Peringatan Maulid Nabi sudah kita peringati kemarin (14/1/14) secara serentak dan bersama-sama. Di berbagai penjuru ia dirayakan dengan berbagai bentuk, orang-orang berkumpul membaca Alquran, salawat untuk Rasulullah, hadis yang mengisahkan tentang peristiwa kelahiran dan kebesaran pribadi Nabi, puji-pujian terhadap sifat-sifatnya, dan diakhiri dengan jamuan makan bersama. Di samping mengingat dan memuji-muji Rasulullah ada nilai silaturrahmi dalam hal ini, yaitu dengan berkumpulnya orang-orang untuk melakukan ritual maulid Nabi.
Dalam perkumpulan Rasulullah tidak pernah membeda-bedakan antara satu sama lainnya, baik itu satu faham atau tidak. Rasulullah sangat menjunjung tinggi sebuah perbedaan. Berbeda dengan dewasa ini, di mana kita seakan belum dan bahkan tidak mengenal pribadi Rasulullah yang sebenarnya. Padahal Rasulullah merupakan pribadi yang penuh dengan teladan.
Sebagai contoh nyata, banyak umat Islam kurang pengamalan dari kandungan Alquran. Padahal kehadiran Rasulullah di muka bumi ini diibaratkan sebagai nur (cahaya) yang menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan spiritual yang benar untuk menggapai ridha Allah.
Untuk itu, mengenal pribadi Rasulullah dalam hal apa pun—spesifiknya dalam hal perbedaan—perlu “diintimi”. Jarak waktu antara generasi sekarang dan generasi Rasulullah bukanlah halangan untuk mengenal pribadi beliau. Sebab, segala ucapan dan tindakannya dikenang dan diamati oleh orang-orang yang hidup pada masanya dan disampaikan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, berkaintan dengan kehidupan berbangsa yang penuh dengan perbedaan, Nabi Muhammad mengajarkan modal kehidupan berbangsa yang paling berharga bagi manusia, yakni mengenal dan menghargai perbedaan. Hal ini tersurat dalam Alquran; “untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS. 109: 6).
Nabi Muhammad telah melakukan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk mengangkat harkat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan. Untuk itu, sangatlah tidak dibenarkan ketika umat Muhammad suka main hakim sendiri.
Jati Diri Rasulullah
Sejarah menunjukkan, dalam waktu hanya sekitar dua belas tahun, Rasulullah berhasil mengubah kehidupan sosial masyarakat Arab yang primordial-sektarianistik menjadi masyarakat yang berlandaskan persaudaraan universal dan bermoral perennial. Dari masyarakat yang amat membanggakan garis keturunan (hierarkis) menjadi masyarakat yang egalitarian.
Kenyataan sejarah menunjukkan keberhasilan Nabi itu sejatinya tidak dapat dilepaskan dari keimanan Rasulullah yang bersifat implementatif. Agama diyakini olehnya sebagai sumber nilai etik yang harus diterjemahkan ke dalam realitas. Kesaksiannya tentang Tauhid (monoteisme) mengantarkannya kepada penyikapan terhadap seluruh umat manusia sebagai mahluk Tuhan yang esensinya setara yang harus diperlakukan berdasar nilai-nilai kesetaraan itu.
Dengan pola semacam itu pula Rasulullah menyikapi dan melaksanakan ibadah ritualistik yang bersifat sangat personal. Beliau melakukannya sebagai proses dialog intensif dengan Sang Khalik untuk muhasabah dan memperkaya spiritualitas, yang pada gilirannya dikejawantahkan ke ruang publik dalam bentuk pengembangan moralitas sosial yang luhur.
Semangat Persatuan
Kembali pada perayaan Maulid Nabi, bahwa dalam catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi berlangsung sejak kekhalifahan Fatimid (keturunan dari Fatimah al-Zahrah, putri Nabi Muhammad). Adalah Shallahuddin Al-Ayyubi (1137 M- 1193 M), panglima perang waktu itu, mengusulkan kepada khalifah agar dilangsungkan peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Dalam realitas kehidupan dewasa ini, ada kelompok masyarakat menyebut peringatan Maulid Nabi adalah ritual yang mesti dijalankan. Perayaannya tidak sama sekali bertentangan dengan Islam, bahkan perayaan itu banyak mengandung manfaat, faidah, dan khasiat. Lebih jauh lagi, bagi mereka Maulid Nabi merupakan salah satu bentuk penghormatan dan ungkapan rasa cinta umatnya kepada Nabi Muhammad.
Di sisi lain, ada kelompok menganggap peringatan itu sebagai perbuatan mengada-ada atau bid’ah, karena tidak pernah dipraktikkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in.
Kedua kelompok ini terus saja “melepaskan” energi, berdebat mengenai perlu tidaknya dilaksanakan Maulid Nabi. Seolah membicarkan pepesan kosong. Namun yang jelas, bahwa penting bagi umat Islam melakukan perenungan, apa yang dapat diteladani dari Nabinya dalam kehidupan sehari-hari. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab : 21).
Terlepas dari dua perbedaan di atas, sungguh akan menjadi sangat indah jika momentum Maulid Nabi Muhammmad ini, tidak hanya dijadikan sebagai rutinitas dan seremonial belaka. Lebih dari itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad justru kita dijadikan sebagai media untuk introspeksi diri, sejauh mana kita menjalankan ajaran-ajaran yang diwahyukan kepadanya serta mengenal dan berhikmah terhadap sejarah perjuangan dan kepribadiannya yang penuh dengan suri tauladan.
Hidup dalam toleransi dan menghargai satu sama lain sangatlah penting karena mengenal pribadi Nabi Muhammad secara utuh adalah pintu masuk utama untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam secara utuh pula.
*telah dimuat di Harian Duta Masyarakat ()
0 Response to "Keteladanan Rasulullah dalam Keberagaman"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!