Dikisahkan, Yasrak adalah seorang jurnalis tekun yang terundung cinta pada adik iparnya sendiri, Pipiet. Rasa cinta itu tumbuh semenjak Pipiet berumur sepuluh tahun dan Yasrak beristrikan kakaknya, Sila. Begitu juga dengan Pipiet. Meski Yasrak berstatus sebagai suami kakaknya sendiri, namun diam-diam ternyata dia juga menaruh rasa pada kakak iparnya itu.
Singkat cerita, akhirnya Yasrak berpisah dengan Sila. Dan setelah itu, Sila menikah lagi dengan Risman dan Yasrak tetap menaruh rasa cinta pada Pipiet. Karena rasa itulah Yasrak tidak lagi seperti dulu. Dia sekarang harus masuk RSJ dan bertekat bunuh diri karena cinta tingkat tingginya pada Pipiet.
Selama di RSJ, Yasrak tidak bisa berkontak dengan raelitas. Penderitaan itu dia jalani selama seratus empat puluh hari, yang akhirnya bisa sembuh dengan dampingan dr. Aldi Hariyadi, terapis dan psikeater handal yang dalam sejarah pekerjaannya tidak pernah gagal menangani pasiennya.
Setelah Yasrak keluar dari RSJ, lambat laun dia melanjutkan profesinya lagi sebagai penulis. Tapi kali ini dia tidak menulis untuk liputan koran, melainkan dia menulis untuk menghasilkan sebuah buku, tepatnya buku fiksi (novel) yang akhirnya mengantarkan dia menjadi orang terkenal dalam dunia tulis menulis dan dikejar-kejar wartawan.
Di tengah-tengah keasyikan menggarap novel dan penelitiannya, akhirnya Yasrak bertemu dengan Yasmin yang tidak lain adalah adik kandung dari Aldi, dokter yang menerapinya waktu Yasrak di RSJ dulu. Keduanya menemukan kecocokan yang akhirnya mengantarkan keduanya pada jalinan cinta kasih asmara meski tidak semulus yang mereka inginkan karena di tengah-tengah kisah asmara keduanya ternyata muncul Pipiet yang tidak lain adalah cinta Yasrak mulai kecil dulu.
Jika hanya membaca sinopsis di atas tampaknya tak ada yang istimewa dalam novel ini, tapi tunggu dulu, walau inti ceritanya tampak sederhana, tapi di balik tema utama yang sederhana ini penulis dengan piawai meramu kisahnya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik dan sarat dengan konflik di antara para tokoh-tokohnya.
Dari segi penokohan, novel ini terekplorasi dengan baik. Yasrak dideskripsikan sebagai penulis yang tajam imajinasinya tapi play boy, bisa menghasilkan karya yang tidak tanggung-tanggung kwalitasnya. Kemampuan risetnya pun juga demikian.
Yasmin digambarkan sebagai cewek cerdas tapi agak maskulin yang dapat mengimbangi kemampuan Yasrak dalam menghasilkan novel yang menggiurkan. Sehingga mereka berdua harus jatuh cinlok karena seringnya bersama dalam penggarapan novel Yasrak.
Sedangkat Pipiet sebagai cewek rapuh tapi feminis yang mana hal itulah yang membuat Yasrak tidak bisa melepasnya sampai-sampai Yasrak ingin bunuh diri karenanya. Di akhir penantiannya pun Yasrak tetap mengharap Pipiet bisa jatuh dalam dekapannya meski harus berperang dengan realita yang ada, karena Pipiet sendiri adalah adik kandung dari mantan istrinya, Sila, yang dia cintai semenjak bersama Sila. Benar kata Agnes Monica; “cinta memang tak ada logika”.
Di samping itu, konflik tokohnya tidak hanya ada pada cerita tiga orang tersebut, melainkan di sana juga ada konflik tokoh pada Aldi denga istrinya Erika, Kanto dengan istrinya Maida Hu dan Bernadette, dan Pipiet sendiri dengan Sila dan Risman.
Plot cerita novel ini tertata dengan baik. Perlahan tapi pasti. Membuat pembaca tidak gampang menebak jalannya cerita ini. Emosi pembaca akan meningkat seiring dengan meruncingnya konflik yang terjadi antar tokoh-tokohnya. Hanya saja ada bagian-bagian yang bagi presensi sedikit mengganggu, semisal, yang pembaca bisa temukan pada bagian bab empat (hal. 49), saat menceritakan Kanto ketika terundung masalah dengan keluarganya, dan moro-moro muncul, langsung ikut dalam cerita Yasrak dan Som dalam diskusi penerbitan novel Yasrak.
Langkah seperti itu memang salah satu jurus penulis novel untuk mengelabui pembaca agar tidak bisa menebak jalannya cerita. Namun dengan munculnya alur cerita yang seperti itu, peresensi kok merasa bagian itu seakan-akan mengganggu mulusnya cerita dalam novel ini, karena moro-moro muncul tidak nglakson, sehingga terkesan seperti alur yang hanya untuk memperbanyak halaman saja.
Dan yang sangat mencolok di akhir cerita ini. Ending cerita ini kurang anggun dan terkesan tidak jelas. Bahkan kalau boleh peresensi menajamkan tikaman, bagian akhir, “Epilognya Epilog” (hal. 235), kayaknya lebih baik kalau dilepaskan dari novel ini.
Akhir kata, novel ini tak hanya menghibur pembacanya. Ada banyak hal yang dapat kita maknai ketika membaca novel ini, antara lain bagaimana kita harus berani mengambil pilihan dalam hidup kita serta memiliki komitmen untuk tetap setia menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan yang telah kita ambil.
_____________________________________________________________
Data Buku:
Judul : Sedara Cinta
Punulis : Hermes Dione
Editor : M. Solahudin
Penerbit : Leutika, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : x + 242 halaman
ISBN : 978-602-8597-21-0
Harga : 35.000,-
Perersensi : Abd. Basid, pustakawan pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya
______________________________________________________________
*Resensi ini terpilih sebagai resensi terbaik ketiga dalam lomba resensi “Sedara Cinta” yang diadakan penerbit Leutika yang diumumkan pada April 2010
Berkunjung menjalin relasi dan mencari ilmu yang bermanfaat. Sukses yach ^_^ Salam dari teamronggolawe.com
BalasHapus