Oleh: Abd. Basid
23 April merupakan hari buku sedunia (world book day). Pada tanggal ini biasanya di adakan pameran-pameran buku, pelatihan, lomba dan sejenisnya. Semua itu diadakan tidak lain untuk memancing minat baca masyarakat, terutama kaum muda. Karena dengan membaca seseorang akan tahu isi dunia. Dalam Laskar Pelangi digambarkan bahwa Lintang, anak pesisir, yang tidak pernah nyampek ke Prancis bisa menerangkan seperti apa paris di prancis kepada Ikal. Itu semua tidak lain karena dia banyak membaca buku.
Indonesia dalam dunia ini sampai sekarang masih dikenal dengan budaya dengar daripada budaya baca dan tulis. Untuk menumbukan dunia baca dibutuhkan kesadaran antara pihak pemerintah dan masyarakat sendiri. Pemerintah misalnya, untuk membangun dunia baca, diharapkan bisa menyediakan fasilitas bazar buku murah, dengan bekerja sama dengan penerbit-penerbit yang ada. Atau dengan instansi tertentu, seperti media-media. Misalnya, bisa mengadakan bazar buku seperti yang diadakan Jawa Pos, Graha Pena, bulan Maret kemarin (22-26/3) yang diletakkan di gedung DBL (Deteksi Basket League)—yang berslogan; ingin pintar seperti Obama, hadiri bazar buku murah. Salah satu tujuan dari bazar buku murah tersebut tidak lain untuk menumbuhkan budaya baca masyarkat (baca: siswa/mahasiwa).
Meskipun demikian, masyarakat diharapakan juga sadar akan pentingnya membaca. Setidaknya membaca dijadikan kebutuhan dalam sehari-hari, layaknya sepiring/sebungkus nasi yang juga dibutuhkan setiap hari untuk mengisi kekosongan perut kita. Dengan begitu, kecintaan untuk membaca akan timbul dengan sendirinya.
Bagaimana untuk menjadikan membaca sebagai kebutuhan? Apakah kita harus sering-sering membeli buku?.
Untuk menjadikan membaca sebagai kebutuhan, kita bisa menyiasati dengan membiasakan untuk merensi buku. Dengan demikian, nafsu membaca dan membeli buku akan datang. Banyak masyarakat yang tidak pernah selesai membaca buku sampai khatam, akan tetapi dengan adanya keinginan untuk meresensi buku mereka akan berusaha mengkhatamkannaya. Karena kalau buku termaksud tidak khatam, maka peresensiannya tidak akan sempurna.
Selain dengan membiasakan meresensi buku, salah satu cara untuk menjadikan membaca sebuah kebutuhan, juga bisa dengan membisakan menulis. Apabila seseorang ingin menulis maka sedikit banyak ia akan (harus) mencari informasi atau data untuk menguatkan isi tulisannya. Nah, informasi atau data tersebut bisa didapat dengan membaca buku.
Apabila seseoarang sudah bisa memaksimalkan menulis dan meresensi buku, maka kecintaan terhadap buku akan tercintra pada dirinya. Dengan buku kita hidup, dengan buku kita akan makan, dengan buku kita juga akan besar. Maka, kiranya tidak keliru ketika ada orang yang berujar; jika anda ingin hidup bahagia, maka hiduplah dengan cinta. Salah satu cinta disini, penulis kira juga cinta terhadap buku.
Kekuatan cinta memang dahsyat. Dengan cinta kita bisa lupa akan segalanya, lupa daratan. Dari saking dahsyatnya sebuah cinta Rabi’ah al-Adawiyah sampai berujar bahwa sufisme itu adalah cinta.
Begitu juga dengan buku. Orang yang sudah ketagihan dalam melahapnya, maka ia bisa beujar bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan yang apabila dilewatkan akan menyebabkan kita merasa perlu untuk mengqada’nya di lain waktu, seperti halnya shalat yang perlu di qada’ (ganti) jika terlewatkan.
0 Response to "Membaca Untuk Cinta"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!