Oleh: Abd. Basid
Seperti yang diberitakan media
Kebijakan ini akan diberlakukan jika Rancangan Peraturan Daerah (raperda) tentang perpustakaan disahkan DPRD Kota Suabaya. Pada pasal 6 disebutkan, setiap penyelenggara tempat dan atau fasilitas umum wajib menyediakan taman baca atau sudut baca (Surya, 19/5).
Tentu saja, inisiatif pengadaan sudut baca itu bukan tanpa tujuan. Orientasi dasarnya adalah memajukan dan merangsang minat masyarakat, terutama usia sekolah, agar doyan membaca. Dengan membaca, diharapkan adanya setitik pencerahan pengetahuan di dalam benak mereka. Membaca merupakan pangkal pengetahuan yang luas bagi manusia untuk membebaskan diri dari jebakan kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan.
Selain orientasi di atas, inisiatif itu, menurut penulis, juga untuk mengurangi angka daya dan minat dengar masyarakat
Hasil riset World Bank dan International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa peringkat kebiasaan membaca anak-anak
Mau tidak mau, untuk mengurangi keterpurukan Indonesia ini, kita harus mendukung pensuksesan pengadaan taman baca atau sudut baca di mal-mal, restoran, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya. Jika tiap tahunnya Kota Surabaya menambah fasilitas ini, maka tidak menutup kemungkinan 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan mengalahkan negara-negara Asia tetangga. Untuk saat ini Kota Surabaya sudah ada 249 taman baca, 15 diantaranya milik pemkot.
Untuk menyukseskan dan menanambahkan pengadaan taman baca di Kota Surabaya ini, khususnya, dan budaya baca di Indonesia pada umumnya, kiranya masyarakaat juga perlu ikut andil. Karena kalau cuma pemerintah yang berjalan dan masyarakatnya tidak, maka hal itu akan sia-sia. Untuk itu, kita setidaknya tidak terlalu “menuhankan” tayangan televisi dan sejenisnya. Tengok saja perkembangan anak-anak sekolah di negeri kita pada zaman sekarang. Mereka lebih senang memamerkan telpon seluler (ponsel) terbaru ketimbang membanggakan buku pelajaran terkini yang dimiliki.
Berdasarkan hasil riset peneliti perkembangan anak dari Harvard, Dr Berry Brazelton, menunjukkan bahwa anak yang melebihi batas tontonan televisi dapat membuat daya nalar dan ide kritisnya lumpuh. Akibatnya, banyak anak yang lebih senang duduk di depan televisi daripada membaca koran dan buku pelajaran yang membutuhkan daya nalar.
Selain derasnya arus komoditas televisi, persoalan rendahnya minat baca masyarakat kita itu disebabkan juga sangat mungkin juga disebabkan efek semakin canggihnya dunia elektronik era globalisasi sekarang. Sebagai contoh semakin tersedianya bermacam fasilitas permainan (game), internet, dan ponsel. Maka, seorang anak lebih suka mengotak-atik game dari pada membaca buku.
Meskipun demikian, bukan berarti seorang anak tidak boleh main game dan ngenet. Karena, bagaimanapun bermain game (penyegaran kembali) juga merupakan kebutuhan. Namun, anak setidaknya di jadwal kapan waktu main dan waktu membaca buku.
Soal buku mahal, penulis kira pembelian/penyewaan alat game dan ongkos ngenet juga mahal. Coba kita bandingkan, kalau kita main game di rentalan perjamnya seharga 2.500. Kalau kita main game sekali dalam seminggu, maka dalam setiap bulannya kita membutuhkan uang 10.000. kalu kita main game setiap hari, maka dalam satu bulan kita membutuhkan uang 75.000. Begitu juga dengan ongkos kita ngenet, dalam sejamnya umpamanya seharga 3.000. Kalau kita ngenet tiap minggu, maka dalam sebulan kita membutuhkan uang 12.000. Kalau kita ngenet tiap hari, maka dalam satu bulan kita membutuhkan uang 90.000. Mahal juga
Akhir kata, mari kita sukseskan bersama-sama pengadaan sudut baca di
pada rubrik Forum (2/6/9)
akhirnya..
BalasHapusTunggu balasanku...