Oleh: Abd.Basid
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Jawa Timur tinggal dihitung dengan jari. Dan yang masih di takutkan oleh pihak tim KPU dan masing-masing pasangan calon terkait akan meroketnya jumlah golongan putih (golput), melihat pada pengalaman pada pilgub Jawa Tengah bulan lalu, dan tersebarnya ajakan golput.
Penyelenggaraan Pilkada secara langsung cenderung menambah jumlah golput. Seperti yang terjadi pada pilkada Sumatera Utara dan Jawa Tengah, tingkat partisipasi masyarakat dibawah 60 persen. Pada pilkada di DKI Jakarta jumlah golput sekitar 29,2 persen, Kaltim 35 persen, Nusa Tenggara timur (NTT) 40 persen, Kalbar 32,6 persen. Sedangkan jumlah golongan putih pada pemilu 2009 diperkirakan akan mencapai 40 persen. Bagaimana dengan pemilihan gubernur Jawa Timur pada 23 Juli mendatang?
Golput karena faktor teknis bisa diminimalisir dengan membenahi kwalitas manajeman tim KPU. Dan istilah “golongan putih” lebih tepatnya ditujukan pada masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya karena ada faktor politik atau kekecewaan. Karena itu yang tampaknya perlu menjadi sorotan adalah fenomena ketidak ikut sertaan mereka dalam pemilihan karena ada faktor politik atau kekecewaan.
Prediksi Golput
Bayang-bayang membludaknya golput dalam pilkada Jatim 23 Juli, beberapa hari lagi, seakan menjadi ancaman serius. Hampir semua KPUD/kabupaten di Jawa Timur memprediksi angka golput bakal naik. Di Tuban misalnya, Komite Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat memperkirakan golput akan naik menjadi 25 persen. Di Jember, anggota KPUD setempat memperkirakan warga yang bakal tidak menggunakan hak pilihnya akan mencapai 50 persen dari total pemilih 1.710.239 orang. Di Bangkalan, KPUD setempat memperkirakan golput akan mencapai 30 persen yang pada Pilbup 23 Januari lalu hanya 23 persen. Di sampang, KPUD setempat memperkirakan golput akan mencapai lebih dari 27 persen, seperti Pilbup Sampang 27 Desember lalu.
Kemungkinan golput selain karena dua faktor diatas, juga dikarenakan masyarakat beranggapan bahwa menggunakan hak pilih tidak bermanfaat apapun bagi mereka, seperti apa yang di ungkapkan Fitria Muhammad waktu KPUD Tuban mensosialisakan pilkada, karena kurang pedulinya pemilu langsung yang banyak menyita waktu, minimnya upaya KPUD dalam mensosialisasikan pilgup, apatisme masyarakat yang tinggi, karena pekerjaan. Pemilih tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, karena mereka lebih mengutamakan mendapatkan upah untuk menghidupi keluarganya—seperti petani dan nelayan, dan jenuhnya masyarakat pada pilkada karena terlalu seringnya digelar.
Sikap Calon
Hakikat Golput
Kalau fenomena golput dikatakan merupakan salah satu bentuk protes masyarakat yang tak lagi mampu bersuara, maka tindakan itu sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Karena hakikat golput itu tidak, yakni mereka tetap menggunakan hak pilihnya tapi mereka tidak merasa bahwa ia memilih. Kok bisa seperti itu? Coba kita pikirkan, masyarakat yang golput beranggapan dengan kegolputannya jumlah suara akan berkurang, yang otomatis pemilihan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan tim KPU.
Meskipun pada dhohirnya pemilih berkurang, tapi hakikatnya mereka tetap “nyoblos”. Dalam pemilihan yang pasti calonnya lebih dari satu calon, dan tidak menutup kemungkinan hasil akhir akan menghasilkan suara yang hanya terpaut satu suara, dengan demikian mereka yang golput tidak secara langsung menggunakan (menjatuhkan) hak pilihnya pada calon yang hanya menang satu suara, karena seandainya mereka tidak golput bisa jadi yang hanya kalah satu suara tersebut yang akan jadi pemenangnya. Maka bisa disimpulkan bahwa golput itu pada hakikatnya tetap milih (nyoblos).
0 Response to "Golput Pada Hakikatnya Tetap Memilih"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!