BUKU Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis ini merupakan hasil penelitian Sutiyono terhadap budaya Islam di Senjakarta, Klaten, Jawa Tengah. Meski buku ini bertitik pada daerah tertentu (baca: lokal), yaitu Senjakarta, akan tetapi gagasan terbitnya buku ini didasarkan pada isu nasional yang penulis sajikan dari berbagai pustaka dan wawancara selama penelitian.
Senjakarta, Klaten, merupakan wilayah pedalaman Jawa Tengah yang kental dengan budaya sinkretisme. Daerah ini merupakan daerah agraris yang terletak di antara dua pusat kebudayaan jawa, yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, Senjakarta yang merupakan daerah agraris yang subur tentu saja terdapat aneka budaya lokal yang kental, menumbuhsuburkan tradisi sinkretisme, beserta praktek takhayul, bidah, dan khurafat (TBK).
Karena itu, tidak asing lagi jika di daerah ini ditemukan semacam ritual selametan bersih desa dan ngalap berkah yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Tradisi sinkretis ini sangatlah kuat di kalangan masyarakat Senjakarta kala itu. Mengapa tidak, karena tradisi ini sudah hidup bertahun-tahun di daerah Klaten ini. Budaya masyarakat Islam seperti itulah yang dinamakan dan dikenal dengan sebutan Islam sinkretis.
Selanjutnya, pada 1930-an datanglah gerakan puritanisme Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah, yang berusaha mengajak kembali pada Alquran dan sunah Nabi dan meninggalkan praktek TBK. Sedangkan sistem yang dibawa Muhammadiyah ini bersifat ekspansif dengan memenetingkan pada 4 hal; 1) kembali pada Alquran dan sunah, 2) pemurnian Islam, 3) penalaran rasional, dan 4) penolakan terhadap TBK (hal. 33).
Kedatangan gerakan puritanisme ini tidaklah serta-merta langsung diterima masyarakat Senjakarta yang sudah menganut tradisi sinkretis, apalagi para pembaru di Senjakarta ini terbilang keras alias radikal, yang mereka tunjukkan dengan tidak bersedianya ketika diundang untuk menghadiri selametan—dan bahkan mereka melakukan penghancuran tempat-tempat keramat—, karena bagi mereka hal semacam itu merupakan suatu hal yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni alias bertentangan dengan ajaran Alquran dan sunah.
Menurut Clifford Geertz, pola radikal inilah yang yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat petani perdesaan sinkretis untuk menerima misi pembaruan kaum puritan. Namun, tesis Geertz ini dibantah oleh penulis buku ini bahwa hal itu tidaklah benar, karena pada kenyataannya penulis menemukan penelitiannya di Senjakarta ini bertolak belakang dengan apa yang diasumsikan Geertz di atas. Hasil penelitian penulis menyimpulkan hampir seluruh wilayah perdesaan di Senjakarta terdapat orang Muhammadiyah, kecuali satu desa bekas basis PKI.
Meski gerakan puritanisme yang masuk Senjakarta tergolong radikal, tapi kenyataannya bisa diterima di masyarakat petani. Di lapangan ditemukan masyarakat Senjakarta petani yang mengikuti gerakan puritanisme terdapat 11 ribu orang (hal. 30) dan sudah berdiri 24 PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) di seluruh desa di wilayah kecamatan Senjakarta.
Muhammadiyah di Senjakarta ini memang berbeda dengan gerakan Muhammadiyah di daerah lainnya, seperti di Kauman-Yogyakarta, Bima, Pandangpanjang (Peacock, 1978), Kota Gede (Nakamura, 1983), Bali (Ardana, 1985), Yogyakarta (Beck, 1995), Jember (Mulkhan, 2000), Banyuangi (Beatty, 2001), Pasuruan (Hefner, 2001) dan Lamongan (Chamin, 2003). Jika di daerah-daerah lain, gerakan Muhammadiyah terlihat moderat, tapi di Senjakarta malah sebaliknya, yang sering terlibat dalam konflik serius dengan kelompok sinkretis.
Bagaimanakah proses metamorfosis budaya Islam di Senjakarta? Metamorfosis budaya Islam Senjakarta tidaklah langsung menghasilkan buah manis. Kuatnya tembok budaya sinkretis masyakarat Senjakarta sering menyulitkan gerakan puritan untuk menembus masyarakat perdesaan. Namun, dalam rangka menjebol tembok tersebut, Muhammadiyah menempuh tindakan radikal yang akibatnya terjadi benturan budaya. Benturan budaya inilah yang petani abangan-sinkretis menghadapi dua pilihan yang saling bertentangan, yaitu memilih tetap menjadi masyarakat sinkretis dan berganti haluan menjadi masyarakat puritan.
Akibatnya, kini warga Muhamadiyah di Senjakarta mencapai 11 ribu orang dan hampir separuh di antaranya bercorak radikal. Untuk itu, Muhammadiyah di Senjakarta kini terbagi dalam dua corak: kaum puritan yang bertekad untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni dengan cara yang keras (radikal) dan kelompok puritan lunak (moderat).
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial masyarakat petani, dari sinkretis menjadi puritan, dan setelah menjadi puritan itu mereka terbagi menjadi dua corak; radikal dan moderat.
Akhir kata, buku ini sangatlah kaya dengan data sehingga tidaklah usah diragukan lagi akan kevalidan sumber data yang ditampilkan penulis buku ini. Selain itu, buku ini juga sangat cocok untuk dibaca bagi mereka para praktisi sosial-budaya untuk bisa lebih memperkaya sejarah kebudayaan—khususnya kebudayaan Islam Jawa.
Senjakarta, Klaten, merupakan wilayah pedalaman Jawa Tengah yang kental dengan budaya sinkretisme. Daerah ini merupakan daerah agraris yang terletak di antara dua pusat kebudayaan jawa, yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, Senjakarta yang merupakan daerah agraris yang subur tentu saja terdapat aneka budaya lokal yang kental, menumbuhsuburkan tradisi sinkretisme, beserta praktek takhayul, bidah, dan khurafat (TBK).
Karena itu, tidak asing lagi jika di daerah ini ditemukan semacam ritual selametan bersih desa dan ngalap berkah yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Tradisi sinkretis ini sangatlah kuat di kalangan masyarakat Senjakarta kala itu. Mengapa tidak, karena tradisi ini sudah hidup bertahun-tahun di daerah Klaten ini. Budaya masyarakat Islam seperti itulah yang dinamakan dan dikenal dengan sebutan Islam sinkretis.
Selanjutnya, pada 1930-an datanglah gerakan puritanisme Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah, yang berusaha mengajak kembali pada Alquran dan sunah Nabi dan meninggalkan praktek TBK. Sedangkan sistem yang dibawa Muhammadiyah ini bersifat ekspansif dengan memenetingkan pada 4 hal; 1) kembali pada Alquran dan sunah, 2) pemurnian Islam, 3) penalaran rasional, dan 4) penolakan terhadap TBK (hal. 33).
Kedatangan gerakan puritanisme ini tidaklah serta-merta langsung diterima masyarakat Senjakarta yang sudah menganut tradisi sinkretis, apalagi para pembaru di Senjakarta ini terbilang keras alias radikal, yang mereka tunjukkan dengan tidak bersedianya ketika diundang untuk menghadiri selametan—dan bahkan mereka melakukan penghancuran tempat-tempat keramat—, karena bagi mereka hal semacam itu merupakan suatu hal yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni alias bertentangan dengan ajaran Alquran dan sunah.
Menurut Clifford Geertz, pola radikal inilah yang yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat petani perdesaan sinkretis untuk menerima misi pembaruan kaum puritan. Namun, tesis Geertz ini dibantah oleh penulis buku ini bahwa hal itu tidaklah benar, karena pada kenyataannya penulis menemukan penelitiannya di Senjakarta ini bertolak belakang dengan apa yang diasumsikan Geertz di atas. Hasil penelitian penulis menyimpulkan hampir seluruh wilayah perdesaan di Senjakarta terdapat orang Muhammadiyah, kecuali satu desa bekas basis PKI.
Meski gerakan puritanisme yang masuk Senjakarta tergolong radikal, tapi kenyataannya bisa diterima di masyarakat petani. Di lapangan ditemukan masyarakat Senjakarta petani yang mengikuti gerakan puritanisme terdapat 11 ribu orang (hal. 30) dan sudah berdiri 24 PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) di seluruh desa di wilayah kecamatan Senjakarta.
Muhammadiyah di Senjakarta ini memang berbeda dengan gerakan Muhammadiyah di daerah lainnya, seperti di Kauman-Yogyakarta, Bima, Pandangpanjang (Peacock, 1978), Kota Gede (Nakamura, 1983), Bali (Ardana, 1985), Yogyakarta (Beck, 1995), Jember (Mulkhan, 2000), Banyuangi (Beatty, 2001), Pasuruan (Hefner, 2001) dan Lamongan (Chamin, 2003). Jika di daerah-daerah lain, gerakan Muhammadiyah terlihat moderat, tapi di Senjakarta malah sebaliknya, yang sering terlibat dalam konflik serius dengan kelompok sinkretis.
Bagaimanakah proses metamorfosis budaya Islam di Senjakarta? Metamorfosis budaya Islam Senjakarta tidaklah langsung menghasilkan buah manis. Kuatnya tembok budaya sinkretis masyakarat Senjakarta sering menyulitkan gerakan puritan untuk menembus masyarakat perdesaan. Namun, dalam rangka menjebol tembok tersebut, Muhammadiyah menempuh tindakan radikal yang akibatnya terjadi benturan budaya. Benturan budaya inilah yang petani abangan-sinkretis menghadapi dua pilihan yang saling bertentangan, yaitu memilih tetap menjadi masyarakat sinkretis dan berganti haluan menjadi masyarakat puritan.
Akibatnya, kini warga Muhamadiyah di Senjakarta mencapai 11 ribu orang dan hampir separuh di antaranya bercorak radikal. Untuk itu, Muhammadiyah di Senjakarta kini terbagi dalam dua corak: kaum puritan yang bertekad untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni dengan cara yang keras (radikal) dan kelompok puritan lunak (moderat).
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial masyarakat petani, dari sinkretis menjadi puritan, dan setelah menjadi puritan itu mereka terbagi menjadi dua corak; radikal dan moderat.
Akhir kata, buku ini sangatlah kaya dengan data sehingga tidaklah usah diragukan lagi akan kevalidan sumber data yang ditampilkan penulis buku ini. Selain itu, buku ini juga sangat cocok untuk dibaca bagi mereka para praktisi sosial-budaya untuk bisa lebih memperkaya sejarah kebudayaan—khususnya kebudayaan Islam Jawa.
Data Buku
Judul : Benturan Budaya: Puritan dan Sinkretis
Penulis : Sutiyono
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : vi + 362 halaman
ISBN : 978-979-709-534-5
Harga : Rp. 58.000,-
0 Response to "Metamorfosis Budaya Islam Senjakarta*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!