Oleh: Abd. Basid
Berkenaan dengan bentuk ta’dzim kepada seorang ibu, sering kita dengar ada pepatah mengatakan “kasih ibu sepanjang masa”. Adanya pepatah ini benar apa adanya. Tidak karena mengada-ada. Terbukti, orang tua yang mana (baca: ibu) yang tidak bahagia ketika melihat anaknya bisa merangkak, berjalan, dan berucap meski sepatah kata yang ia dengar. Kebahagiaan ketika itu pastinya tidak ada bandingannya. Rasa gemes pun sering muncul reflek melihat anaknya yang sudah mulai menampakkan eksistensinya. “Ayo nak ke sini, ini ibu mau menggendongmu”. Kata-kata seperti itu sering menunjukkan cinta kasihnya kepada anaknya. Alangkah mulianya seorang ibu. Terima kasih ibu.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. menunjukkan penghormatannya yang tinggi atas kedudukan kaum ibu. Sebab, peran ibu sangat sentral dalam pembentukan peradaban. Dari rahim ibulah lahir generasi umat penerus. Karena itulah Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menghormati wanita (ibu). Berkenaan dengan ini, Rasulullah saw. bersabda yang artinya; “yang memuliakan wanita, hanyalah orang yang mulia. Dan yang menghinakan wanita hanyalah orang yang hina”. Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya; bahwa “surga itu berada di bawah telapak kaki (keridhoan) seorang ibu”. Hadits ini menjadi kebanggaan kaum ibu khususnya dan kaum wanita umumnya.
Meskipun demikian, tentunya menjadi serang ibu yang bermutu dan mulia itu tidak gampang dan sembarang ibu. Ada kriteria seorang ibu yang pantas menyandang peridikat ibu yang bermutu dan mulia. Yaitu seorang ibu yang peran dan perjalanannya sesuai dengan tuntunan agama (Islam.
Ada beberapa kriteria yang kiranya bisa dibuat acuan untuk menilai kwalitas seorang ibu. Pertama, seorang ibu seharusnya menjadi ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah). Rasulullah saw. bersabda yang artinya; “wanita adalah penghulu di rumahnya. Wanita adalah pengembala di rumah suaminya dan dia diminta pertanggungjawabannya tentang pengembalaannya”. Dari sini, bisa dikatakan bahwa pada hakikatnya seorang ibu adalah pengatur urusan rumah tangga. Seorang ibu baru dibilang jempolan ketika dan apabila urusan rumah beres. Rumah tampak bersih, indah, dan menyejukkan hati (jiwa). Meskipun demikian, bukan berarti rumah harus mentereng dan megah seperti istana. Namun, setidaknya bisa tercipta rumah yang bisa dirindukan seorang suami dan anak-anaknya.
Kedua, taat kepada suami. Seorang istri juga memiliki andil dalam keshalihan seorang suami. Seorang istri setidaknya menjadi motivator, inspirator, dan pendamping suami baik dalam suka dan duka. Baik ketika dalam tugas mapun luar tugas.
Hal ini dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah saw.. Rasulullah saw. sangat menyadari peran Khatijah r.a., istri pertama beliau, dalam menggerakkan dakwahnya ketika Rasullah saw. berdakwah menyebarkan agama Islam. Begitu juga dengan Aisyah r.a., istri termuda dan terakhir beliau, dalam menyebarkan ilmu (baca: hadits), khususnya di kalangan wanita.
Ketiga, pendidik anak-anaknya. Seorang ibu harus mengarahkan anak-anaknya dengan penuh kasih dan sayang untuk berbudi pekerti yang baik, mengenalkan pondasi agama (Islam), dan mengetahui kewajiban-kewajibannya ketika sudah sampai masa aqil baligh. Jika demikian, maka terciptalah anak didik yang berkepribadian yang mapan dan kuat tidak ala kadarnya.
Dalam mendidik anak, seorang ibu hendaknya; petama, berharap dan berdoa. Yang terpenting bagi seorang ibu adalah tidak pernah putus asa dan selalu optimis untuk melahirkan generasi penerus yang terbaik, yaitu dengan berdoa; “Ya Tuhanku, Anugrahilah diriku anak-anak yang sholeh dan sholehah” (QS. 37: 100).
Secara teoritis anak yang berkualitas tidak akan lahir secara kebetulan atau akibat kecelakaan. Namun, mereka adalah anak yang lahir dari mimpi, obsesi, dan cita-cita orang tuanya yang diwujudkan dalam bentuk doa.
Kedua, anak diberikan hak mendapatkan satu bapak dan tiga ibu. Ketika Rasulullah saw. ditanya kepada siapa anak harus berbakti, beliau menjawab ibumu tiga kali, dan bapakmu sekali. Dari sini, setiap anak—terutama pada awal kelahirannya—berhak untuk mendapatkan tiga ibu. Artinya setelah seorang anak lahir, maka ia berhak mandapat tiga bentuk ibu. Yaitu, 1) Ibu kandung. Seorang ibu yang secara ikhlas mengandung selama sembilan bulan. 2) Ibu susu. Ibu yang setelah melahirkan anaknya rela menyusui anaknya dengan air susu ibu (ASI)—yang merupakan formula yang sangat tepat dan khusus untuk pertumbuhan anak. 3) Ibu guru. Seorang ibu yang memberikan anaknya sebuah pendidikan sebelum ia mengenal dunia luar.
Akhir kata, bukan berarti semua beban dan “nasib” rumah tangga ada pada peran seorang ibu, akan tetapi seorang suami lebih dari itu juga sangat berperan penting dalam berjalan dan terciptanya keluarga yang menjanjikan. Akan tetapi, setidaknya dan bagaimanapun juga seorang suami tetaplah sebagai kepala keluarga (rumah tangga) dan seorang ibu adalah ibu keluarga (rumah tangga).
Berkenaan dengan bentuk ta’dzim kepada seorang ibu, sering kita dengar ada pepatah mengatakan “kasih ibu sepanjang masa”. Adanya pepatah ini benar apa adanya. Tidak karena mengada-ada. Terbukti, orang tua yang mana (baca: ibu) yang tidak bahagia ketika melihat anaknya bisa merangkak, berjalan, dan berucap meski sepatah kata yang ia dengar. Kebahagiaan ketika itu pastinya tidak ada bandingannya. Rasa gemes pun sering muncul reflek melihat anaknya yang sudah mulai menampakkan eksistensinya. “Ayo nak ke sini, ini ibu mau menggendongmu”. Kata-kata seperti itu sering menunjukkan cinta kasihnya kepada anaknya. Alangkah mulianya seorang ibu. Terima kasih ibu.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. menunjukkan penghormatannya yang tinggi atas kedudukan kaum ibu. Sebab, peran ibu sangat sentral dalam pembentukan peradaban. Dari rahim ibulah lahir generasi umat penerus. Karena itulah Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menghormati wanita (ibu). Berkenaan dengan ini, Rasulullah saw. bersabda yang artinya; “yang memuliakan wanita, hanyalah orang yang mulia. Dan yang menghinakan wanita hanyalah orang yang hina”. Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya; bahwa “surga itu berada di bawah telapak kaki (keridhoan) seorang ibu”. Hadits ini menjadi kebanggaan kaum ibu khususnya dan kaum wanita umumnya.
Meskipun demikian, tentunya menjadi serang ibu yang bermutu dan mulia itu tidak gampang dan sembarang ibu. Ada kriteria seorang ibu yang pantas menyandang peridikat ibu yang bermutu dan mulia. Yaitu seorang ibu yang peran dan perjalanannya sesuai dengan tuntunan agama (Islam.
Ada beberapa kriteria yang kiranya bisa dibuat acuan untuk menilai kwalitas seorang ibu. Pertama, seorang ibu seharusnya menjadi ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah). Rasulullah saw. bersabda yang artinya; “wanita adalah penghulu di rumahnya. Wanita adalah pengembala di rumah suaminya dan dia diminta pertanggungjawabannya tentang pengembalaannya”. Dari sini, bisa dikatakan bahwa pada hakikatnya seorang ibu adalah pengatur urusan rumah tangga. Seorang ibu baru dibilang jempolan ketika dan apabila urusan rumah beres. Rumah tampak bersih, indah, dan menyejukkan hati (jiwa). Meskipun demikian, bukan berarti rumah harus mentereng dan megah seperti istana. Namun, setidaknya bisa tercipta rumah yang bisa dirindukan seorang suami dan anak-anaknya.
Kedua, taat kepada suami. Seorang istri juga memiliki andil dalam keshalihan seorang suami. Seorang istri setidaknya menjadi motivator, inspirator, dan pendamping suami baik dalam suka dan duka. Baik ketika dalam tugas mapun luar tugas.
Hal ini dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah saw.. Rasulullah saw. sangat menyadari peran Khatijah r.a., istri pertama beliau, dalam menggerakkan dakwahnya ketika Rasullah saw. berdakwah menyebarkan agama Islam. Begitu juga dengan Aisyah r.a., istri termuda dan terakhir beliau, dalam menyebarkan ilmu (baca: hadits), khususnya di kalangan wanita.
Ketiga, pendidik anak-anaknya. Seorang ibu harus mengarahkan anak-anaknya dengan penuh kasih dan sayang untuk berbudi pekerti yang baik, mengenalkan pondasi agama (Islam), dan mengetahui kewajiban-kewajibannya ketika sudah sampai masa aqil baligh. Jika demikian, maka terciptalah anak didik yang berkepribadian yang mapan dan kuat tidak ala kadarnya.
Dalam mendidik anak, seorang ibu hendaknya; petama, berharap dan berdoa. Yang terpenting bagi seorang ibu adalah tidak pernah putus asa dan selalu optimis untuk melahirkan generasi penerus yang terbaik, yaitu dengan berdoa; “Ya Tuhanku, Anugrahilah diriku anak-anak yang sholeh dan sholehah” (QS. 37: 100).
Secara teoritis anak yang berkualitas tidak akan lahir secara kebetulan atau akibat kecelakaan. Namun, mereka adalah anak yang lahir dari mimpi, obsesi, dan cita-cita orang tuanya yang diwujudkan dalam bentuk doa.
Kedua, anak diberikan hak mendapatkan satu bapak dan tiga ibu. Ketika Rasulullah saw. ditanya kepada siapa anak harus berbakti, beliau menjawab ibumu tiga kali, dan bapakmu sekali. Dari sini, setiap anak—terutama pada awal kelahirannya—berhak untuk mendapatkan tiga ibu. Artinya setelah seorang anak lahir, maka ia berhak mandapat tiga bentuk ibu. Yaitu, 1) Ibu kandung. Seorang ibu yang secara ikhlas mengandung selama sembilan bulan. 2) Ibu susu. Ibu yang setelah melahirkan anaknya rela menyusui anaknya dengan air susu ibu (ASI)—yang merupakan formula yang sangat tepat dan khusus untuk pertumbuhan anak. 3) Ibu guru. Seorang ibu yang memberikan anaknya sebuah pendidikan sebelum ia mengenal dunia luar.
Akhir kata, bukan berarti semua beban dan “nasib” rumah tangga ada pada peran seorang ibu, akan tetapi seorang suami lebih dari itu juga sangat berperan penting dalam berjalan dan terciptanya keluarga yang menjanjikan. Akan tetapi, setidaknya dan bagaimanapun juga seorang suami tetaplah sebagai kepala keluarga (rumah tangga) dan seorang ibu adalah ibu keluarga (rumah tangga).
Surabaya, 22/12/09
0 Response to "Menjadi Ibu yang Bermutu"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!