Membicarakan tema iqra’ (membaca), penulis kira tidak akan ada basinya, apalangi masyarakat kita sampai saat ini masih berada di tingkat terendah dalam dunia baca ketimbang Negara-negara lain.
Semua ulama’ sepakat bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan ke muka bumi ini adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5 atau yang biasa disebut surat Iqra’. Saat wahyu ini diturunkan, Nabi Muhammad sedang berada di Gua Hira’. Ketika itu, tiba-tiba Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu tersebut dan meminta Nabi Muhammad untuk membacanya. Meski Nabi Muhammad merupakan seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), namun Malaikat Jibril memaksa Nabi Muhammad untuk tetap membacanya.
Dengan demikian, hal ini menandakan bahwa begitu pentingnya kegiatan membaca bagi kita selaku hamba Allah yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, surat Al ‘Alaq ini menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dari benda yang hina (mani) kemudian memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis, dan memberinya pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan didapat dengan membaca dan menulis. Tanpa membaca kita tidak akan tahu apa-apa. Iqra’ (membaca) itulah kuncinya.
Lima ayat pertama yang diturunkan oleh Allah itu semuanya berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuaan. Dimulai dari iqra’ dan diakhiri dengan qalam (menulis). Semua itu merupakan aktivitas intelektual manusia, yang akhirnya menjadi tolok ukur perabadan sebuah bangsa-agama. Akan dikatakan bangsa dan agama yang berperadaban tinggi jika dunia baca dan tulis-menulisnya memainkan peranan yang begitu penting.
Selanjutnya, kalau kita kembali pada kata “iqra’” pada wahyu pertama tersebut, maka akar kata itu berasal dari kata “qara-a, yaqra-u” yang dalam arti bahasa Indonesianya adalah membaca. Namun, lebih dari itu, makna iqra’ dalam bahasa Arabnya sangat padat makna, yaitu membaca, memahami, menelaah dan menganalisa. Objeknya pun tidak hanya hal yang tampak, melainkan juga sesuatu di balik yang tampak.
Kembali pada Nuzulul Qur’an, dari membaca al-Qur’an—dalam arti luas—banyak ilmu yang dilahirkan. Ketika membahas lafadz-lafadz dan cara membacanya, lahir ilmu tajwid dan qira’ah. Ketika membahas makna ayatnya, lahir ilmu tafsir, asbabun nuzul, tanzil, ta’wil, muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, dan sejenisnya. Ketika membaca ayat-ayat hukumnya, lahirlah ilmu fiqih, ushul fiqih, dan ilmu hadis sebagai penjelas dan penafsir ayat.
Lebih lanjut lagi, di sana juga menumbuhkembangkan ilmu filsafat, matematika, kealaman, kesusastraan, dan sejarah. Sejumlah ayat yang menyuruh untuk memikirkan tatanan alam semesta yang berhubungan dengan eksistensi dan keesaan Tuhan, baik-buruk dalam ilmu kalam, mendorong kita untuk juga menekuni ilmu filsafat.
Keindahan bahasa al-Qur’an yang mendorong kita untuk mengkaji ilmu ketata bahasaan seperti ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, lughah, dan sejenisnya, pada gilirannya bermuara pada ilmu kesusastraan.
Begitu juga dengan ilmu sejarah. Al-Qur’an banyak berkisah para pendahulu. Menurut Thabathaba’I (1892-1981), ilmu sejarah merupakan sempalan dari ilmu hadis. Pada mulanya ilmu itu merupakan kumpulan kisah para Nabi dan para umat mereka. Dimulai dari sejarah Nabi Muhammad, kemudian ditambah dengan sejarah permulaan Islam, dan akhirnya menjadi sejarah seluruh dunia.
Dari sini, betapa Al-Qur’an begitu menginspirasi. Dengan hanya perlmulaan iqra’, berbagai disiplin ilmu lahir. Menurut Muhammad Iqbal (1877-1938), semua ini dikarenakan nilai-nilai al-Qur’an yang berkarakter dinamis, konkret, nyata, yang akhirnya mendorong kaum Muslim untuk melakukan eksperimen dan terus berfikir.
Salah satu bukti nyata yang mengindikasiakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber dan inspirasi awal dari berbagai disiplin keilmuan adalah “perebutan” istilah hikmah dalam al-Qur’an (Ali Imran [3]: 48), oleh kelompok dari berbagai disiplin keilmuan untuk menamai jenis keilmuan mereka masing-masing. Masing-masing dari mereka mengklaim bahwa penggunaan kata hikmah—yang dalam al-Qur’an selalu disandingkan dengan kata al-Kitab—untuk disiplin ilmu mereka. Lihat saja, Ibnu Arabi (1165-1240) menyebut kebijaksanaan yang tersingkap melalui manifestasi logos sebagai hikmah. Fakhruddin al-Razi (1149-1209) tak mau kalah, dia juga mengklaim bahwa hikmah itu adalah ilmu kalam (teologi). Demikian para muhaddisin (ahli hadis) mengatakan bahwa yang dimaksud hikmah dalam al-Qur’an itu adalah ilmu hadis. Tak mau kalah juga, para ilmuan sains awa’il ikut nimbrung dengan mengatakan bahwa tradisi keilmuan mereka sebagai hikmah.
Terlepas dari saling klaim di atas, yang jelas semua itu menunjukkan bahwa semangat berbagai disiplin keilmuan berawal dari wahyu (iqra’-al-Qur’an). Mereka ingin menyingkap semua kandungan wahyu yang begitu kaya dan mendalam melalui berbagai tradisi keilmuan. Mereka semunya ingin tradisi yang mereka kembangkan sebagai suatu disiplin ilmu yang disebut dalam al-Qur’an; hikmah.
Akhir kata, dengan semangat baca, mari kita bangkitkan tekat dan semangat kita agar lebih terpacu untuk menguasi berbagai disiplin keilmuan dan bisa mengamalkannya pada kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, agama, dan berbangsa.
*dimuat di Harian Radar Madura (5/10/2011)
Salam kenal & silaturrahim..keep posting & blogging
BalasHapus