Oleh: Abd. Basid
Isu seputar poligami kini digulirkan kembali. Berbagai media menyorotnya seakan tidak ada yang mau ketinggalan, baik cetak maupun elektonik. Di Indonesia, perbincangan seputar poligami ini sebetulnya bukan hal yang baru. Tahun 2007 lalu perbincangan seputar isu poligami juga menjadi buah bibir khalayak ramai. Tepatnya ketika Abdullah Gimnastiar (AA Gim) melakukan poligami waktu itu. Hanya saja kali ini isu poligami tersebut lebih atraktif karena sudah berbentuk klub. Seperti yang diberitakan media bahwa klub poligami telah hadir di beberapa daerah di Indonesia, seperti Papua, Jakarta, Tasikmalaya dan Garut (Jawa Pos, 27/10).
Pekan lalu di Bandung telah berdiri klub tersebut yang sudah beranggotakan 300 keluarga. Klub yang memperjuangkan kebebasan poligami ini kali pertama berdiri di Malaysia. Kemudian merambah ke
Di Indonesia isu klub poligami ini menuai beragam komentar. Ada yang menyambutnya dengan penuh antipati dan ada juga yang mendukungnya dengan sepenuh hati. Seperti yang diberitakan Trans 7 (27/19: 07:30) bahwa di Cirebon, Jawa Barat, ada tokoh masyarakat yang menuntut payung hukum dari pemerintah untuk pelarangan klub poligami ini. Dan sebaliknya pengasuh pondok pesantren Perut Bumi Tuban, Jawa Timur, beliua menyatakan bahwa poligami sah-sah saja, karena agama tidak melarangnya. Namun, antara yang pro dan yang kontra lebih dominan yang kontra. Bahkan majalah “Nurani” edisi 458, tema utama yang diangkat masalah klub poligami ini. Pada cover majalah tersebut tertulis; “Klub Poligami Menyakiti Istri”.
Poligami memang bukan persoalan yang tidak mudah. Islam tidak melarang kita untuk berpoligami, tetapi juga tidak menganjurkannya. Al-Qur’an memuat ayat poligami (an-Nisa’ [4]: 3) dengan koredor yang (pastinya) tidak memihak. Menurut mayoritas ulama’ perintah poligami dalam surat an-Nisa’ tersebut berindikasi lil ibahah (boleh), yang mana menurut Imam al-Fahr lebih baik untuk tidak berpoligami (Ayatul Ahkam, tafsir surat an-Nisa’ ayat 3). Berbeda dengan pendapat Ahli Dhahir, yang menyatakan bahwa perintah poligami di sana hukumnya wajib, mengingat hukum asal dari suatu perintah itu adalah wajib.
Meskipun demikian, poligami tidak sembarang boleh atau wajib. Disamping itu ada syarat yang mesti harus dipenuhi, yaitu harus berlaku adil. Pada syarat inilah yang menjadi titik kontroversial. Ada yang mengatakan syarat adil tersebut tidak bisa terpenuhi sehingga muncullah kalangan yang kontra terhadap poligami. Dan ada juga yang mengatakan syarat adil di sana yang tidak bisa dipenuhi itu adalah adil dalam cinta, yang mana hal itu tidak menjadi masalah. Adapun adil dalam pemenuhan nafkah (lahir dan batin) dan sejenisnya itu sangat mungkin terlaksana, sehingga muncullah kalangan pro poligami.
Terkait dengan pro dan kontra poligami ini, kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan pernah melakukan diskusi menaggapi tuntutan kelompok perempuan yang tidak setuju poligami—yang akhinya memunculkam tuntutan agar negara lebih bersikap tegas menyikapinya dengan melakukan perubahan undang-undang perkawawinan. Namun, tuntutan itu tidak terdengar lagi kelanjutannya.
Kalangan kontra berdalih, seperti yang diutarakan oleh Sri Kusyuniati PhD, Country Director World Population Foundation Indonesia, bahwa banyak penelitian membuktikan poligami menimbulkan kekerasan terhadap perempuan dan anak (Kompas, 23/10). Lain lagi dengan kalangan yang pro. Bagi mereka, dalih penelitian tersebut belum sepenuhnya terbukti, apalagi Rasullah saw. sendiri melakukan poligami dan beliau juga tidak melarang para sahabatnya untuk berpoligami. Buktinya ketika salah seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang menjadi muallaf dalam keadaan beristrikan 10 istri. Kemudian mengadu pada Rasulullah akan hal itu dan kenyataannya Rasullah tidak memerintahkannya untuk mentalak semua istri-istrinya, namun beliau hanya membatasi batas maksimal dengan 4 istri saja, seraya beliau saw. bersabda, “amsik arba’an wa fariq sairahunna” (Muwattha’ Imam Malik, hadits ke 2179).
Terlepas dari semua itu, bagaimana kita menyikapi munculnya (kembali) isu poligami di Indonesia ini? Perlukah bagi pemerintah untuk memayunginya di bawah undang-undang perkawinan? Hemat penulis, kita tidak usah mendramatisir keadaan. Kita tidak usah terlalu antipati terhadap poligami dan begitu juga sebaliknya, kita tidak usah menjunjung tinggi poligami ini. Karena bagaimana pun juga Indonesia bukanlah negara yang menganut paham sekuler (memisahkan agama dan negara). Lain lagi dengan Malaysia yang memang menganut faham sekuler. Salah satu contoh, seperti hukum cambuk atas Kartika di bagian pahang karena minum bir.
Akhir kata, bukan berati penulis pro poligami dan bukan pula kontra poligami. Tulisan pendek ini merupakan sebuah opini penulis yang berusaha untuk tidak mendramatisir keadaan. Kita mau mengatakan poligami dilarang, faktanya al-Qur’an tidak melarangnya. Begitu juga, kita mau mengatakan bahwa poligami itu adalah anjuran, al-Qur’an tidak demikian. Sudahlah, yang pro tidak usah mendramatisir keadaan sehinnga harus muncul klub poligami dan begitu juga sebaliknya, yang kontra, sehingga harus memunculkan tandingannya, klub monogami. Beradalah pada satu titik, hiduplah Indonesia!!!
Surabaya Pagi (14/11/2009)
0 Response to "Menyikapi Munculnya (kembali) Isu Poligami*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!