Buku dengan judul “Oyako No Hanashi” ini menceritakan kisah seorang ibu rumah tangga asal Indonesia yang sempat tinggal di Jepang selama tiga tahun. Cerita di dalamnya mengisahkan kisah inspiratif yang bisa menjadi bahan bacaan di kala santai, karena buku ini bukanlah buku yang harus mengernyitkan dahi pembacanya.
Judul buku ini, “Oyako” berasal dari kanji orangtua (oya) dan anak (kodomo). Adapun “Hanashi” adalah pembicaraan, cerita, atau percakapan. Cover buku ini pun Jepang banget, sehingga meneror pembaca untuk menyentuhnya.
Tulisan dalam buku ini sangat menarik, bahasanya ringan, mudah dipahami, serta banyak humor yang menggelitik. Walau demikian, isi buku terbitan Leutika ini tetap berbobot. Banyak pelajaran berharga yang bisa diambil, seperti kesabaran mama dan abah menghadapi Syafiq. Cara-cara bijak mereka menjawab pertanyaan Syafiq yang kadang membuat para orang tua bingung.
Buku ini sangat cocok bagi para orang tua khususnya para ibu yang kerepotan mencari bagaimana cara mendidik anak. Banyak pesan moral yang disampaikan dalam buku ini seperti pentingnya rasa sabar, mengalah demi kepentingan bersama dan lain sebagainya. Dengan cara penulisannya yang sederhana kita seolah terlibat langsung dalam setiap potong kisah buku ini. Adakalanya kita akan tertawa membacanya, terdiam, atau pun tersenyum-senyum sendiri. Namun, di setiap akhir kisahnya kita akan sepakat untuk menyimpulkan, bahwa buku ini benar-benar inspiratif.
Tidak cuma itu, ada banyak kisah selama di Jepang yang di kisahkan penulis, yang tidak ditemukan di Indonesia—yang pastinya bisa dan harus dicontoh negara Indonseia ini. Seperti halnya masalah kemacetan lalu lintas yang di Indonesia ini tidak kunjung teratasi. Berbagai macam solusi digagaskan oleh pemerintah Indonesia, tapi hasilnya nihil. Di Jakarta misalnya dengan menyedian jalan khusus basway dan di Surabaya dengan menyediakan frontage, tapi semua itu belum menjadi sosuli jitu. Sudah banyak pengeluaran yang dibelanjakan tapi kemacetan tetap saja terjadi.
Dalam hal ini mungkin kita harus iri sama Jepang, yang tidak pernah ada kemacetan menyapanya. Seperti yang diceritan penulis bahwa di Jepang alat transportasi utamanya memakai sepeda ontel. Motor tidak lazim digunakan di sana. Mungkin hanya beberapa orang saja yang memakai motor. Itupun hanya motor matic kecil yang cc-nya cuma 50 dan tidak diidzinkan untuk berboncengan (hal. 20).
Selain itu, pelayanan rumah sakit dan pemerintah bagi ibu-ibu yang melahirkan di Jepang jauh lebih terjamin di banding di Indonesia. Di Indonesia mungkin cuma orang yang mampu untuk bisa melahirkan di rumah sakit. Tidak jarang ada ibu-ibu yang harus melahirkan di pelosok kampung, di pojok rumah lusuh, karena harus memikir biaya perawatan nanti.
Berbeda dengan di Jepang. Melahirkan di Jepang sangat dimanja. Tidak hanya dokter dan perawat yang super duper ramah, tapi juga fasilitas modern dengan fasilitas teknologi mutakhir. Selain itu, ibu-ibu melahirkan di sana juga mendapatkan bonus, yang berupa sejumlah uang, di mana bila uang itu dikurangi dengan biaya perawatan selama di rumah sakit, masih menyisakan sejumlah yen dengan jumlah yang katanya lumayan. Tidak cuma itu, selama satu tahun juga ada uang tunjangan anak, sampai anak usia SD (hal.55).
Dua hal di atas tidaklah ditemukan di Indonesia. Di Indonesia mungkin yang banyak ditemukan adalah banyaknya para perampok uang rakyat dan lunaknya penegakan hukum yang membela kaum penyogok/penyuap.
Masih banyak lagi beberapa pelajaran yang diceritakan penulis dalam buku ini selama ia di Jepang. Untuk itu, meski secara khusus buku ini merupakan buku catatan seorang ibu rumah tangga dengan anaknya, tapi di balik semua itu ada pesan tersirat, yang mungkin penulis sendiri tidak menyadari, tapi pembaca bisa merasakannya—jika dikaitkan dengan keadaan negara kita sekarang ini.
Data Buku
Judul : Oyako No Hanashi
Penulis : Aan Wulandari
Penerbit : Leutika, Yogyakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : x + 168 halaman
ISBN : 978-602-8597-49-4
Harga : Rp. 36.000
Judul buku ini, “Oyako” berasal dari kanji orangtua (oya) dan anak (kodomo). Adapun “Hanashi” adalah pembicaraan, cerita, atau percakapan. Cover buku ini pun Jepang banget, sehingga meneror pembaca untuk menyentuhnya.
Tulisan dalam buku ini sangat menarik, bahasanya ringan, mudah dipahami, serta banyak humor yang menggelitik. Walau demikian, isi buku terbitan Leutika ini tetap berbobot. Banyak pelajaran berharga yang bisa diambil, seperti kesabaran mama dan abah menghadapi Syafiq. Cara-cara bijak mereka menjawab pertanyaan Syafiq yang kadang membuat para orang tua bingung.
Buku ini sangat cocok bagi para orang tua khususnya para ibu yang kerepotan mencari bagaimana cara mendidik anak. Banyak pesan moral yang disampaikan dalam buku ini seperti pentingnya rasa sabar, mengalah demi kepentingan bersama dan lain sebagainya. Dengan cara penulisannya yang sederhana kita seolah terlibat langsung dalam setiap potong kisah buku ini. Adakalanya kita akan tertawa membacanya, terdiam, atau pun tersenyum-senyum sendiri. Namun, di setiap akhir kisahnya kita akan sepakat untuk menyimpulkan, bahwa buku ini benar-benar inspiratif.
Tidak cuma itu, ada banyak kisah selama di Jepang yang di kisahkan penulis, yang tidak ditemukan di Indonesia—yang pastinya bisa dan harus dicontoh negara Indonseia ini. Seperti halnya masalah kemacetan lalu lintas yang di Indonesia ini tidak kunjung teratasi. Berbagai macam solusi digagaskan oleh pemerintah Indonesia, tapi hasilnya nihil. Di Jakarta misalnya dengan menyedian jalan khusus basway dan di Surabaya dengan menyediakan frontage, tapi semua itu belum menjadi sosuli jitu. Sudah banyak pengeluaran yang dibelanjakan tapi kemacetan tetap saja terjadi.
Dalam hal ini mungkin kita harus iri sama Jepang, yang tidak pernah ada kemacetan menyapanya. Seperti yang diceritan penulis bahwa di Jepang alat transportasi utamanya memakai sepeda ontel. Motor tidak lazim digunakan di sana. Mungkin hanya beberapa orang saja yang memakai motor. Itupun hanya motor matic kecil yang cc-nya cuma 50 dan tidak diidzinkan untuk berboncengan (hal. 20).
Selain itu, pelayanan rumah sakit dan pemerintah bagi ibu-ibu yang melahirkan di Jepang jauh lebih terjamin di banding di Indonesia. Di Indonesia mungkin cuma orang yang mampu untuk bisa melahirkan di rumah sakit. Tidak jarang ada ibu-ibu yang harus melahirkan di pelosok kampung, di pojok rumah lusuh, karena harus memikir biaya perawatan nanti.
Berbeda dengan di Jepang. Melahirkan di Jepang sangat dimanja. Tidak hanya dokter dan perawat yang super duper ramah, tapi juga fasilitas modern dengan fasilitas teknologi mutakhir. Selain itu, ibu-ibu melahirkan di sana juga mendapatkan bonus, yang berupa sejumlah uang, di mana bila uang itu dikurangi dengan biaya perawatan selama di rumah sakit, masih menyisakan sejumlah yen dengan jumlah yang katanya lumayan. Tidak cuma itu, selama satu tahun juga ada uang tunjangan anak, sampai anak usia SD (hal.55).
Dua hal di atas tidaklah ditemukan di Indonesia. Di Indonesia mungkin yang banyak ditemukan adalah banyaknya para perampok uang rakyat dan lunaknya penegakan hukum yang membela kaum penyogok/penyuap.
Masih banyak lagi beberapa pelajaran yang diceritakan penulis dalam buku ini selama ia di Jepang. Untuk itu, meski secara khusus buku ini merupakan buku catatan seorang ibu rumah tangga dengan anaknya, tapi di balik semua itu ada pesan tersirat, yang mungkin penulis sendiri tidak menyadari, tapi pembaca bisa merasakannya—jika dikaitkan dengan keadaan negara kita sekarang ini.
Data Buku
Judul : Oyako No Hanashi
Penulis : Aan Wulandari
Penerbit : Leutika, Yogyakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : x + 168 halaman
ISBN : 978-602-8597-49-4
Harga : Rp. 36.000
0 Response to "Dari Jepang Untuk Indonesia"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!