Oleh: Abd. Basid
Membaca tulisan saudara M. Hadi Shubhan yang dimuat di harian Jawa Pos (2/7) dengan judul “Kontrak Politik Bukan Dokumen Hukum”, penulis sependapat dengan opini beliau. Dan penulis juga terinspirasi darinya untuk membandingkan antara kontrak politik masa sekarang (modern) dan masa nabi dulu (klasik).
Dari tulisan saudara M. Hadi Shubhan, penulis bisa menyimpulkan bahwa pada masa sekarang calon pemimpin melakukan kontrak politik karena dua hal, pertama, untuk melegitimasi dirinya dalam ajang kompetisi politik yang sedang mereka jalani.
Kedua, sebagai refleksi dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap apa yang sering diucapkan atau yang dijanjikan oleh seorang calon pemimpin (presiden). Dan untuk membangun kembali kepercayaan tersebut, para calon presiden mengambil alternatif dengan melakukan kontrak politik.
Dalam Islam kontrak politik dikenal denga istilah bai’at, yang berarti ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya serta kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Artinya dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.
Jika dibawa pada era sekarang, maka pihak pertama adalah calon presiden dan pihak kedua adalah rakyat.
Kontrak politik sebetulnya sudah dipraktikkan oleh nabi Muhammad, akan tetapi masih banyak yang belum memahami bagaimana sesungguhnya kontrak politik yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.
Secara historis bai’at dalam Islam merujuk pada peristiwa bai’at yang terjadi pada periode nabi Muhmmad, tahun 621 dan 622 M, yaitu bai’at antara Nabi dengan penduduk Madinah, di mana pada tahun 621 penduduk Madinah menyatakan masuk Islam dan membai'at Nabi. Mereka berikrar bahwa mereka tidak menyembah selain Allah dan akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati Rasul-Nya dalam segala hal yang benar.
Pada tahun 622, terjadi kontak sosial (politik) lagi antara Nabi dengan penduduk Madinah untuk yang kedua kalinya. Penduduk Madinah berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka dan akan mentatai Nabi sebagai pemimpin mereka. Nabi pun berjanji kepada penduduk Madinah untuk hidup semati bersama mereka. Dari kesepakatan yang dibuat oleh Nabi bersama penduduk Madinah tersebut, Nabi kemudian memiliki kekuatan sosial politik.
Pada tahun-tahun berikutnya, peristiwa bai’at juga terjadi antara Nabi dengan penduduk Makkah ketika
Dari pemaparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa kontrak politik pada masa Nabi dulu ada karena dua hal, pertama, sebagai proses pembentukan dan sebagai faktor dalam pengembangan kelompok sosial. Kedua, sebagai faktor bagi karakteristik hubungan struktural dalam kelompok.
Jadi, perbedaan antara kontrak politik modern dan klasik adalah, jika kontrak politik modern dibangun karena demi kelancaran proses politik sang presiden. Mereka menitik beratkan pada kepentingan pribadinya—meskipun mereka tidak mengungkapkan dan mengakuinya. Berbeda dengan kontrak politik klasik yang dibangun memang untuk kepentingan bersama.
Kenapa kontrak politik modern penulis katakan terbangun karena ada unsur kepntingan pribadi? Jawabannya, terbukti dengan bukti-bukti yang telah diutarakan saudara M. Hadi Shubhan, diantaranya kontrak politik modern sengaja dibuat dengan suatu bahasa yang abstrak. Jika mereka memang untuk umum buat apa bahasa yang abstrak? Dan kenyataannya memang seperti itu. Kontrak politik modern sering tidak sesuai dengan harapan rakyat. Janji-janji yang mereka utarakan waktu kampanye tidak terbukti untuk rakyat. Karena demikian, maka unjuk rasalah yang menjadi pilihan rakyat.
Kontrak politik modern memang pengembangan dari kontrak politik klasik. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan sekarang adalah pada orang-orang yang melakukannya. Pemimpin sekarang melakukan kontrak politik karena ada unsur nepotismenya dan para pelaku kontrak politik klasik memang karena unsur mashlahat umum. Maka, tidak keliru jika masyarakat sekarang lebih memilih golput daripada ikut berpartisipasi dalam memilih persiden—meskipun pada hakikatnya golput bukanlah solusi terbaik.
Untuk itu, untuk mensingkronkan kembali antara kontrak politik modern dengan kontrak politik klasik, maka para pelaku modern harus merujuk pada pelaku klasik dan peristiwa bai’at yang pernah terjadi pada masa awal Islam.
Jika demikian, maka rakyat tidak harus dicekoki kampanye dan cuap-cuap surga yang berlebihan. Dan pihak KPU tidak usah meminta laporan kekayaan pada tiap-tiap calon presiden. Rakyat akan terkesima sendiri tanpa diminta jika kinerja mereka terbukti terlaksana.
0 Response to "Kontrak Politik Era Modern dan Klasik"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!