Lahirnya sebuah buku tidak lepas dari reaksi intelektual penulisnya. Menjadi menarik perhatian ketika buku itu lahir setelah mereka rela mengorbankan segalanya -termasuk fisiknya- demi ideologi intelektualnya yang kemudian dituangkannya lewat karya sebuah buku. Kembali pada sejarah, tidak jarang dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh terdahulu rela di penjara demi mempertahankan sebuah ideologi.
Sebut saja, seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) yang lebih memilih masuk penjara hingga tujuh kali demi mempertahankan ideologinya. Bisa kita lihat dalam sejarah, bagaimana Ibnu Taimiyah lebih memilih penjara ketika harus memilih antara tiga (diasingkan ke Iskandariyah, kembali ke Damaskus, dan di penjara) sebagai hukuman dari penguasa karena ia sering mengkritik perilaku sufi dan berseberangan dengan penguasa Kairo waktu itu.
Ibnu Taimiyah lebih memilih di penjara ketimbang harus keluar dari Kairo, karena dengan di penjara ia tetap bisa berkarya dan menuntut kezaliman penguasa Kairo. Berbeda ketika harus keluar dari Kairo, di mana ia tidak bisa lagi mengetahui keadaan Kairo sehingga tidak bisa menyuarakan kebenaran dan keadilan, di mana hal itu merupakan ‘’pembunuhan’’ intelektual.
Ratusan karya yang Ibnu Taimiyah tulis sebagian lahir dari penjara. Karya terkenalnya Majmu -Fatawa, yang masih beredar hingga kini- adalah salah satunya yang (sebagian besar) ditulis di dalam penjara.
Sama dengan Ibnu Taimiyah, Sayyid Quthub (w. 1966) dua kali di penjarakan oleh rezim Gamal Abdel Nasser karena dianggap berseberangan dengan penguasa. Kitabnya fi Dzilalil Quran yang sebagian besar ditulis di penjara nyaris tidak bisa rampung karena selain harus di kerangkeng ia harus menerima siksaan fisik. Namun, berkat jasa penerbit Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah akhirnya Tafsir fi Dzilalil Qur’an bisa selesai, meski akhirnya Sayyid Quthub harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan.
Juga Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, di mana buku Otobiografinya, Long Walk to Freedom, ditulis dan bermula dari dalam penjara dan kemudian dilanjutkan beberapa bulan setelah bebas dan langsung jadi best seller di seluruh dunia (Jawa Pos, 7 Desember 2013).
Di Vietnam ada Nguyen Sinh Cung, di mana ia terus menulis, meski harus meringkuk di penjara. Beberapa kali ia harus masuk penjara karena perjuangannya memerdekakan Vietnam dari penjajahan Prancis dan pendudukan Jepang sejak 1931. Namun, dia merasa punya banyak kesempatan untuk terus menyerang. Lewat karya puisi ia menyentil sekutunya, hingga di kemudian hari ia memimpin Vietnam Utara sebagai perdana menteri dan presiden. Di Jerman pada 1925 Adolf Hitler menerbitkan bukunya yang berjudul Mein Kamp, di mana buku ini lahir di penjara Landsberg Prison, Jerman.
Dalam kontek Indonesia, bisa dilihat pada sosok dua proklamator bangsa ini; Bung Karno dan Bung Hatta. Pada 1929, ketika Bung Karno dijebloskan ke penjara Bandung sekitar 8 bulan, ia ternyata menyusun pledoi yang sangat terkenal dan kemudian diberi nama ‘’Indonesia Menggugat’’, di mana buku ini akhirnya mampu membakar spirit bangsa Indonesia untuk segera bebas dari penjajahan.
Bung Hatta, saat ditahan penguasa Belanda pada 1927, ia membela dirinya dengan sebuah karya yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka) yang disidangkan pada 22/03/1928 di pengadilan Den Haag.
Setelah Indonesia merdeka Mochtar Lubis menjadi sejarah baru. Di saat Soekarno berkuasa, dia yang turut mendirikan kantor Berita ANTARA dan memimpin harian Indonesia Raya dijebloskan ke penjara hampir sembilan tahun dan baru dibebaskan pada 1966. Pemikiran jurnalis yang juga salah satu pendiri majalah sastra Horison ini, selama di penjara kemudian dituangkan dalam buku Catatan Subversif.
Pada masa itu juga, pada tahun 60-an, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) ditahan rezim Orde Lama karena dituduh berkhianat terhadap Tanah Air. Sekitar dua tahun di penjara HAMKA berhasil menyelesaikan karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar.
Fenomena ulama dan tokoh di atas cukup menjadi bukti akan kekuatan buku dalam mempertahankan sebuah ideologi dan pemikiran.
Disadari atau tidak, buku mampu mengabadikan ideologi dan pemikiaran seseorang. Bahkan penjara pun tidak bisa ‘’membunuhnya’’. Seperti yang disinggung lewat femomena para ulama dan tokoh di atas, buku dan tahanan bisa bersandingan dan lahir buku-buku baru. Ketika seperti itu, buku tidak sekedar tumpukan kertas sebagai penghilang suntuk dan bahkan ada yang menjadikannya bantal. Tapi buku bagi mereka sebagai pilihan untuk terus memerluas cakrawala pengetahuan sekalipun raganya di balik jeruji besi.
Lebih dari itu, sesungguhnya mereka menuangkan ideologi dan pikiran-pikiran meski di penjara untuk menjelajahi dan membuktikan eksistensinya, juga eksistensi orang lain di sekitarnya. Seakan hendak membuktikan bahwa semangat kemanusiaan sama sekali tidak bisa diremukkan, sekalipun dalam kondisi terburuk.
Berbeda dengan fenomena di Indonesia masa kini, di mana belum ada ceritanya tahanan yang melahirkan karya buku. Berapa waktu lalu diberitakan ada seorang Doktor Ilmu Politik dan juga mantan menteri yang ditahan karena tersandung kasus Hambalang membawa buku ke dalam tahanan. Namun akankah itu untuk menyusun pledoi seperti Bung Karno dan Bung Hatta atau hanya sebagai pengusir suntuk atau mungkin hanya sebagai bantal an sich. Kita lihat saja nanti.***
*dimuat di Riau Pos (2 Februari 2014)
0 Response to "Buku-buku yang Lahir di Penjara"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!