejatinya itu juga pada semua jenis dunia tulis menulis, mulai dari yang fiksi sampai yang non fiksi. Fakta bahwa dunia pesantren juga mulai banyak merambah ke dunia tulis menulis tidak bisa di remehkan lagi. Pesantren (santri) yang sempat tercitra kolot, sekarang sudah tidak tepat dilekatkan dan dicitrakan padanya lagi.
Jamaknya, mayoritas dari mereka (memang) tidak hidup dan besar dari keramaian kota, akan tetapi semua itu bukan alasan untuk tidak bermimpi menjadi penulis. Untuk menjadi penulis tidak harus dari kalangan tertentu. Lihat saja, jauh di seberang sana, banyak penyair Inggris justru hidup jauh dari keramain (Kota/ Metropolitan). Akan tetapi, mereka bisa membuka tabir rahasia alam dan menuangkannya dalam bentuk puisi dan cerpen setelah ada perenungan (berimajinasi). Intinya, di mana pun kita tinggal, yang penting adalah kemampuan menangkap gejala tertentu dan menuangkannya dalam bentuk pena.
Buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” menyingkap semua itu. Buku ini menyajikan kisah jalan terjal para santri selama “bertarung” untuk menjadi penulis. Mulai dari permulaan mereka menjalani dunia tulis menulis sampai pertarungan mereka untuk bisa tembus ke media. Cerita dan latar belakang yang diungkapkan masing-masing penulis pun sangat beragam, sehingga ada greget tersendiri untuk menyimak cerita dari masing-masing penulisnya.
Cerita dan pengalaman 13 penulis yang ditampilkan dalam buku ini sangat cocok untuk dibuat motivasi untuk mereka yang ingin dan tertarik untuk menulis, namun belum menemukan jalan atau malah ragu-ragu untuk memulainya. Semua penulis dalam buku ini berbagi pengalaman selama mereka berproses untuk menjadi penulis. Proses mereka untuk sukses cukup menarik untuk disimak. Latar belakang keterpesonaan mereka dengan dunia tulis menulis masing-masing bermula dari kondisi yang cukup bervariatif.
Lihat saja seperti apa yang diungkapkan oleh Mohammad Suhaidi RB. Latar belakang kehidupannya yang serba pas-pasan, tidak menjadi hambatan untuk menjadi penulis. Meski dia harus bertekat untuk mencari biaya sendiri untuk kuliyahnya, namun dia tetap semangat untuk terus berkarya dengan pena—yang pada akhirnya dia bisa menyelesaikan kuliyah S1-nya, diantaranya, dari hasil penanya (hal. 53-73).
Untuk menjadi penulis tidak membutuhkan banyak modal. Menurut prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, dalam prolog buku ini, untuk menjadi penulis itu hanya dibutuhkan tiga syarat, yaitu: suka membaca, ada inspirasi untuk menulis, dan kemauan untuk menulis. Ada banyak orang yang suka membaca, tetapi tidak menemukan inspirasi untuk menulis. Ada banyak orang yang bisa menemukan inspirasi untuk menulis, tetapi dia tidak mau menulis. Maka dengan ketiganya kita akan bisa menulis, tulisnya (hal. xii). Tidak membutuhkan banyak modal kan?
Dan (mungkin) perlu diingat, bahwa, untuk menjadi penulis hebat adalah harus tidak sombong. Proses untuk menjadi seorang penulis tidak boleh sombong dan sok. Selain ke-mood-an yang menjadi godaan seorang penulis, rasa sombong atau ke-aku-an juga sering membayang-bayangi seorang penulis. Meskipun seorang penulis sudah menghasilkan sebuah oretan, akan tetapi dia sombong, maka jangan harap hasilnya akan maksimal, karena dia mengandalkan ego nafsunya. Maka dari itu, untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang penulis janganlah sampai merasa sombong.
Hal ini pernah dialami oleh Fathor Rahman JM dalam buku ini. Dalam memulai untuk menjadi seorang penulis Fathor Rahman JM merasa dirinya dan oretannya itu adalah yang terbaik tidak ada tandingannya. Pertama kali dia menulis diwarnai dengan pertengkaran yang nyaris adu jotos dengan senoirnya. Ceritanya, mulai dari dia menulis di mading pesantren, lomba LKTI, dan paper, dia tidak menemukan kemulusan dan kesuksesan berarti. Bahkan ketika dia mengajukan paper tugas akhir sekolah Madrasah Aliyah (MA)-nya, dia harus menerima kenyataan yang pahit karena hard copy paper yang ia setorkan pada pembimbingnya harus berbentuk huruf “Z” yang berupa coretan (hal. 165-177). Semua itu, hemat saya, karena dia lebih mengedepankan ke-aku-annya ketimbang hatinya.
Di Balik Kekuatan Pena
Tulis menulis sejatinya mempunyai nilai tersendiri dan harapan baru bagi mereka yang menggelutinya. Karya-karya yang dihasilkan olehnya bisa melepaskan diri dari kesesaatan dan hadir bukan hanya pada saat mereka menghasilkan karya. Bahkan karya tulis bisa diakses oleh manusia di luar zaman di mana penulis hidup. Karena itu, tulis menulis perlu dikembangkan menjadi sebuah tradisi dan bahkan budaya terkait. Di sanalah letak kekuatan pena. Maka, tidak keliru jika ada pepatah latin; “verba valent, scripta manet” (kata-kata akan sirna, akan tetapi tulisan akan selalu abadi).
Terakhir, meskipun, latar dari semua penulis buku ini berlatar anak pesantren, namun buku ini bukan berarti khusus kalangan santri. Buku ini cocok untuk dibaca semua kalangan. Artinya, meski mereka tidak berlatar pesantren, namun ingin termotivasi dan bertekad untuk menulis, buku ini sangat cocok untuk dijadikan “sarapan”. Bahkan orang yang ingin generasinya menjadi penulis juga cocok untuk membaca dan mungkin menghadiahkan buku ini.
Biodata Buku
Judul : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rijal Mumazziq Zionis dkk.
Penerbit : Muara Progresif
Tebal : xii + 224 halaman
Tahun : I, 2009
ISBN : 978-602-95087-1-0
0 Response to "Di Balik Kekuatan Pena *"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!