Ada banyak macam dan tipe seorang pembaca buku dalam menentukan buku apa yang akan dibaca dan dikoleksi. Ada yang memilah dan memilih siapa dulu penulisnya dan ada juga yang sebaliknya-yang penting buku bacaan dan menarik, akan ia baca. Dan bagi pembaca buku yang tidak begitu memperhatikan seorang penulis bukunya, mungkin akan beranggapan bahwa novel ini adalah novel yang diangkat dari sebuah layar lebar garapan Hanung Bramantyo, yang sempat meramaikan per-bioskop-an di seluruh Indonesia ini, yakni "Sang Pencerah", yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral.
Namun, tunggu dulu, novel ini bukanlah novel karya Akmal Nasery Basral yang diangkat dari layar lebarnya Hanung, yang diterbitkan oleh Mizan dengan judul "Sang Pencerah; Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah", akan tetapi novel ini adalah karya Didi L. Hariri, yang diberi judul hampir sama yaitu "Jejak Sang Pencerah; Sebuah Novel Biografi [Ahmad Dahlan]", yang diterbitkan oleh Best Media Utama, Jakarta.
Perbedaannya terletak pada kedua penulisnya. Jika yang pertama, Akmal Nasery Basral, dalam menggambarkan sosok K. H. Ahmad Dahlam menggunakan sudut pandang "aku", namun yang kedua, Didik L. Hariri, menggunakan sudut pandang "dia".
Dalam hal ketenaran mungkin karya pertama lebih tenar, karena memang terbit lebih dulu (Juni) dan diterbitkan penerbit besar, Mizan. Namun, dalam segi pengolahan dan penokohannya, yang kedua tak kalah lihainya meski terbit belakangan (Juli).
Dengan latar belakang penulisnya yang seorang budayawan, novel ini semakin enak dibaca dan renyah dikunyah. Didik L. Hariri yang pernah ditahbiskan sebagai budayawan muda Indonesia idealis oleh Muhammadun Yossi Herfanda, berhasil menggambarkan sosok K. H. Ahmad Dahlan sebagai sosok kharismatik dalam bentuk karya fiksi (novel). Dengan mudahnya ia mengalirkan alur cerita di dalamnya dan mengupasnya secara utuh jejak pemikiran dan perjuangan K. H. Ahmad Dahlan.
Dengan menggunakan konsep "imajinasi" dan "asosiasi" dalam pengumpulan data, menambah novel ini seakan bertutur dengan sendirinya. Dinamika seorang tokoh di dalamnya menjadi terasa bergerak sesuai kronologi yang ada.
Nama Ahmad Dahlan bukanlah nama yang diberikan orang tuanya sejak kecil, akan tetapi nama itu adalah nama yang dipakainya setelah ia datang dari tanah suci Mekah. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis putera Ketib Amin Haji Abu Bakar, salah seorang dari 12 ketib kraton yang bertugas di masjid Gedhe Yogyakarta. Darwis adalah sosok anak yang cerdas dan teguh pendirian. Sejak berumur 10 tahun dia sudah pandai membaca Al-Qur'an. Kemampuan otaknya pun melebihi anak-anak sebaya dan sepermainannya.
Perubahan namanya dari Darwis menjadi Ahmad Dahlan berawal ketika dia berhaji ke Mekah. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lah yang memberikan nama itu. Salah satu ulama yang ditemuinya selama di Mekah. Selama lima tahun di sana ia belajar ilmu agama kepada ulama-ulama ternama yang salah satunya kepada ulama yang mengganti namanya itu.
Dua Kisah Titik Perjuangan
Setidaknya, ada dua kisah yang menjadi titik perjuangan K. H. Ahmad Dahlan dalam novel ini, yaitu perjuangannya ketika berusaha menentang tradisi masyarakat dan ketika ia hendak mengubah arah kiblat. Gagasan pembaruan Islamnya tidak jarang membuat gusar para penghulu Masjid Gedhe kala itu.
Setelah ayahnya wafat dan ia diangkat menjadi Ketib Masjid Gedhe, ia tambah berani menentang tradisi-tradisi yang ia anggap melenceng dari ajaran Islam. Ia keberatan terhadap tradisi yang memberatkan rakyat dan harus dilakukan atas nama agama, seperti halnya tahlilan. Karena itulah ia dengan begitu lantangnya menentang tradisi pendahulunya meski telah turun-temurun berjalan.
Selanjutnya, masalah perubahan arah kiblat masjid Gedhe, Kauman. Soal kiblat inilah K. H. Ahmad Dahlan mendapat perlawanan dari Kiai Siraj Pakualaman, dan Kiai-Kiai lainnya, terutama Kiai Penghulu Kamaludiningrat, selaku Kiai yang paling tinggi status sosialnya.
Dari pengamatan K. H. Ahmad Dahlan, arah kiblat masjid Gedhe Kauman mengarah lurus ke Barat, padahal kiblatnya tidak persis ke barat tapi agak serong ke kanan (Barat Laut).
Adapun nama (ormas) Muhammadiyah itu berawal ketika ada pertemuan antara K. H. Ahmad Dahlan dengan organisasi Budi Utomo. Dari situlah, K. H. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk membuat sekolah ibtidaiyah diniyah di rumahnya. Murid-muridnya waktu itu mayoritas dari kalangan rakyat kecil. Setelah itu K. H. Ahmad Dahlan membuat persyarikatan (perkumpulan). Sangidu, adik tirinya, yang kemudian mengusulkan agar nama persyarikatannya itu diberi nama "Muhammadiyah", yang berarti "pengikut Nabi Muhammad".
Akhir kata, sekilas, buku ini memang menceritakan tentang kisah K.H. Ahmad Dahlan, namun di balik itu semua, buku ini juga bercerita tentang perjuangan. Di dalamnya berisi tentang semangat anak muda, patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya. Novel ini adalah sebuah novel yang akan mengenalkan kita pada sosok seorang tokoh yang sudah berkontribusi besar bagi pendidikan di Indonesia. Kehadirannya patut diapresiasi, mengingat masyarakat kita yang lagi butuh bacaan yang menunjukkan nilai-nilai perjuangan bangsa dan nilai-nilai ke-Indonesia-an. ***
Data Buku
Judul : Jejak Sang Pencerah; Sebuah Novel Biografi [Ahmad Dahlan]
Penulis : Didik L. Hariri
Penerbit : Best Media Utama, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal : 278 halaman
ISBN : 978-602-96791-4-4
Namun, tunggu dulu, novel ini bukanlah novel karya Akmal Nasery Basral yang diangkat dari layar lebarnya Hanung, yang diterbitkan oleh Mizan dengan judul "Sang Pencerah; Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah", akan tetapi novel ini adalah karya Didi L. Hariri, yang diberi judul hampir sama yaitu "Jejak Sang Pencerah; Sebuah Novel Biografi [Ahmad Dahlan]", yang diterbitkan oleh Best Media Utama, Jakarta.
Perbedaannya terletak pada kedua penulisnya. Jika yang pertama, Akmal Nasery Basral, dalam menggambarkan sosok K. H. Ahmad Dahlam menggunakan sudut pandang "aku", namun yang kedua, Didik L. Hariri, menggunakan sudut pandang "dia".
Dalam hal ketenaran mungkin karya pertama lebih tenar, karena memang terbit lebih dulu (Juni) dan diterbitkan penerbit besar, Mizan. Namun, dalam segi pengolahan dan penokohannya, yang kedua tak kalah lihainya meski terbit belakangan (Juli).
Dengan latar belakang penulisnya yang seorang budayawan, novel ini semakin enak dibaca dan renyah dikunyah. Didik L. Hariri yang pernah ditahbiskan sebagai budayawan muda Indonesia idealis oleh Muhammadun Yossi Herfanda, berhasil menggambarkan sosok K. H. Ahmad Dahlan sebagai sosok kharismatik dalam bentuk karya fiksi (novel). Dengan mudahnya ia mengalirkan alur cerita di dalamnya dan mengupasnya secara utuh jejak pemikiran dan perjuangan K. H. Ahmad Dahlan.
Dengan menggunakan konsep "imajinasi" dan "asosiasi" dalam pengumpulan data, menambah novel ini seakan bertutur dengan sendirinya. Dinamika seorang tokoh di dalamnya menjadi terasa bergerak sesuai kronologi yang ada.
Nama Ahmad Dahlan bukanlah nama yang diberikan orang tuanya sejak kecil, akan tetapi nama itu adalah nama yang dipakainya setelah ia datang dari tanah suci Mekah. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis putera Ketib Amin Haji Abu Bakar, salah seorang dari 12 ketib kraton yang bertugas di masjid Gedhe Yogyakarta. Darwis adalah sosok anak yang cerdas dan teguh pendirian. Sejak berumur 10 tahun dia sudah pandai membaca Al-Qur'an. Kemampuan otaknya pun melebihi anak-anak sebaya dan sepermainannya.
Perubahan namanya dari Darwis menjadi Ahmad Dahlan berawal ketika dia berhaji ke Mekah. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lah yang memberikan nama itu. Salah satu ulama yang ditemuinya selama di Mekah. Selama lima tahun di sana ia belajar ilmu agama kepada ulama-ulama ternama yang salah satunya kepada ulama yang mengganti namanya itu.
Dua Kisah Titik Perjuangan
Setidaknya, ada dua kisah yang menjadi titik perjuangan K. H. Ahmad Dahlan dalam novel ini, yaitu perjuangannya ketika berusaha menentang tradisi masyarakat dan ketika ia hendak mengubah arah kiblat. Gagasan pembaruan Islamnya tidak jarang membuat gusar para penghulu Masjid Gedhe kala itu.
Setelah ayahnya wafat dan ia diangkat menjadi Ketib Masjid Gedhe, ia tambah berani menentang tradisi-tradisi yang ia anggap melenceng dari ajaran Islam. Ia keberatan terhadap tradisi yang memberatkan rakyat dan harus dilakukan atas nama agama, seperti halnya tahlilan. Karena itulah ia dengan begitu lantangnya menentang tradisi pendahulunya meski telah turun-temurun berjalan.
Selanjutnya, masalah perubahan arah kiblat masjid Gedhe, Kauman. Soal kiblat inilah K. H. Ahmad Dahlan mendapat perlawanan dari Kiai Siraj Pakualaman, dan Kiai-Kiai lainnya, terutama Kiai Penghulu Kamaludiningrat, selaku Kiai yang paling tinggi status sosialnya.
Dari pengamatan K. H. Ahmad Dahlan, arah kiblat masjid Gedhe Kauman mengarah lurus ke Barat, padahal kiblatnya tidak persis ke barat tapi agak serong ke kanan (Barat Laut).
Adapun nama (ormas) Muhammadiyah itu berawal ketika ada pertemuan antara K. H. Ahmad Dahlan dengan organisasi Budi Utomo. Dari situlah, K. H. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk membuat sekolah ibtidaiyah diniyah di rumahnya. Murid-muridnya waktu itu mayoritas dari kalangan rakyat kecil. Setelah itu K. H. Ahmad Dahlan membuat persyarikatan (perkumpulan). Sangidu, adik tirinya, yang kemudian mengusulkan agar nama persyarikatannya itu diberi nama "Muhammadiyah", yang berarti "pengikut Nabi Muhammad".
Akhir kata, sekilas, buku ini memang menceritakan tentang kisah K.H. Ahmad Dahlan, namun di balik itu semua, buku ini juga bercerita tentang perjuangan. Di dalamnya berisi tentang semangat anak muda, patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya. Novel ini adalah sebuah novel yang akan mengenalkan kita pada sosok seorang tokoh yang sudah berkontribusi besar bagi pendidikan di Indonesia. Kehadirannya patut diapresiasi, mengingat masyarakat kita yang lagi butuh bacaan yang menunjukkan nilai-nilai perjuangan bangsa dan nilai-nilai ke-Indonesia-an. ***
Data Buku
Judul : Jejak Sang Pencerah; Sebuah Novel Biografi [Ahmad Dahlan]
Penulis : Didik L. Hariri
Penerbit : Best Media Utama, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal : 278 halaman
ISBN : 978-602-96791-4-4
*resensi ini telah dimuat di Harian Bhirawa (5/11/2010)
0 Response to "Jejak Kisah Sang Pendiri Muhammadiyah*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!