Oleh: Abd. Basid
Ingar bingar pemilu sudah usai. Para masyarakat, terutama para caleg, tinggal menunggu keputusan akhir, siapa yang akan beruntung dalam pemilu kali ini. Meskipun demikian, dalam pemilihan kali ini tidak jauh beda dari pemilihan-pemilihan sebelumnya. Pada pemilihan gubernur kemarin banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya, alias golput. Begitu juga pada pemilu kali ini, jumlah golongan putih (golput) tetap mendominasi. Bahkan ada yang sempat berujar bahwa pemilu kali ini dimenangkan oleh partai golput.
Seperti apa yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay bahwa; ada yang berpendapat, angka partisipasi masyarakat pada pemilu kali ini lebih rendah dibanding pemilu sebelumnya, yakni sekitar 50-60 persen. Angka itu tentu jauh lebih rendah dari sebelumnya. Pada Pemilu 2004 partisipasi masyarakat mencapai 84 persen, di pilpres putaran pertama sekitar 76 persen dan putaran kedua sekitar 74 persen (Duta Masyarakat, 12/4).
Ada apa dibalik semua itu? Apa yang salah dari sistem demokrasi yang sedang dianut indonesia ini. Bagi penulis, sebetulnya tidak ada yang salah dari sistem demokrasi yang sedang kita anut. Akan tetapi, semua itu tidak ubahnya karena dilatar belakangi banyak hal yang timbul dari pengguna/penyelenggara faham demokrasi itu sendiri. Melambungnya angka golput tidak lain karena ulah para pemimpin yang ada, meskipun tidak semuanaya. Masyarakat merasa dibohongi dengan janji-janji palsu mereka. Karena itu, mereka trauma dengan janji-janji manis yang mereka utarakan sebelumnya.
Selain dari satu hal di atas, masih ada penyebab lain, pertama, dikarenakan rumitnya cara pemilihan yang berubah-ubah. Sebelum pemilu 2009 masyarakat memilih dengan cara mencoblos, akan tetapi pada pemilu kali ini berubah menjadi mencontreng. Bagi kaum berpendidikan hal semacam itu tidak terlalu bermasalah, tapi bagi kaum awam hal itu sangat rumit, ditambah lagi banyaknya para caleg yang akan dipilih. Pasca hari H kemarin, banyak surat kabar yang membertitakan bahwa banyak masyarakat kebingungan untuk menjatuhkan pilihannya karena dari saking banyaknya caleg dan rumitnya cara mencontreng. Bahkan ada yang sampai hampir 10 menit dibilik suara. Ya, tidak lain dikarenakan kebingungan.
Kedua, tidak meratanya pendataan daftar pemilih tetap (DPT). Banyak masyarakat yang tidak bisa mencontreng dikarenakan tidak mendapatkan undangan. Seperti yang dialami salah satu wartawan Jawa Pos—yang sempat dicurhatkan olehnya di harian tersebut, pada rubrik opini (8/4) kemarin—sekeluarga dan tiga tetangganya, asal Sidoarjo, yang tidak mendapat undangan. Padahal pada pemilihan gubernur kemarin mereka termasuk daftar pemilih tetap (DPT). Prabowo Subianto, Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), memperkirakan sebanyak 115 juta pemilih terpaksa tidak bisa memberikan hak suaranya akibat ketidakberesan pendaftaran pemilih, akibat banyak pemilih yang tidak terdaftar (Duta Masyarakat, 12/4).
Ketiga, seringnya ada pemilhan. Meskipun point yang ketiga ini tidak begitu ngefek, akan tetapi tidak bisa dielakkan bahwa masyarakat juga sering dihadapkan pada pemilihan pemimpin (wakil rakyat). Mulai dari pilkada, calon legislatif, dan pemilihan presiden Juli mendatang. Tidak menutup kemungkin masyarkat merasa jenuh karena seringnya ada pemilihan pemimpin yang tidak ada bukti bagi masyarakat. Merka cuma bisa bertutur manis didepan masyarakat, tapi kenyataannya dibelakang mereka berkhianat dengan mengambil uang masyarakat dengan korupsi dan sejenisnya.
Namun yang paling urgen dari penyebab-penyebab tersebut di atas adalah masyarakat sudah tidak gampang percaya pada janji-janji caleg. Karena selama ini tidak jarang ditemukan wakil rakyat yang cuma bisa bersuara ketika mereka berkampanye. Waktu kampanye mereka sok dekat, sok peduli, dan sok-sok yang lainnya. Akan tetapi ketika mereka duduk dikursi kepemimpinannya, mereka cuma bisa diam, tidur, jalan-jalan keluar negeri, dan mengambil uang rakyat.
Kembali pada perbincangan golput. Masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya bukan berarti mereka tidak sadar akan politik. Akan teapi melambungnya angka golput kali ini lebih disebabkan karena mereka tidak percaya akan kapabilitas pemimpin sekarang ini, bukan karena mereka tidak sadar. Tidak jarang ditemukan pemimipin yang “berkacamata hitam” setelah mereka menjabat. Janji-janji yang mereka janjikan sebelumya tidak terbukti. Mereka tidak peduli lagi akan rakyat. Mereka lebih memilih kepentingan pribadi dari pada peduli sama sekitar. Jargon-jargon yang mereka pajang di sepanjang jalan umum cuma sekedar umpan saja untuk memancing simpati masyarakat.
Maka, tidak perlu diherankan ketika pemilu kali ini jumlah persentasi partai-partai papan atas turun drastis ketimbang pemilu sebelumnya, 2004. semua itu tidak lain, diantaranya karena disebabkan masyarakat meragukan akan keberadaannya.
Untuk itu, para wakil rakyat yang terpilih nanti diharapkan bisa mengobati anggapan-anggapan masyarakt selama ini, dengan cara tidak melakukan hal yang serupa dengan pendahulunlya. Setidaknya mereka bisa memperbaiki citra pemimpin yang sempat rapuh dan melestarikan apa yang perlu diteruskan. “Kacamata hitam” yang sempat dipakai pemimpin sebelumnya tidak jadi acuan untuk selanjunya. Kalau dalam istilah kaidah fiqhnya, mereka hendaknya, “al-muhafadzatu ‘ala al-qadimi as-sholeh wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah”. Dengan demikian kepercayaan masyarakat akan tumbuh kembali.
*telah dimuat di harian Duta Masyarakat
pada rubrik Opini (15/4/9)
0 Response to "Pemimpin “Berkacamata Hitam” (2)*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!