Oleh: Abd. Basid
K. H. A. Mustofa Bisri yang biasa disapa Gus Mus adalah seorang kiai, budayawan, dan cendikiawan kesohor yang karya-karyanya banyak diminati banyak kalangan. Tidak banyak kita menemukan seorang kiai yang serba bisa dalam mengolah kata menjadi untaian kata yang begitu bernyawa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dalam melahirkan karya-karyanya, Gus Mus berhasil meracik dan merangkai kata demi kata dengan rakitan kata penuh makna, sehingga menjadi kalimat-pragraf dengan bahasa pena yang sederhana nan mudah dicerna. Itulah salah satu ciri tulisan Gus Mus.
Coba kalau kita melihat puisi-puisi Gus Mus; dari semua puisi yang beliau gubah tidak sulit bagi kita untuk menangkap makna yang tersirat di dalamnya. Jika yang kita tahu dan biasa terjadi bahwa puisi itu identik dengan penggunaan dan pemilihan kata yang cenderung (sangat) personal—sehingga kadang sulit untuk dimengerti banyak orang, namun puisi Gus Mus dengan mudahnya bisa dinikmati berbagai kalangan, sekalipun yang tidak biasa mengkonsumsinya.
Tentang hal itu, Sutarji Calzoum Bachri, menilai; gaya pengucapan puisi Gus Mus tidaklah berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap dan berbahasa yang tumbuh dari ketidak inginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise.
Ken Sawitri, dalam pengantar buku Album Sajak-sajak A. Mustofa Bisri, menilai bahwa; meskipun puisi-puisi Gus Mus pada umumnya tidaklah menggunakan kata-kata yang sulit untuk dipahami, namun memang akan lebih menguntungkan jika pembaca berbekal wawasan historis, ekonomis, budaya, sosial, sastra dan spritual yang memadai—mengingat bagian besar puisi Gus Mus berangkat dari problematika nyata, yang problematika itu masih hangat sampai saat ini.
Tidak hanya itu. Esai-esainya juga dengan corak dan ciri yang sama. Bahkan dalam esainya juga tergambar bahwa Gus Mus adalah memang sosok kiai yang multi talenta dalam berkarya. Semua tema dan topik beliau kuasai dan penakan.
Dengan demikian, maka tidak heran jika pihak Penerbit Buku Kompas sangat antusias—bahkan mereka sampai harus rela bersin-bersin ditambah keringat yang bercucuran—dalam membukukan karya-karya Gus Mus untuk keempat kalinya yang berupa kumpulan tulisan beliau yang awalnya ditulis khusus untuk memberi kata pengantar di berbagai buku, yang kemudian diberi judul “Koridor; Renungan A. Mustofa Bisri”.
Buku setebal 248 halaman ini berisikan 48 tulisan Gus Mus, yang kemudian dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisikan delapan tulisan mengenai hal ihwal sang khalifah seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz; para tokoh dan wali seperti Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), Kiai Hamid (Pasuruan), Sunan Kudus dan sebagainya.
Bagian kedua berisikan delapan tulisan yang memuat tentang cinta dan syair, yang di dalamnya berisikan tulisan tentang bahasa sufi, penyair celurit, syiiran kiai-kiai dan takdim. Bagian ketiga juga berisikan delapan tulisan mengenai kiai dan politik. Bagian keempat berisikan sembilan tulisan berkisar pernikahan (kado pengantin), fiqih, bahasa arab dan bahasa nasional, Jaya Supran, dan lain-lain. Dan bagian terakhir berisikan lima belas tulisan dengan berbagai topik; budaya, sejarah, sosial dan agama.
Selanjutnya, dikarenakan buku ini merupakan kumpulan tulisan yang telah lalu dan merupakan kata pengantar dari berbagai buku, kadang masih sangat tampak dan ditemukan sebuah pragraf mencolok yang meskipun tidak ada pemberitahuan (dalam buku di “Pengantar Editor”), pembaca bisa menebak bahwa tulisan ini memang berupa kata pengantar dari buku-buku terntentu. Seperti yang terlihat pada pragraf akhir awal tulisan buku ini, tepatnya pada artikel yang berjudul “Umar Abdul Aziz Sang Khalifah yang Hamba Allah”; “waba’du; buku sejarah Umar bin Abdul Aziz karya Abdul Aziz Sayyidul Ahaal merupakan salah satu dari sekian banyak buku yang ditulis tentang pribadi agung itu” (hal. 6).
Contoh lain pada pragraf akhir artikel yang berjudul “Orang Jawa Berdakwah”; “Buku Cahaya Rasul ini juga disebut sebagai buku dakwah, buku yang mangajak kebaikan, meskipun mungkin Anda tidak merasa didakwahi” (hal. 166). Hemat saya, alangkah lebih baiknya jika pragraf semacam itu tidak usah diikutkan di dalamnya, toh pragraf itu tidak merusak isi dan maksud tulisan—bahkan lebih baik dihilangkan.
Meskipun demikian, bukan berarti isi dari buku ini tidak up to date. Melainkan seperti yang sempat disinggung di atas bahwa tulisan-tulisan Gus Mus mempunyai corak dan ciri tersendiri; sederhana, mendalam, dan analisis. Tulisan Gus Mus mengandung ruh dan paradigma baru bagi pengkonsumsinya. Setelah membacanya, pengetahuan dan pemebelajaran dalam bersikap, menyikapi, serta menghadapi persolan akan kita lihat. Dalam membacanya pun, pembaca tanpa terasa akan terbawa oleh waktu. Saya sendiri merasakan hal yang demikian.
Akhir kata, seperti yang tertulis di cover belakang buku ini, bahwa buku ini sangat cocok dan layak dibaca siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat pemikiran-pemikiran Gus Mus dan mengetahui apa saja yang telah dilihat dengan mata hatinya. Selain itu, buku ini juga akan menjawab dan mengobati kerinduan para penggemar Gus Mus yang sudah lama tidak menikmati buku baru Gus Mus.
DATA BUKU
Judul : Koridor; Renungan A. Mustofa Bisri
Penulis : A. Mustofa Bisri
Editor : Irwan Suhanda dan Muhammad Bisri Cholil Laquf
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I & II, 2010
Tebal : xii + 248 halaman
ISBN : 978-979-709-463-8
K. H. A. Mustofa Bisri yang biasa disapa Gus Mus adalah seorang kiai, budayawan, dan cendikiawan kesohor yang karya-karyanya banyak diminati banyak kalangan. Tidak banyak kita menemukan seorang kiai yang serba bisa dalam mengolah kata menjadi untaian kata yang begitu bernyawa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dalam melahirkan karya-karyanya, Gus Mus berhasil meracik dan merangkai kata demi kata dengan rakitan kata penuh makna, sehingga menjadi kalimat-pragraf dengan bahasa pena yang sederhana nan mudah dicerna. Itulah salah satu ciri tulisan Gus Mus.
Coba kalau kita melihat puisi-puisi Gus Mus; dari semua puisi yang beliau gubah tidak sulit bagi kita untuk menangkap makna yang tersirat di dalamnya. Jika yang kita tahu dan biasa terjadi bahwa puisi itu identik dengan penggunaan dan pemilihan kata yang cenderung (sangat) personal—sehingga kadang sulit untuk dimengerti banyak orang, namun puisi Gus Mus dengan mudahnya bisa dinikmati berbagai kalangan, sekalipun yang tidak biasa mengkonsumsinya.
Tentang hal itu, Sutarji Calzoum Bachri, menilai; gaya pengucapan puisi Gus Mus tidaklah berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap dan berbahasa yang tumbuh dari ketidak inginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise.
Ken Sawitri, dalam pengantar buku Album Sajak-sajak A. Mustofa Bisri, menilai bahwa; meskipun puisi-puisi Gus Mus pada umumnya tidaklah menggunakan kata-kata yang sulit untuk dipahami, namun memang akan lebih menguntungkan jika pembaca berbekal wawasan historis, ekonomis, budaya, sosial, sastra dan spritual yang memadai—mengingat bagian besar puisi Gus Mus berangkat dari problematika nyata, yang problematika itu masih hangat sampai saat ini.
Tidak hanya itu. Esai-esainya juga dengan corak dan ciri yang sama. Bahkan dalam esainya juga tergambar bahwa Gus Mus adalah memang sosok kiai yang multi talenta dalam berkarya. Semua tema dan topik beliau kuasai dan penakan.
Dengan demikian, maka tidak heran jika pihak Penerbit Buku Kompas sangat antusias—bahkan mereka sampai harus rela bersin-bersin ditambah keringat yang bercucuran—dalam membukukan karya-karya Gus Mus untuk keempat kalinya yang berupa kumpulan tulisan beliau yang awalnya ditulis khusus untuk memberi kata pengantar di berbagai buku, yang kemudian diberi judul “Koridor; Renungan A. Mustofa Bisri”.
Buku setebal 248 halaman ini berisikan 48 tulisan Gus Mus, yang kemudian dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisikan delapan tulisan mengenai hal ihwal sang khalifah seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz; para tokoh dan wali seperti Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), Kiai Hamid (Pasuruan), Sunan Kudus dan sebagainya.
Bagian kedua berisikan delapan tulisan yang memuat tentang cinta dan syair, yang di dalamnya berisikan tulisan tentang bahasa sufi, penyair celurit, syiiran kiai-kiai dan takdim. Bagian ketiga juga berisikan delapan tulisan mengenai kiai dan politik. Bagian keempat berisikan sembilan tulisan berkisar pernikahan (kado pengantin), fiqih, bahasa arab dan bahasa nasional, Jaya Supran, dan lain-lain. Dan bagian terakhir berisikan lima belas tulisan dengan berbagai topik; budaya, sejarah, sosial dan agama.
Selanjutnya, dikarenakan buku ini merupakan kumpulan tulisan yang telah lalu dan merupakan kata pengantar dari berbagai buku, kadang masih sangat tampak dan ditemukan sebuah pragraf mencolok yang meskipun tidak ada pemberitahuan (dalam buku di “Pengantar Editor”), pembaca bisa menebak bahwa tulisan ini memang berupa kata pengantar dari buku-buku terntentu. Seperti yang terlihat pada pragraf akhir awal tulisan buku ini, tepatnya pada artikel yang berjudul “Umar Abdul Aziz Sang Khalifah yang Hamba Allah”; “waba’du; buku sejarah Umar bin Abdul Aziz karya Abdul Aziz Sayyidul Ahaal merupakan salah satu dari sekian banyak buku yang ditulis tentang pribadi agung itu” (hal. 6).
Contoh lain pada pragraf akhir artikel yang berjudul “Orang Jawa Berdakwah”; “Buku Cahaya Rasul ini juga disebut sebagai buku dakwah, buku yang mangajak kebaikan, meskipun mungkin Anda tidak merasa didakwahi” (hal. 166). Hemat saya, alangkah lebih baiknya jika pragraf semacam itu tidak usah diikutkan di dalamnya, toh pragraf itu tidak merusak isi dan maksud tulisan—bahkan lebih baik dihilangkan.
Meskipun demikian, bukan berarti isi dari buku ini tidak up to date. Melainkan seperti yang sempat disinggung di atas bahwa tulisan-tulisan Gus Mus mempunyai corak dan ciri tersendiri; sederhana, mendalam, dan analisis. Tulisan Gus Mus mengandung ruh dan paradigma baru bagi pengkonsumsinya. Setelah membacanya, pengetahuan dan pemebelajaran dalam bersikap, menyikapi, serta menghadapi persolan akan kita lihat. Dalam membacanya pun, pembaca tanpa terasa akan terbawa oleh waktu. Saya sendiri merasakan hal yang demikian.
Akhir kata, seperti yang tertulis di cover belakang buku ini, bahwa buku ini sangat cocok dan layak dibaca siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat pemikiran-pemikiran Gus Mus dan mengetahui apa saja yang telah dilihat dengan mata hatinya. Selain itu, buku ini juga akan menjawab dan mengobati kerinduan para penggemar Gus Mus yang sudah lama tidak menikmati buku baru Gus Mus.
DATA BUKU
Judul : Koridor; Renungan A. Mustofa Bisri
Penulis : A. Mustofa Bisri
Editor : Irwan Suhanda dan Muhammad Bisri Cholil Laquf
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I & II, 2010
Tebal : xii + 248 halaman
ISBN : 978-979-709-463-8
0 Response to "Kekuatan Pena Seorang Gus Mus"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!