Oleh: Abd. Basid
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengungkap sebuah cerita. Orang terdekat saya yang sudah lulus strata satu (S1) pernah mengutarakan bahwa dirinya merasa stres. Pasalnya, setelah lulus, ia tidak punya kerjaan. Lebih-lebih ketika melihat orang-orang sekitarnya, yang sudah ngajar.
“Kesibukannya apa sekarang? Kalau mau ngajar punya Akta IV nggak?”, begitu kata orang sekitar kepadanya. Kalau sudah demikian, suasana diri menjadi bad mood. Begitulah curhatnya ke saya, suatu hari.
Dalam dunia pendidikan keberadaan Akta IV itu berfungsi sebagai akan diakuinya seseorang sebagai pengajar di sebuah pendidikan. Jika seorang guru tidak punyai Akta IV, maka ia terancam di bawah, tidak diakui keguruannya. Bahasa kasarnya, ia tidak bisa mengajar. Toh, meski harus mengajar, ia tidak bisa jadi PNS (pegawai negeri sipil).
Akata IV ini digulirkan sejak pemerintah menetapkan UU Sisdiknas dan diiringi dengan UU tentang guru dan dosen. Sejak UU ini diberlakukan, profesi guru/dosen menjadi fenomenal dibanding profesi lain di dunia pendidikan. Profesi yang sebelumnya begitu ditakuti dan dihindari untuk digeluti, sekarang seolah mempunyai daya tarik yang sangat kuat yang membuat banyak orang, terutama lulusan baru dari perguruan tinggi, untuk terjun ke profesi ini.
Kisah agak sama, juga pernah saya alami. Suatu hari, ketika saya melayani pelanggan yang sedang ngeprint skripsinya. Meski belum kenal, tiba-tiba terjadi perbincangan masalah lulusan sarjana. Tanpa diduga dia yang kebetulan ada pada Jurusan Pendidikan (baca; Tarbiyah) dan saya yang lulusan Ushuluddin. Dia menyalahkan saya, seraya dia berucap; “Kok Mas-nya tidak ngambil jurusan pendidikan, kok ngambil Jurusan Ushuluddin. Buat apa Ushuluddin, kan Ushuluddin tidak punya Akta IV?”
Saya tidak mau berdebat. Sebab dia pelanggan yang tidak perlu “dilayani”, maka saya hanya menjawabnya; “Masalah kerja atau ngajar itu, tengantung pada usaha dan nasib kita masing-masing, Mbak”.
Dengan jawaban itu tenyata pelanngan itu diam, seakan-akan ia menyadari bahwa dia sudah mengajukan pertanyaaan yang keliru. Dia tidak sadar bahwa keberadaan Akta IV sekarang sudah dihapus.
Dua keadaan seperti di atas cukup menjadi bukti bahwa orientasi belajar masyarakat kita untuk mendapat pekerjaan, tidak karena niat luhur (cinta), lillahi ta’ala. Dengan kata lain, orientasi belajar masyarakat kita saat ini lebih pada untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai. Ketika seperti inilah yang menyebabkan banyaknya jumlah pengangguran di negeri ini.
Lihat saja, sekarang saja sudah ada sekitar 750 ribu lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah pengangguran itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata-rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.
Ini belum lagi, mereka calon mahasiswa baru yang akan mengisi bangku kuliah di tahun 2011 ini, yang nanti tentunya juga tidak pasti langsung “layak pakai” setelah lulus nanti.
Pada pendaftar seleksi nasional masuk perguruan tinggi nasional (SNMPTN) 2011 ini, tercatat 540.928 pendaftar resmi. Itu masih belum mereka yang berada di luar jalur SNMPTN. Dari beribu-ribu calon mahasiswa tersebut, akankah mereka menemukan stress di akhir kelulusannya nanti, jika masih pada orientasi di atas?
Untuk itu, yang perlu ditumbuh dan tanamkan pada masyarakat kita—lebih-lebih pelajar kita adalah tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan—adalah harus bisa membangun semangat cinta belajar. Dengan spirit dan mentalitas cinta belajar, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.
Membangun semangat cinta belajar, apalagi zaman ini, yang seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di internet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup dengan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.
Akhir kata, jika orientasi belajar remaja kita masih lebih pada pekerjaan, maka segeralah berhenti sebelum menemukan “masalah”. Mending bekerja sebelum stres. Karena kalau cuma mau bekerja tidak usah belajar jauh, bertahun-tahun, dan tinggi-tinggi. Terbukti, dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD. Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Maka berhentilah sekolah sebelum terlambat, jika orientasinya masih untuk kerja. (*)
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengungkap sebuah cerita. Orang terdekat saya yang sudah lulus strata satu (S1) pernah mengutarakan bahwa dirinya merasa stres. Pasalnya, setelah lulus, ia tidak punya kerjaan. Lebih-lebih ketika melihat orang-orang sekitarnya, yang sudah ngajar.
“Kesibukannya apa sekarang? Kalau mau ngajar punya Akta IV nggak?”, begitu kata orang sekitar kepadanya. Kalau sudah demikian, suasana diri menjadi bad mood. Begitulah curhatnya ke saya, suatu hari.
Dalam dunia pendidikan keberadaan Akta IV itu berfungsi sebagai akan diakuinya seseorang sebagai pengajar di sebuah pendidikan. Jika seorang guru tidak punyai Akta IV, maka ia terancam di bawah, tidak diakui keguruannya. Bahasa kasarnya, ia tidak bisa mengajar. Toh, meski harus mengajar, ia tidak bisa jadi PNS (pegawai negeri sipil).
Akata IV ini digulirkan sejak pemerintah menetapkan UU Sisdiknas dan diiringi dengan UU tentang guru dan dosen. Sejak UU ini diberlakukan, profesi guru/dosen menjadi fenomenal dibanding profesi lain di dunia pendidikan. Profesi yang sebelumnya begitu ditakuti dan dihindari untuk digeluti, sekarang seolah mempunyai daya tarik yang sangat kuat yang membuat banyak orang, terutama lulusan baru dari perguruan tinggi, untuk terjun ke profesi ini.
Kisah agak sama, juga pernah saya alami. Suatu hari, ketika saya melayani pelanggan yang sedang ngeprint skripsinya. Meski belum kenal, tiba-tiba terjadi perbincangan masalah lulusan sarjana. Tanpa diduga dia yang kebetulan ada pada Jurusan Pendidikan (baca; Tarbiyah) dan saya yang lulusan Ushuluddin. Dia menyalahkan saya, seraya dia berucap; “Kok Mas-nya tidak ngambil jurusan pendidikan, kok ngambil Jurusan Ushuluddin. Buat apa Ushuluddin, kan Ushuluddin tidak punya Akta IV?”
Saya tidak mau berdebat. Sebab dia pelanggan yang tidak perlu “dilayani”, maka saya hanya menjawabnya; “Masalah kerja atau ngajar itu, tengantung pada usaha dan nasib kita masing-masing, Mbak”.
Dengan jawaban itu tenyata pelanngan itu diam, seakan-akan ia menyadari bahwa dia sudah mengajukan pertanyaaan yang keliru. Dia tidak sadar bahwa keberadaan Akta IV sekarang sudah dihapus.
Dua keadaan seperti di atas cukup menjadi bukti bahwa orientasi belajar masyarakat kita untuk mendapat pekerjaan, tidak karena niat luhur (cinta), lillahi ta’ala. Dengan kata lain, orientasi belajar masyarakat kita saat ini lebih pada untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai. Ketika seperti inilah yang menyebabkan banyaknya jumlah pengangguran di negeri ini.
Lihat saja, sekarang saja sudah ada sekitar 750 ribu lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah pengangguran itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata-rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.
Ini belum lagi, mereka calon mahasiswa baru yang akan mengisi bangku kuliah di tahun 2011 ini, yang nanti tentunya juga tidak pasti langsung “layak pakai” setelah lulus nanti.
Pada pendaftar seleksi nasional masuk perguruan tinggi nasional (SNMPTN) 2011 ini, tercatat 540.928 pendaftar resmi. Itu masih belum mereka yang berada di luar jalur SNMPTN. Dari beribu-ribu calon mahasiswa tersebut, akankah mereka menemukan stress di akhir kelulusannya nanti, jika masih pada orientasi di atas?
Untuk itu, yang perlu ditumbuh dan tanamkan pada masyarakat kita—lebih-lebih pelajar kita adalah tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan—adalah harus bisa membangun semangat cinta belajar. Dengan spirit dan mentalitas cinta belajar, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.
Membangun semangat cinta belajar, apalagi zaman ini, yang seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di internet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup dengan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.
Akhir kata, jika orientasi belajar remaja kita masih lebih pada pekerjaan, maka segeralah berhenti sebelum menemukan “masalah”. Mending bekerja sebelum stres. Karena kalau cuma mau bekerja tidak usah belajar jauh, bertahun-tahun, dan tinggi-tinggi. Terbukti, dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD. Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Maka berhentilah sekolah sebelum terlambat, jika orientasinya masih untuk kerja. (*)
*telah dimuat di Horizon Radar Surabaya, 12/6/2011
mkasih gan?? sip.. lanjut kan...
BalasHapus