Membicarakan Tuhan sangatlah sensitif. Sekali tergelincir, maka ancamannya adalah “petaka”. Banyak kalangan membicarakan Tuhan, tapi apa yang dikatakannya seringkali dangkal. Sebut saja seperti tokoh ateis; Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, dan Freud. Tokoh-tokoh tersebut membicarakan Tuhan dengan hanya mengandalkan rasionya. Bagi mereka Tuhan itu mati. Istilahnya Karl Marx, Tuhan hanyalah sebagai obat bius yang membuat tertawa saat kita susah. Tuhan hanya membius masyarakat untuk memikirkan dirinya sendiri dan Tuhan. Inilah akibat yang didapat oleh kaum ateis, yang memandang sinis sebuah agama (Tuhan). Faham ini terus berkembang hingga kini. Salah seorang tokoh modernnya seperti Richard Dawkin, Christopher Hitchens, dan Sam Haris.
Kebalikan dari ateisme di atas adalah fundamentalisme, di mana kelompok ini memahami Tuhan dengan sangat tekstual, seolah-olah Tuhan tampak oleh mata. Pemahaman ini membawa penganutnya pada pola keberagamaan yang eksklusif, sehingga menimbulkan sikap ekstrem yang mengganggap dirinya sebagai kelompok tunggal pengusung kebenaran (truth claim). Munculnya kaum fundamentalisme ini adalah adanya perasaan tidak nyaman dan terancam dalam keberagamaan yang diusung oleh gerakan ateis. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan sangat selektif mereka membaca ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan permusuhan terhadap umat yang berbeda keyakinan.
Kenapa semua itu terjadi? Hal ini dijawab oleh Karen Armstrong (selanjutnya akan disebut Armstrong saja) dalam bukunya yang berjudul “Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalis dan Ateisme”, yang diterjemahkan oleh Yuliani Liputo, bahwa semua itu tidak lain karena adanya tafsiran yang serba rasional dan ilmiah (scientific atheism). Tafsiran atas agama yang serba rasional inilah menurut Armstrong yang menimbulkan dua fenomena ateisme dan fundamentalisme di atas (hlm 19).
Sejarahnya, selama abad ke-16 dan ke-17, di Barat lahir peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi yang berbasis pada teknologi serta penanaman modal. Sejak itu satu satunya ukuran kebenaran adalah metode ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di dalam mitos keagamaan terkandung kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat dijangkau oleh logos. Hal inilah yang dilupakan oleh mereka.
Menurut Armstrong Tuhan adalah Tuhan yang menyejarah, yang hidup di tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian melahirkan komunitas orang beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi agama. Ia Mahatinggi dan Absolut. Karenanya, Ia tidak dibatasi waktu; tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran.
Tidaklah benar jika Tuhan dikatakan tidak ada, seperti yang dikatakan kaum ateis. Dan tidak benar juga jika Tuhan itu tampak oleh mata, seperti yang dianut kaum fundamentalis, dengan penafsirannya yang sangat tekstual.
Armstrong dalam buku ini melacak konsepsi Tuhan yang dipahami manusia ke dalam dua fase kehidupan, yaitu apa yang ia sebut sebagai “Tuhan yang tidak diketahui” (30.000 SM-1.500 SM) dan “Tuhan modern” (1.500 M-sekarang).
Lanjutnya, kita tidak akan pernah mampu memotret dan menganalisis misteri kehidupan, keberagamaan, dan kebertuhanan. Namun, betapa agama dan keyakinan pada Tuhan pasti selalu hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi manusia memaknai hidupnya. Agama, keyakinan, dan pemahaman terhadap Tuhan, senantiasa berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah masyarakat dengan segala aspeknya. Karena itu, memahami kitab suci dengan literlek akan menyesatkan dan mengalami reduksi, tidak sampai pada pesan inti agama.
Dalam pembelaannya terhadap Tuhan, Armstrong tidak hanya menujukan pada kaum ateis dan fundamentalis agama tertentu. Melainkan, Armstrong menujukan kepada semua agama dengan menunjukkan celahnya masing-masing. Lihat saja ketika Armsrong menentang kaum fundamentalis, masalah kekerasan (hal. 470-471). Kata Armstrong, bahwa fundamentalis Kristen banyak mengutip dari kitab Wahyu kepada Yohanes dalam pearjanjian baru dan terinspirasi oleh kekerasan visinya tentang Akhir-Zaman. Mereka jarang merujuk pada Khotbah di Atas Bukit, di mana Yesus menyuruh pengikutnya untuk mengasihi musuh-musuh mereka.
Fundamentalis Yahudi sangat mengandalkan bagian Kitab Ulangan dari Alkitab dan tampaknya mengabaikan perintah rabi bahwa penafsiran harus mengarah pada kemurahan hati.
Fundamentalis muslim mengabaikan pluralisme Al-Qur’an dan kaum ekstremes mengutip ayat-ayat yang lebih agresif untuk membenarkan kekerasan, terang-terangan mengabaikan ayat yang jauh lebih banyak yang menyerukan perdamian, toleransi, dan sikap memaafkan.
Akhir kata, buku ini, sangat cocok untuk dibaca semua kalangan dan etnis. Buku ini tidak menghakimi kelompok tertentu, tapi Armstrong dengan risetnya yang kuat memberikan persperktif kepada pembaca agar melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak.
Data Buku
Judul : Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme
Penulis : Karen Armstrong
Penerjemah : Yuliani Liputo
Penerbit : Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 608 halaman
ISBN : 978-979-433-589-5
Harga : Rp. 89.000
*dimuat di
Harian Bhirawa (28-10-2011)
0 Response to "Pembelaan Armstrong Terhadap Tuhan*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!