Oleh: Abd. Basid
Berita tentang Prita Mulyasari, ibu muda dengan dua anak, yang sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang selama 21 hari semakin ramai dan menarik diperbincangkan. Sesungguhnya, ada apa dengan Prita?
Berita tentangnya tidak jarang kita jumpai di koran-koran, facebook, dan milis-milis di internet. Bahkan penulis sendiri pernah dapat sms dari salah satu teman untuk ikut berpartisipasi dukung gerakan dukung Prita Mulyasari lewat facebook dan e-mail.
Mendapat SMS tersebut penulis tidak langsung menelan mentah-mentah isi sms tersebut. Akan tetapi, penulis berusaha mencari tahu terlebih dahulu seperti apa kasus yang sedang ditimpa Prita Mulyasari sebenarnya, yang akhirya menghasilkan tulisan pendek ini.
Seperti yang penulis ketahui bahwa kasus yang menimpa Prita berawal ketika dia menderita sakit dengan gejala panas, meriang dan mual pada 7 Agustus 2008 malam. Sekitar pukul 20.30, dia diantar sang suami ke UGD RS Omni Internasional. Berdasar hasil pengecekan di laboratorium, terdapat 27 ribu trombosit sehingga dia dianggap terkena penyakit demam berdarah.
Saat itu juga ia dirawat inap. Paginya, dokter merevisi bahwa trombositnya 181 ribu. Penyakitnya tetap demam berdarah. Tapi, setelah perawatan, dia bukannya sembuh, kondisinya malah tambah parah.
Karena itu, setelah dirawat inap kurang lebih empat hari, Prita dan keluarga memilih pulang paksa. Kemudian, dia dirawat di RS lain. Dia lantas dinyatakan sakit gondok. Pengalaman tak mengenakkan di RS Omni itu lantas diceritakan Prita kepada teman-teman melalui e-mail. Itulah yang menyebakan RS Omni merasa kebakaran jenggot. Mereka lantas memperkarakan Prita ke jalur hukum. Dan akhirnya Prita dijebloskan ke lapas wanita Tangerang (Jawa Pos, 5/5/9).
Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang isinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Pertanyaannya sekarang; apakah benar langkah/keluhan Prita di atas termasuk pencemaran nama baik? Bukankah keluhan seperti itu sudah menjadi hal yang wajar bagi pasien yang merasa dikecewakan? Dan bukankah keluhan lewat e-mail sudah merupakan bentuk komunikasi yang lazim di antara warga masyarakat modern ini?
Melihat kronologi kasus Prita ini, maka bagi penulis, langkah yang diambil Prita sudah merupakan suatu hal yang wajar dan lumrah dalam hal pelayanan. Seoang pasien biasa melakukan keluhan terhadap pelayanan suatu instansi dengan ketidakpuasannya dan memang selayaknya keluhan tersebut diutarakan agar bisa menjadi koreksi bagi instansi termaksud. Sebuah keluhan atau lebih pasnya mungkin kritik, setidaknya dijadikan acuan demi pelayanan selanjutnya. Bukan malah dianggap sebagai aib karena ada kritikan. Begitu juga dengan pihak RS Omni setidaknya keluhan Prita bisa dijadikan koreksi untuk kelanjutan RS Omni ke depan. Bukan malah menuntut pasien (Prita) ke penjara karena merasa nama baik RS Omni tercemarkan.
Bagi penulis, adanya tuntutan ini, pihak RS Omni sudah mencemarkan nama baiknya sendiri karena sudah menganggap kritikan pasiennya sebagai pencemaran nama baik, yang selayaknya sebuah kritikan dianggap sebagai koreksi kenerjanya untuk pelayanan selanjutnya. Jika, sebuah kritikan dianggap sebagai celah oleh RS Omni, maka tidak secara langsung RS Omni merasa dirinya sebagai sebuah instansi yang sempurna yang tidak menerima kritikan dari luar.
Untuk itu, rasanya tidak keliru ketika ada orang yang menyuarakan dukungannya terhadap Prita, seperti yang penulis dapatkan dari facebook; Bebaskan Ibu Prita Mulyasari dari tahanan dan segala tuntutan hukum positions: pertama, cabut segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik karena sering disalahgunakan untuk membungkam hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Kedua, keluhan/curhat Ibu Prita Mulyasari terhadap RS Omni tidak bisa dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ketiga, keluhan/curhat Ibu Prita Mulyasari dijamin oleh UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keempat, RS Omni hendaknya memberikan hak jawab, bukan melakukan tuntutan perdata dan pidana atas keluhan/curhat yg dimuat di suara pembaca dan di milis-milis.
Penulis sependapat dengan empat poin di atas. Apalagi didukung lagi dengan keberadaan Prita yang sedang mengasuh anak bungsunya yang masih berusia setahun tiga bulan dan masih memerlukan ASI dan si sulung yang baru tiga tahun. Tidakkah pihak RS Omni berpikir; lebih mudharat (bahaya) mana menuntut Ibu Prita—kalau dia memang dianggap sudah mencemarkan nama baik RS Omni—ke penjara ketimbang membuat dia berpisah dengan dua balitanya yang masih membutuhkan ASI dan asuhan seorang ibu gara-gara tuntutannya (Omni)? Selagi orang masih relaks dan tidak gegabah, maka penulis yakin dia akan memilih tidak memisahkan anak balita dari ibunya dan menyelesaikannya dengan cara baik-baik, tidak harus menempuh jalur hukum.
*telah dimuat diharian Duta Masyarakat
pada rubrik Opini (8/6/9)
setuju ketika Prita dibebaskan tanpa syarat apapun....!
BalasHapusEhm..ehm... ceritanya nih benar-benar telah memanfaatkan milis Wartawan Indonesia. Hehe.....
BalasHapusKasus Prita adalah satu di antara ratusan kasus yang menimpa rakyat Indonesia dalam hal medis. Dia cenderung dirugikan dan dianiaya. Itulah bukti betapa kurang bermutunya-kalau tidak ingin mengatakan bobrok-kualitas dokter di tanah air. Menurutku RS Omni telah bersikap berlebih-lebihan dengan menjebloskan Prita ke penjara.
Yups, teruslah berkarya.
MATINYA KEBEBASAN BERPENDAPAT
BalasHapusBiarkanlah ada tawa, kegirangan, berbagi duka, tangis, kecemasan dan kesenangan... sebab dari titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menghirup udara dan menemukan jati dirinya...
itulah kata-kata indah buat RS OMNI Internasional Alam Sutera sebelum menjerat Prita dengan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
.......................................................................................................
Bila kita berkaca lagi kebelakang, sebenarnya pasal 310 KUHP adalah pasal warisan kolonial Belanda. Dengan membungkam seluruh seguruh teriakan, sang rezim penguasa menghajar kalangan yang menyatakan pendapat. Dengan kejam penguasa kolonial merampok kebebasan. tuduhan sengaja menyerang kehormatan, nama baik, kredibilitas menjadi ancaman, sehingga menimbulkan ketakutan kebebasan berpendapat.
Menjaga nama baik ,reputasi, integritas merupakan suatu keharusan, tapi alangkah lebih bijaksana bila pihak-pihak yang merasa terganggu lebih memperhatikan hak-hak orang lain dalam menyatakan pendapat.
Dalam kasus Prita Mulyasari, Rumah sakit Omni Internasional berperan sebagai pelayan kepentingan umum. Ketika pasien datang mengeluhjan pelayanan buruk pihak rumah sakit, tidak selayaknya segala kritikan yang ada dibungkam dan dibawah keranah hukum.
Kasus Prita Mulyasari adalah presiden buruk dalam pembunuhan kebebasan menyatakan pendapat.