Membaca buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” saya teringat cerita salah satu teman saya. Dia bercerita tentang salah satu ungkapan “mengelitik” salah satu ustadznya ketika dia berkunjung ke rumahnya. Kebetulan ustadznya itu adalah seorang penulis yang hidup di reng perreng (desa) pedalaman, yang kalau bahasa kasarnya jauh dari peradaban. Maaf.
Kisahnya, ketika teman saya itu berkunjung ke kediaman ustadznya, sebut saja namanya Suhairi, ustadznya tadi sedang menggarap sebuah karangan yang akan dikirimkan ke media. Karena kebetulan temanku itu berkunjung ke sana, sang ustadz meminta komentar sebelum tulisannya itu dilayangkan ke media. Singkat cerita, di salah satu perbincangan keduanya, temanku bergumam dengan nada guyon; “meskipun penulis kalau hidupnya di reng perreng ustadz”. Mendengar centilan temanku itu, sang ustadz menjawab dengan nada datar tapi pasti; “ya jangan difrasekan; meskipun penulis kalau hidupnya di reng perreng, tapi baliklah; meski di reng perreng kalau penulis”. “Kan enak dengarnya” timpal sang ustadznya lagi sambil dibarengi tawa khas mereka.
Cerita di atas, benar apa adanya. Untuk menjadi seorang penulis tidak harus hidup di keramaian metropolitan. Orang yang hidup dan besar di reng perreng pun juga bisa menjadi seorang penulis. Karena untuk menjadi seorang penulis tidak harus kaya, dan tidak pula harus keturunan bangsawan. Yang dibutuhkan dalam menulis hanya membaca dan imajinasi. Semua orang bisa menjadi penulis jika ia mau membaca dan berimajinasi—yang pastinya disertai usaha.
Sebut saja seperti D. Zawawi Imron. Dia tidak hidup di keramain kota metropolitan dan tidak pula dari keturunan bangsawan. Dia hidup di daerah paling timur pulau Madura, Sumenep. Tapi dia menjadi budayawan terkenal karena dia ingin membaca dan berimajinasi. Tulisannya sering nongol di media. Dan bukunya pun banyak peminatnya. Kalau kita membaca Jawa Pos Minggu, maka kita akan bertemu dengannya di rubrik budaya. Dan kalau kita pergi ke toko buku dan menemukan buku yang berjudul “Celurit Mas”, itu adalah buku best seller. Tidak harus hidup di metropolitan dan berasal dari keturunan bangsawan kan?
Buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” yang ditulis oleh Rijal Mumazziq Zionis dan 12 teman lainnya mengungkap semua itu. Di dalamnya menyajikan lika-liku para santri dalam upayanya menjadi penulis. Anggapan bahwa santri itu kolot dan jauh dari peradaban dijawab dan dibantah buku ini. Insan pesantren juga bisa menghiasi dunia tulis menulis. Dunia yang dapat memperteguh eksistensi dan menunjukkan bahwa manusia akan berada pada dan dalam arti sebenarnya. Hidup tidak sekedar harus dijalani, tapi dikembangkan, diolah dengan penuh kreativitas dan kesungguhan serta melakukan transpormasi.
Menulislah!
Menulis tidak butuh bakat. Faktor bakat dalam menulis kalau mau dihitung hanya ada pada angka 5 persen. Yang dibutuhkan dalam menulis hanyalah membaca dan berimajinasi. Baik membaca buku, koran, majalah maupun membaca realita alam sekitar. Benang merahnya, barang siapa ingin menjadi kutu buku, maka jadilah seorang penulis. Logikanya, karena dalam proses menulis mau tidak mau harus kaya data, dan data itu bisa didapat dengan membaca.
Menulis, munurut istilah Prof. DR. Abd. A’la, MA. dalam epilog buku ini, dapat mengantarkan seseorang (penulis) dapat hadir tanpa fisik dalam suatu kehidupan yang sejatinya penulis itu belum pernah menyentuhnya dengan mata-kepala atau peraba yang badani (hal. 207).
Selain itu, dengan menulis seseorang (sudah) sadar dan berusaha peduli terhadap pengembangan dan kemajuan bangsa ini dan menghilangkan kebiasannya dalam memmbudayakan budaya verbal. Seperti yang kita ketahui, bahwa masyarakat Indonesia sampai saat ini lebih banyak mempopulerkan budaya verbal, yakni mengobrol dan menggosip—yang aktivitas itu tidak ada manfaatnya dan jauh lebih baik jika kita banyak membaca-menulis.
Sulit atau mudahkah menulis itu? Menulis sejatinya bisa dibilang sulit dan juga bisa dibilang mudah. Dibilang sulit karena menulis itu butuh usaha, ketekunan, keuletan, latihan dan perjuangan melawan rasa malas dan rasa tidak mood yang memang sering menghantui seorang penulis bahkan kadang ejekan dan cacian dari orang sekitar. Namun, di balik semua itu, ada kemudahan yang nantinya akan hinggap selama ada usaha sungguh-sungguh untuk menjadi seorang penulis.
Contoh kecilnya seperti apa yang diungkapkan oleh Rijal Mumazzaiq Zionis dalam buku ini, bahwa, dalam menjalani dunia tulis menulis dia harus dan memulainya dengan penuh perjuangan dan “berdarah-darah”. Mulai dari belajar menulis di mading sekolah (pondok) kala itu sampai harus kecewa karena harus ditolak media—yang akhirnya terpaksa dimuat di media pribadinya (hal. 1-11).
Buku ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin (akan) dan sedang berjuang dalam dunia tulis menulis, baik fiksi atau non fiksi. Orang yang ingin generasinya menjadi penulis juga cocok untuk membaca dan mungkin menghadiahkan buku ini.
Judul : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rijal Mumazziq Zionis dkk.
Penerbit : Muara Progresif Surabaya
Tebal : xii + 224 halaman
Tahun : I, 2009
ISBN : 978-602-95087-1-0
Peresensi : Abd. Basid, penikmat buku dan pustakawan pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya
*telah dimuat di Harian
Radar
0 Response to "Mewujudkan Mimpi Menjadi Penulis*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!